Bagian 2

94 30 6
                                    

Dinda merapikan meja kerjanya yang sedikit berantakan dengan kertas-kertas hvs. Tangannya mengambil kertas-kertas itu satu-persatu lalu meletakkannya disamping mesin printer. Meja kerjanya cukup rapi dengan dominasi warna putih, terdapat sebuah tanaman hias diletakkan di pojok kanan meja, tepat disampingnya berdiri sebuah bingkai foto berwarna putih. Foto Dinda dan dua orang sahabatnya, Aksa dan Galih.

"Baru nyampe Din?" tanya seseorang di depannya.

"Iya nih, Jakarta makin macet sekarang Lih"

"Eh, tunggu bentar! Kayak kenal sama jaket yang kamu pakai."

"Punya Aksa."

"Ah iya. Pantes aja kayak pernah liat."

"Lho, dimejaku kok udah ada kopi sih. Kopimu Din?"

"Bukan, aku kan nggak minum kopi."

"Trus punya siapa dong?"

"Itu punya mas Galih kok. Saya yang buatin spesial buat mas Galih ganteng," sahut seorang wanita berseragam office girl tak jauh dari tempat itu.

"Oh gitu... terima kasih banyak ya Ina...." ucap Galih sambil tersenyum.

Ina berlalu menuju pantry kantor dengan wajah tersipu malu. Sementara Dinda tertawa melihat Galih yang terpaksa tersenyum kaku.

"Jangan maksa dong senyumnya. Kamu sama Ina tuh cocok lho. Kayaknya cuma Ina yang bisa bikin kamu senyum, walaupun terpaksa sih."

Cuma kamu Din yang bisa bikin aku tersenyum. Yang membuatku merasa hidup seutuhnya. Tapi aku tahu hatimu untuk Aksa. Meski sering kali kamu mengelak, tapi sorot matamu saat melihatnya seolah-olah bicara kamu mencintainya. Sorot yang tak pernah bisa kuhidupkan tanpa Aksa Din.

***

Siang itu tak begitu terik saat Dinda melangkahkan kakinya menuju galeri lukis milik Aksa. Galeri yang lebih mirip rumah berlantai satu tanpa sekat itu dipenuhi lukisan-lukisan yang berserakan di salah satu sisi, sementara di bagian lain tampak beberapa lukisan ditata begitu rapi layaknya pameran. Dinda masuk ke dalam, melihat beberapa lukisan baru yang belum ia lihat seminggu lalu saat berkunjung ke tempat yang sama. Tiga lukisan aliran surealisme dan satu lukisan d kanvas besar yang belum selesai pengerjaan. Sering kali ia heran bagaimana bisa lukisan-lukisan sebagus ini adalah hasil tangan dari seorang Aksa, padahal ketika masih duduk di bangku sekolah dasar Galih yang selalu mengerjakan setiap tugas melukis maupun menggambar miliknya dan Aksa.

"Udah lama Din?" tanya Aksa yang tiba-tiba muncul dari luar galeri.

"Ngga kok, barusan nyampe. Dari mana?"

"Dari toko depan, cari gorengan. Nih, mau gak? Atau lagi diet."

"Boleh tuh. Eh, itu kanvas yang besar mau lukis siapa? Kayak siluet orang."

"Arianna Grande."

"Ooh, tau juga toh. Kirain cuma tau Chrisye, Rhoma Irama dan kawan-kawan."

"Apakah aku sejadul itu?"

"Yap! Teramat sangat jadul," jawab Dinda sambil tertawa.

"Mau bilang nggak jadul, tapi cewek kan selalu benar, katanya. Itu masih katanya lho ya."

"Emang cewek selalu bener kok."

"Masa iya sih?"

"Iyaaa!" jawab Dinda dengan membuka mulutnya lebar-lebar. "Nih jaket kamu."

"Udah, simpen aja. Kali aja nanti rindu," Aksa tersenyum, sementara matanya menatap langit-langit galeri.

"Bener nih? Ngga rindu sih. Tapi jaket ini tuh berguna baget buat lap barang-barang kotor di kantor"

MASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang