Agatha tengah sibuk di depan komputer membaca satu persatu review dari pembelinya. Hampir semua dari mereka memberi penilaian bintang lima. Ada yang memberi tokonya bintang tiga dan Agatha langsung membaca keluhannya.
"Eh ini kok masih ada yang protes masalah bahan jeans ya? Padahal dari minggu kemarin kualitas udah diperbaiki sama pabrik 'kan?" Agatha bertanya pada, salah satu karyawannya di bagian quality control.
Kaleela karyawannya yang sedang memeriksa satu persatu pesanan sebelum di kemas oleh bagian pengemasan pun menoleh pada Agatha.
"Mungkin itu kiriman dua minggu yang lalu, Tha. Jadi kualitas masih rendah. Kalau kiriman minggu ini kan udah kembali ke awal lagi kualitasnya,"
Dua minggu yang lalu industri yang bekerja sama dengan Agatha memang mengalami penurunan kualitas. Hingga Agatha hampir saja memutus kerja sama mereka. Agatha tidak ingin lagi mendengar pelanggan setianya yang mengeluhkan kualitas yang tiba-tiba saja jatuh drastis. Mereka merindukan jeans toko Agatha yang berkualitas tinggi seperti biasanya.
Hal ini dikarenakan bahan baku yang digunakan dalam proses produksi sulit untuk didapatkan. Sehingga seperti apapun kualitasnya, mereka meminta para toko yang bekerja sama untuk memahami kendalanya. Namun Agatha yang selalu mengutamakan kualitas diatas segalanya lama-lama merasa kesal juga. Ia tidak bisa lagi mengecewakan pelanggannya terlalu lama.
Sebelum Agatha memutus kerja sama, pihak industri sudah menyanggupi kalau mereka akan berusaha untuk kembali meningkatkan kualitas yang sempat hancur dimata pelanggan Agatha. Walaupun menurut mereka bahannya masih wajar, tetap saja yang namanya pembeli tidak akan bisa di tahan amarahnya.
"Aku berharap enggak ada penurunan kualitas lagi deh. Bisa-bisa omzet kita turun juga,"
Tawa kecil Agatha menular pada karyawan-karyawannya. Mereka kembali disibukkan dengan pekerjaan masing-masing.
Begitupun dengan Agatha yang kini sudah menutup kolom review. Dan mulai menjelajahi internet untuk mencari mode-mode baru yang sedang menjadi trending.
Ponsel Agatha yang berada di samping komputer berdering. Ia menatap sekilas, tadinya tidak akan menanggapi. Namun begitu melihat nama si penelpon, Agatha langsung mengurungkan niatnya.
"Nanti malam ada undangan makan malam dari rekan bisnis aku. Aku jemput kamu, setelah itu kita ke tempat acaranya,"
Agatha menjauhkan ponselnya sedikit dari telinga. Kaget dengan kalimat panjang lebar suaminya yang tadi pagi bahkan membuang muka ketika Ia bertanya mengenai 'Teh, susu, atau kopi' yang ingin diminum lelaki itu.
"Agatha, kamu dengar aku 'kan?" Suara tegas suaminya berhasil membuat Ia terkesiap. Ia langsung mengangguk walaupun Andra tidak melihatnya.
"Iya, Mas. Nanti aku share lock tempatku kerja ya?"
"Hm. Aku tutup dulu,"
****
"Gimana malam pertamanya, Tha?"
Suara tawa langsung menyambut pertanyaan Erik, lelaki yang sudah lama bekerja dengan Agatha sebagai supir. Baik untuk mengantar ratusan pesanan ke counter ekspedisi atau mengambil barang dari industri.
Sehabis adzan maghrib, seperti biasa, makan malam bersama digelar. Kehangatan yang tercipta antara Agatha dengan para karyawannya akan semakin terlihat disaat seperti ini.
Agatha hanya tersenyum saja. Malam pertama? kalau mereka tahu Andra menghabiskan malam pertama di balkon pasti mereka tidak menyangka. Karena penilaian mereka untuk Andra benar-benar sempurna.
"Kepo nih. Suamiku nanti malu kalau aku bahas ini,"
Memilih untuk menimpali rasanya lebih baik daripada meratapi nasibnya.
Mereka semakin berlomba-lomba untuk mengeluarkan tawa yang lebih kencang.
Agatha lebih memilih untuk melupakan rencana Andra yang katanya ingin menjemput sore hari. Nyatanya sampai malam seperti ini dia belum datang.
"Kan enggak ada si Pak Andra--"
"Ssst woy! Diem-diem!" Karina memotong ucapan Erik. Bahkan Ia melotot pada temannya itu. Agatha bingung menatap mereka yang kini tampak kaku menatap pada satu arah.
"Udah selesai makannya?"
Suara dingin yang semakin dekat dengan posisinya itu sontak saja membuat Agatha menoleh.
Ia bergerak canggung di atas karpet yang menjadi alas mereka makan itu ketika mendapati Andra di sana. Andra menatap hanya pada Istrinya. Mengabaikan semua orang yang menatap mereka dengan berbagai ekspresi.
"Aku tunggu di luar,"
Kalimat itu berhasil ditangkap jelas oleh Agatha. Ia bangkit dengan cepat. Padahal makanannya masih banyak. Ia baru menikmati tiga suap nasi padang miliknya.
Tapi menghampiri lelaki itu lebih penting menurut Agatha.
"Tha, nasi padang Lo buat gue ya?"
Agatha hanya mengangkat jempolnya pada Kalina yang baru saja berseru. Ia melangkah keluar dari bangunan yang menjadi tempat bekerjanya selama ini. Yang Ia sebut sebagai gudang.
"Mas, kita pergi sekarang?"
Andra menoleh terkejut ketika Ia sampai di luar dan mendapati istrinya yang mengekori. Ia menatap Agatha lurus.
"Udah selesai makannya?" Ia mengulangi pertanyaan yang sama. Tanpa berpikir kalau nasi padangnya masih banyak, Agatha menganguk. Ia tidak tahu kenapa seantusias itu melihat Andra di sini. Padahal jelas-jelas lelaki itu datang tidak tepat waktu.
"Kita tetap pergi ke undangannya. Pekerjaanku baru aja selesai,"
Andra hanya perlu menjelaskan. Tidak mengerti untuk apa juga. Padahal Agatha tidak bertanya.
Agatha kembali masuk ke dalam ketika mengingat tasnya belum Ia bawa. Dan juga belum berpamitan pada karyawannya.
Sementara Andra kembali memasuki mobil. Menunggu Agatha beberapa menit sampai akhirnya Ia melihat Agatha yang tengah berseru dari luar pada Erik.
"Lihat aja tuh! Gue pulang sama Mas Andra,"
Telunjuk Agatha mengarah pada mobil suaminya untuk meyakinkan Erik agar tidak mengantarnya.
"Lagian tumben baik. Biasanya juga aku dibiarin aja pas pulang sendiri," gerutuan Agatha mengundang tawa Erik. Dan selanjutnya lelaki itu melihat Agatha yang sudah berjalan cepat ke arah mobil putih yang terparkir dengan jantan di depan gudang.
Begitu masuk ke dalam mobil dan Andra mulai menyalakan mobilnya, Agatha membuka jendela hanya untuk sekedar melambaikan tangan pada Erik.
Sesi salam perpisahan itu entah kenapa membuat Andra mendengus. Padahal tidak ada yang salah. Agatha hanya berpamitan pada teman kerjanya. Kenapa dia merasa tidak nyaman?
"Sebenarnya aku malu bawa kamu yang keringatan begini ke acara temanku,"
Agatha berusaha menahan deru napasnya yang tersengal. Ingin sekali menampar mulut kurang ajar Andra. Namun Ia ingat kalau mereka baru saja menjadi sepasang suami istri. Dimana saling menghargai dan menghormati sangat dibutuhkan dalam menjalani bahtera rumah tangga.
Tapi sepertinya itu tidak berlaku untuk Andra yang secara tidak langsung mengatakan kalau Ia tidak layak bertemu dengan rekan-rekan kerja lelaki itu.
"Aku enggak keringatan, Mas. Emangnya aku habis maraton? Kan aku habis makan tadi. Mas lihat sendiri," gumamnya. Jujur Ia tidak ingin menjawab perkataan Andra. Namun sekali-kali Agatha ingin menutup mulut tajam itu.
"Tetap aja. Berkutat dengan ratusan paket seharian pasti menimbulkan aroma enggak sedap ditubuh kamu,"
Lagi
Andra kembali memancing keributan ditengah rasa lelah Agatha. Agatha hanya mampu mengalihkan perhatiannya ke jalanan. Berusaha menghalau perasaan sesaknya.
"Ya udah, Mas enggak usah bawa aku ke sana kalau malu," suaranya semakin pelan. Agatha tidak ingin getar dari pita suaranya sampai pada telinga Andra.
Andra mendengus. Ia menambah kecepatan saat tarikan napas Agatha yang kasar berhasil membuat Ia merasa--bersalah.
"Aku enggak mungkin bawa Anatha 'kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Agandra
Fiksi PenggemarSampai kapanpun tamu tidak bisa menjadi tuan rumah. Anggap saja begitu dalam memperlakukan hati. Agatha berperan sebagai tamu sementara tuan rumahnya adalah Andra dan Anatha. Agatha dan Anatha, Dua gadis kembar yang masa kecilnya diperlakukan adil...