Bagian 5

41 16 0
                                    

Malam ini Kota Jakarta tampak begitu indah dengan lampu-lampu yang menyala di setiap ruang gedung-gedung tinggi yang berdiri kokoh. Begitu pun di salah satu gedung besar berwarna putih di salah satu sudut Ibu Kota. Di ruangan paling bawah terlihat beberapa lampu-lampu modern minimalis menghiasi langit-langitnya. Ruangan yang cukup besar dengan beberapa tanaman menghias di setiap sudutnya. Terdapat beberapa lukisan yang terpajang di setiap sisi tembok, beberapa lainnya berdiri diatas easel dan berjajar rapi di tengah-tengah. Orang-orang yang datang pun menggunakan setelan hitam dengan sedikit aksen putih. Aksa tampak merapikan beberapa lukisan miliknya di salah satu sisi ruangan. Sesekali diliriknya jam yang tertera di layar ponsel miliknya sembari menunggu dua sahabatnya datang.

Sementara itu di luar gedung, Dinda dan Naura tengah berdiri di salah satu sudut gedung menunggu Galih datang. Tak lama menunggu, seorang laki-laki berkacamata mengendarai sebuah motor bebek klasik yang biasa di sebut si pitung datang. Motor berwarna merah itu berhenti tepat di depan Dinda dan Naura. Sang pemilik motor segera turun dan melepas helm retro berwarna hitam yang ia kenakan. Dirapikannya kembali kemejanya yang tampak kusut, lalu mengajak dua perempuan yang sedari tadi menunggu kehadirannya untuk masuk ke gedung bersamaan.

“Saaa!” teriak Dinda di seberang.

Dinda berjalan mendekati Aksa, di sampingnya berdiri Galih dan Naura. Mereka kompak mengenakan busana dengan dominasi warna hitam.

“Akhirnya datang juga kalian,” ucap Aksa sembari tersenyum.

“Ya harus dateng. Sayang kalau ngga dateng, tiket masuknya mahal,” canda Galih.

“Mahal karena ada diriku bro. Kan mau ketemu Aksa yang guanteng, pinter, cerdas....”

“Iya deh, iyaa. Udah yuk keliling,” ajak Dinda memotong pembicaraan Aksa yang memuji dirinya sendiri, membuat Galih dan Naura tersenyum.

Mereka berjalan menyusuri setiap sisi ruangan, melihat lukisan-lukisan yang terpajang dengan begitu apik. Aksa menjelaskan beberapa lukisan yang mereka lihat, sesekali mereka mengomentari lukisan tersebut.

“Wait!” ucap Dinda menghentikan langkah mereka.

Dinda menoleh ke sebelah kiri, matanya menelisik ke arah lukisan bergambar sesosok perempuan dengan rambut tergerai sebahu yang tengah duduk pada sebuah bangku kayu panjang menghadap ke belakang. Perempuan itu mengenakan gaun putih dengan rangkaian bunga berbentuk mahkota menghias di kepalanya. Di sekelilingnya terdapat hamparan bunga matahari yang tumbuh begitu indah. Di bagian pojok bawah lukisan tersebut terdapat sebuah tulisan Kanigara, Jogjakarta 2019 dan sebuah tanda tangan dengan dominasi bintang yang sudah tak asing lagi bagi Dinda.

“Ini lukisan kamu kan Sa?” tanya Dinda.

“Oh ya! Ini lukisan kamu beneran Sa? Atau jangan-jangan kamu beli dan tanda tanganin sendiri,” tambah Galih.

“Ya beneran lukisanku, masa beli.”

“Wah aku kalah jago kalau gini,” tambah Galih lagi.

“Jadi, bisa jelasin makna tentang lukisan anda pak?” tanya dinda dengan sedikit tawa.

“Siap bu. Jadi dalam lukisan ini saya menggunakan teknik lukis plakat dimana menggunakan cat akrilik yang kental. Hal itu terlihat dari hasil lukisan yang lebih pekat. Selain itu aliran dalam lukisan ini merupakan aliran realisme. Kenapa lukisan kali ini saya beri nama kanigara? Karena kanigara sendiri berarti bunga matahari. Bunga matahari sendiri menjadi simbol persahabatan, kebahagiaan, keceriaan dan kegembiraan. Hal ini bisa kita lihat dari warna kuning yang ada pada bunga itu sendiri..."

Mereka begitu fokus mendengarkan penjelasan dari Aksa. Beberapa orang pun mendekat karena tertarik dengan penjelasan Aksa. Naura yang tengah berdiri di samping Galih sesekali melirik laki-laki berkacamata di sebelahnya itu. Tiba-tiba saja Galih menoleh ke arah Naura. Dengan cepat Naura menoleh ke arah sebuah lukisan di samping lukisan Aksa. Matanya terpejam, diambilnya napas dalam-dalam guna menenangkan diri.

MASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang