Bagian 4

54 23 2
                                    

Sebuah lagu Someone You Loved milik Lewis Capaldi mengalun merdu melalui sebuah earphone berwarna putih. Lagu galau nan sendu itu tengah menghibur pikiran seorang wanita yang sedari pagi tadi kusut karena pekerjaan yang makin menumpuk seakan tiada habisnya. Tampak pula sebuah cangkir yang telah kosong berdiri di salah satu sudut meja. Sang pemilik meja hampir saja mengembalikan cangkir kotor tersebut ke pantry, namun niat itu diurungkannya.

“Biar saya saja mbak Dinda,” tawar Naura.

Gadis yang akrab di sapa Ra itu mengambil cangkir kosong yang berada di meja Dinda. Tangannya dengan cekatan membersihkan kotoran yang berserakan di sekitar meja tempat cangkir tadi diletakkan.

“Terima kasih ya Ra. Oh iya kamu hari ini pulang bareng saya aja ya. Kebetulan saya sama Galih mau ke stasiun jemput temen. Searah juga sama kosan kamu kan.”

“Wah iya mbak, terima kasih. Kalau begitu saya siap-siap dulu ya mbak. Sekalian mau taruh cangkir ke pantry mbak.”

Gadis muda dengan rambut yang digulung kebelakang itu berjalan cepat menuju pantry membersihkan cangkir kotor yang dibawanya. Diletakkannya cangkir tersebut pada sebuah rak lalu pergi menuju ruang ganti. Ia mengganti baju seragam office girlnya dan mengambil tas ransel kecil berwarna merah muda. Digerainya rambut hitam sepunggung miliknya yang sedari tadi digulung. Langkahnya bersemangat, setidaknya hari ini ia bisa lebih berhemat karena tidak mengeluarkan uang untuk pulang menggunakan transportasi umum. Jika pun tak menghemat, setidaknya hari ini dia tidak berdiri berlama-lama menunggu angkutan kota di pinggir jalan ditemani ocehan Ina yang lebih mirip kereta api berjalan. Naura berjalan menemui Dinda di ruang kerjanya.

“Nunggu bentar gapapa kan Ra? Soalnya Galih masih keluar, ga tau ngapain nih anak gak balik-balik dari tadi,” ucap Dinda sedikit emosi.

“Nggak papa kok mbak. Mbak Dinda sama mas Galih deket banget ya,” balas Naura sembari menarik sebuah kursi untuk duduk.

“Kita tuh dekeeet banget Ra. Tuh lihat foto di sana,” terang Dinda sembari menunjuk foto masa kecil mereka bersama Aksa. “Itu foto masa kecil kami. Yang baju merah di sebelah kiri itu Galih dan cowok yang satunya itu namanya Aksa, yang mau aku jemput sekarang ini,” imbuhnya lagi.

“Pantes kalian deket banget. Temen mbak ke Jakarta mau liburan?"

"Enggak. Seminggu lagi dia mau ada pameran lukisan gitu di Jakarta. Kamu ikut ya, temenin aku," ajak Dinda.

"Emang boleh mbak?"

"Ya boleh lah. Eh ya, kamu kuliahnya gimana?”

“Alhamdulillah mbak, tinggal nyusun skripsi.”

“Wah! bentar lagi wisuda dong. Jangan lupa kabarin kalau wisuda ya Ra.”

“Siaap mbak” jawab gadis itu sembari tersenyum.

Dari arah belakang tampak seorang laki-laki dengan setelan kemeja dan celana hitam menghampiri mereka. Lelaki yang khas dengan kacamata  itu menenteng beberapa plastik hitam ditangannya. Ia melihat jam yang terpasang di pergelangan tangan kirinya dan melihat beberapa notifikasi whatsapp yang terpampang di ponsel pintar miliknya.

“Eh, ayo! Aksa udah di stasiun nih,” teriaknya.

“Yang bikin telat siapa, yang diteriakin siapa,” protes Dinda pada Galih.

“Maaf, kan beli makan dulu,” balas Galih dengan senyum khasnya yang manis.

Mereka pun bergegas menuju sebuah mobil berwarna putih yang telah terparkir di depan kantor. Galih mengoperasikan kemudi dengan sedikit gelisah karena jalan yang mereka lalui begitu padat. Antrean mobil terlihat begitu panjang tanpa ujung, ditambah lagi suara klakson yang bersahutan begitu memekakkan setiap telinga yang mendengarnya. Dinda yang duduk tepat di bangku belakang Galih tengah menelepon Aksa dan mengabari jika mereka akan terlambat ke stasiun. Naura yang duduk di sebelah Dinda hanya diam memperhatikan gerak gerik dua orang manusia yang dikenalnya baik itu.

“Ra kamu ikut kita dulu gapapa kan?” tanya Dinda.

“Iya mbak gapapa,” jawab gadis yang akrab di sapa Ra itu.

Dinda kembali berbicara dengan Aksa melalui ponsel pintar miliknya. Sementara Naura tengah memperhatikan setiap kendaraan di luar melalui kaca mobil. Ia berpikir bagaimana bisa orang-orang begitu betah bertahan di suasana yang begitu buruk seperti ini. Suasana yang tak sedikit pun membuat senang. Matanya menelisik setiap mobil maupun motor yang berhenti di sampingnya begitu lama lalu memejamkan mata dan mengalihkan pandangannya ke depan. Matanya menatap lekat seseorang yang begitu fokus mengemudikan mobil yang ia naiki saat ini. Bibirnya terlihat mengulum senyum tipis. Matanya berbinar seakan melukiskan jika ada rasa yang ia pendam untuk seseorang yang saat ini ia tatap.

Semesta, entah bagaimana Kau menulis skenario untukku. Namun, jika boleh aku meminta. Izinkan aku menjadi salah satu tokoh terindah dalam hidupnya.

Setelah beberapa jam bergulat dengan kemacetan mereka pun sampai di salah satu stasiun di Jakarta. Aksa yang tengah menunggu di luar stasiun tampak tersenyum ketika melihat sebuah mobil yang dikenalinya mendekat. Dibukanya pintu mobil bagian depan dan langsung memasuki mobil. Mobil matik berwarna putih itu kembali melanjutkan perjalanannya menuju sebuah rumah makan khas Jogja. Perjalanan kali ini tak begitu ramai. Galih sengaja memilih jalan memutar untuk menghindari kemacetan Ibu Kota yang hampir setiap hari ia temui. Hal itulah yang membuatnya lebih memilih menaiki kendaraan umum ketika pergi keluar termasuk saat pergi ke kantor.

Setelah menempuh perjalanan yang tak begitu jauh dari stasiun, mereka sampai pada tempat yang dituju. Sebuah rumah makan yang cukup berhasil mengobati rindu pada kampung halaman mereka, Jogjakarta. Mereka memasuki rumah makan tersebut, memilih empat tempat duduk yang masih kosong dan memesan beberapa menu makanan sembari berbincang.

“Oh, Naura orang Jogja ya?” tanya Aksa.

“Iya mas,” jawab Naura mengangguk.

“Ini di Jakarta kerja sambil kuliah gitu?” tanya Aksa lagi.

“Iya mas buat bertahan hidup hehe,”

“Asal kamu masih bisa bernapas pasti bisa bertahan hidup Ra,” canda Aksa

“Ah! Benar juga ya mas.”

“Sekarang sudah semester berapa?”

“Alhamdulillah, udah nyusun skripsi mas.”

“Wah! Udah mau lulus ya.”

“Eh rencana setelah lulus apa nih?” tanya Dinda penasaran.

“Rencana mau cari beasiswa buat lanjut S2 di Jepang mbak. Itu kalau lolos,” jawab Naura malu-malu.

“Di kantor ngga ketemu kamu lagi dong. Wah bakal ketemu Ina terus nih nantinya.” Kata Dinda.

Naura hanya tersenyum, ia menunggu reaksi Galih yang hanya terdiam sedari tadi. Namun Galih tetap terdiam tanpa merespons apa-apa sembari fokus memainkan ponsel pintar miliknya. Ada sedikit kecewa yang dirasakan oleh Naura. Meski begitu ia tetap memperhatikan Galih. Ia cukup bahagia bisa melihat orang yang ia cintai selama ini dalam jarak dekat seperti sekarang. Tak pernah terpikirkan olehnya bisa melihat sosok yang begitu ia kagumi tepat di depannya dengan waktu yang cukup lama. Ia pun turut terdiam mendengarkan Aksa dan Dinda yang asyik berbincang sementara matanya masih menatap lekat laki-laki yang ada di depannya.

“Mas Galih ngga ada rencana buat balik Jogja?” tanya Naura memecah hening antara dirinya dan Galih.

“Belom ada,” jawab Galih dengan muka datar.

“Kenapa mas? Udah betah di Jakarta ya?” Tanyanya lagi

“Gak juga. Cuma lagi ga pengen balik aja.”

Mereka kembali terdiam. Galih masih saja sibuk bercengkerama dengan ponsel pintarnya. Sesekali ia melirik ke arah Aksa dan Dinda sembari tersenyum. Dua sahabatnya itu terlihat begitu akrab, topik yang mereka bicarakan seakan tiada habisnya.

Setidaknya aku turut bahagia melihatmu bahagia Din. Mungkin semesta memang tak menakdirkanmu untukku, tapi aku akan berusaha selalu ada ketika kamu butuh, untuk kebahagiaanmu. Semesta, jika nanti mereka benar-benar sadar akan apa yang mereka rasakan, beri diri ini kerelaan untuk melepasnya.

MASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang