Part 7 : Danger

31 0 0
                                    

Semua kesialan berujung manis berawal dari dalam.
Dalam pancaran indah kedua bola matamu.
Yang sepatutnya tidak seperti itu.

***

Sejak mantap mengambil keputusan bertolak menyusul sang ibu dan ayah tinggal ke kota, lebih tepatnya di Seoul. Jungkook sudah siap lahir dan batin. Menyiapkan mental serta segala konsekuensi untuk beradaptasi. Menjalani rutinitas keseharian yang pasti akan sedikit berbeda, sebagai mahasiswa di salah satu universitas impiannya. Sekaligus menata sedemikian rupa rencana masa depan nanti.

Hidup terus berlanjut bukan, Jungkook tidak harus selalu menggantungkan kehidupan kepada ayah dan ibunya.

Jungkook itu sudah dewasa dan juga sudah dilatih mandiri sedari masih kecil. Lebih tepatnya sejak menginjak usia 7 tahun. Sang ibu, Jeon Hyuna. Menikah lagi setelah bercerai dengan ayah kandung yang bahkan sampai detik ini Jungkook tidak mengetahui secara signifikan bagaimana bentuk rupa wajah, bahkan namanya.

Jeon Hyuna memutuskan kembali menikah dengan ayahnya sekarang, Kim Seokjoon. Superhero dalam kehidupannya. Sekaligus mendapat bonus lebih kakak terbaik sepanjang masa, Kim Seokjin.

Tapi realita berjalan tidak sesuai ekspektasi. Mereka; Ayah dan ibu beserta kakaknya memutuskan untuk pergi ke Seoul karena sesuatu hal yang mewajibkan Seokjoon memboyong seluruh anggota keluarga ke kota.

Jungkook sendiri tidak berniat ditinggalkan, hanya saja anak yang satu ini kelewat bandel. Keras kepalanya unggul, memilih untuk menetap di Busan. Hidup bersama dengan adik dari sang ibu. Beralasan malas untuk beradaptasi dengan tempat baru.

Ya seperti itulah Jungkook dulu, si keras kepala dan sangat tertutup.

Namun Tuhan sangatlah baik padanya, bersyukur hubungan diantara mereka sama sekali tidak merenggang, malah sebaliknya. Jungkook merasa sangat-sangatlah diperhatikan, meski jarak menjadi pemisah diantara mereka.

Setiap hari atau bahkan hampir setiap jam mereka selalu bertukar kabar, mempresentasikan keadaan masing-masing dalam menjalani rutinitas keseharian. Apalagi dengan Seokjin, kakaknya. Jungkook rasanya seperti memiliki kekasih kala mengingat bagaimana Seokjin selalu bertingkah mesra via telepon ataupun panggilan video. Sangat perhatian. Konyol keterlaluan, apabila hyung unik satu itu menunjukan tingkah-tingkah random bila sedang kambuh.

Bagaimana tidak, bayangkan saja. Setiap pagi Seokjin, suka sekali berkeluh kesal padanya bukan malah memberikan sepatah atau dua kata wejangan sebagai kakak tertua untuk mengawali hari dengan semangat. Tapi selalu saja protes dan sukses membuat kepala Jungkook sneweng pagi-pagi.

Mengeluh kesal kan, bagaimana dirinya yang kenapa harus terlahir memiliki tubuh terlalu proporsional bak model-model papan atas atau Idol-idol korea. Bahu yang lebar, tubuh semampai beserta lekukan wajah dengan kegantengan maksimal, apalagi jika jidat paripurnanya tersingkap. Seokjin yakin seantero gedung perusaahan ayahnya yang berlantai 65, tinggi menjulang itu, terpesona akan ketampanan hakikinya. Oh ya, Jangan lewatkan seberapa manis bibir sexy itu kala menyunggingkan sebuah senyuman.

"Ya... Jungkook-ah. Bagaimana ini, aku sangat lelah harus memilki wajah tampan yang sungguh luar biasa ini. Tapi aku juga tak mau kehilangan ini semua. Aku harus bagaimana kook. Apakah ada saran dari orang yang memilki ketampanan standard seperti mu, wahai adikku?"

Seketika Jungkook ingin sekali rasanya menendang Seokjin dengan penuh keikhlasan untuk terdampar di kutub utara. Biar, biar sekalian berkawan bersama binatang berbulu tebal, para beruang atau juga para penguin. Sederhananya biar kakak narsisnya itu sadar diri, tidak akan lagi merasa terbebani karena memiliki wajah yang dia gaung-gaungkan tampan itu.

My Enemy BoyfriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang