Bagian 6

35 9 1
                                    

Pameran telah usai, Aksa bergegas menuju rooftop menemui Dinda dan Galih.

“Galih belum balik Din?” tanya Aksa.

“Belum, nyasar dulu kali tuh anak.”

“Ya kali orang seserius Galih bisa nyasar.”

“Eh, gimana acara pengabdian kamu Sa? Jadi?”

“Ya jadi Din. Kamu mau ikut?”

“Pengen banget, tapi kita lihat nanti deh gimana-gimananya.”

“Udah ikut aja. Pengabdian seru kok. Kamu bakalan banyak belajar tentang hal-hal yang mungkin nggak akan kamu temui sebelumnya. Yang pasti sih kujamin kamu akan lebih bersyukur setelah sampai dari sana. Banyak benih-benih harap yang harus ditumbuhkan Din. Banyak anak-anak yang harus kamu temui.”

“Semoga semesta mengizinkanku bertemu mereka ya Sa.”

“Aamiin.”

***

“Macchiato latte satu, espreso satu sama cheese cake dua ya mas,” pesan seorang laki-laki sembari duduk di kursi bar.

“Espresso terus mas, karena ada mbak Dinda yang manis yaa mas?” canda sang barista.

“Ah! Mas bisa aja. Yang manis-manisnya mah masih belom dateng,” jawab Aksa.

“Siap mas. Silakan menunggu, nanti pesanannya saya antar ke meja."

Aksa berjalan menuju meja tempat Galih menunggu. Sesekali pandangan matanya mengedar ke arah luar mencari sesosok perempuan yang ditungguinya dari tadi. Dipilihnya satu tempat duduk dekat kaca besar tepat di depan Galih yang tengah memainkan ponsel. Coffe shop yang sudah tak asing lagi di kalangan anak-anak Jogjakarta itu cukup nyaman dengan iringan lagu-lagu klasik memenuhi ruangan. Coffe shop ini adalah salah satu tempat dimana tersimpan begitu banyak kenang persahabatan mereka bertiga, terutama ketika masa-masa SMA dan perguruan tinggi. Hampir setiap hari mereka mengunjungi tempat itu guna mencari wifi gratis. Menghemat kuota dan mencari inspirasi menjadi alasan klasik mereka selalu mengunjungi tempat yang sama.
Dua sahabat itu memulai obrolan dengan topik-topik ringan sembari menunggu kedatangan Dinda. Beberapa menit kemudian seorang barista membawa pesanan mereka.

“Mas Aksa ga pengen tambah gula nih? Kan mbak Dindanya belum datang. Ntar ga ada pemanisnya lho mas.” Celetuk barista itu sembari meletakkan satu per satu pesanan Aksa dan Galih di meja.

“Ngga perlu mas. Hidup saya juga ngga kalah pahit dengan espresso ini. Jadi sudah biasa,” jawab Galih.

“Wah, berarti kalau mas Galih hidupnya manis terus ya, karena pesannya kalau ndak macchiato latte ya mocca.”

“Bisa jadi iya juga sih,” jawab Galih tersenyum.

Selesai meletakkan semua pesanan di meja, sang barista kembali menuju meja bar. Aksa dan Galih kembali berbincang sembari mengenang masa SMA mereka. Sesekali mata mereka beralih pada layar ponsel pintar masing-masing, berharap ada kabar dari Dinda. Karena tak seperti biasanya Dinda telat begitu lama. Bahkan, setiap bertemu, wanita itu menjadi satu-satunya orang yang paling tepat waktu diantara mereka bertiga.

Sementara itu Dinda yang tengah menaiki angkutan umum tampak gelisah, matanya selalu melihat jam di layar ponsel miliknya. Hari ini, ia memiliki janji bertemu dengan kedua sahabat baiknya. Hari yang begitu langka baginya. Setelah bertahun-tahun lamanya, akhirnya mereka bisa berkumpul di Jogjakarta, di tempat yang sama saat mereka merajut kenang persahabatan semasa SMA. Aksa dan Galih sempat menawarinya untuk berangkat bersama kemarin sore, namun Dinda menolaknya. Ia harus mengantarkan sebuah buku terlebih dahulu sebelum menuju Coffe shop.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 02, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

MASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang