Sore itu Aksa duduk pada sebuah bangku kayu tua di beranda rumahnya. Matanya menatap lekat langit yang begitu indah. Langit yang dihiasi warna oranye dan merah muda, disertai beberapa awan beterbangan layaknya kapas ditiup angin yang teramat-sangat pelan. Ia memegang sebuah buku yang lumayan tebal di tangannya. Sebuah buku berjudul Critical Eleven karya Ika Natassa. Buku yang sehari lalu dibelikan oleh Dinda untuknya, entah untuk apa, ia tak benar-benar tahu. Aksa membaca buku itu perlahan, membalik setiap halamannya satu-persatu, sesekali diseruputnya secangkir kopi yang tersedia pada sebuah meja persis di sebelah bangku yang ia duduki.
“Lho masih disini to le?” tanya seorang wanita paruh baya yang baru saja keluar dari rumah Aksa.
“Iya bu, memangnya Aksa harus kemana?”
“Katanya mau nganter Dinda ke stasiun. Ngga jadi?”
“Oh itu, masih sejam lagi kok bu.”
“Nak Galih apa kabar Sa? Udah lama ibu ndak ketemu dia. Udah ndak balik Jogja lagi ya?”
“Dia baik-baik saja Bu, tapi ya gitu jarang balik ke Jogja, kurang tahu juga kenapa.”
“Oh ya, kamu sama nak Dinda bagaimana?”
Pertanyaan itu berhasil membuat Aksa terdiam begitu lama. Ia melihat langit-langit beranda rumahnya, lalu menjawab, “kami sahabat,” jawabnya singkat.
“Ibu tau kamu suka kan sama Dinda? Dinda baik, ibu juga sudah kenal dia, ibu setuju kalau kamu sama dia.”
“Tapi... dia masih belum buka hatinya buat Aksa bu. Susah rasanya.”
“Ngga ada yang susah kalau Tuhan menghendaki Sa. Kamu cuma perlu usaha sama terus do’a. Udah sana berangkat, nanti Dinda nunggu lama lagi. Ngga baik membiarkan wanita menunggu terlalu lama.”
“Iya bu Aksa berangkat dulu yaa,” ia menutup buku yang dibacanya. Meletakkannya dimeja dan meraih tangan sang ibu lalu menciumnya.
***
Langit sore ini tampak begitu indah. Sepertinya, kali ini semesta sedang berbaik hati pada setiap penghuni bumi. Cahaya semesta yang satu ini tak pernah gagal membius setiap mata yang melihatnya. Cahaya oranye itu menumpahkan warna-warna serupa pada setiap tempat yang dapat dijangkaunya. Sepertinya ia tengah bersenang hati menemani perjalanan dua anak manusia yang akan berpisah untuk beberapa waktu lamanya. Dua anak manusia yang tengah menikmati tumpahan-tumpahan cahayanya.
“Gimana bukunya? Udah dibaca?” tanya Dinda mencoba memecah keheningan yang terjadi semenjak mereka menaiki motor skuter klasik itu.
“Udah, masih bab pertama aja.” Jawab Aksa singkat.
Suasana kembali hening, Aksa fokus memacu motornya. Sementara Dinda melihat ramainya manusia yang tengah memadati kota kelahirannya itu. Motor usang yang mereka tumpangi melesat tak terlalu cepat, seakan membiarkan dua insan yang menaikinya menikmati landscape indah kota Jogja. Jogja memang layak dijadikan kota istimewa. Setiap sudut kotanya selalu mengandung candu untuk kembali lagi melepas rindu. Pun jika Jogja bukan tempat kelahirannya, Dinda akan tetap merindukan Kota yang berhasil mengukir kenang di setiap langkah setiap manusia yang mengunjunginya itu.
Lima belas menit setelah menembus jalanan Yogjakarta, Aksa dan Dinda telah sampai di stasiun. Kereta yang akan dinaiki Dinda berangkat sekitar tujuh belas menit lagi, waktu yang sangat lama untuk Dinda jika harus menunggu di peron tanpa teman yang bisa diajak bicara. Ia pun memutuskan menunggu kereta di ruang tunggu boarding bersama Aksa yang duduk tepat disampingnya. Dinda memainkan ponsel pintar miliknya sembari melihat jam yang tertera di halaman depan papan digital tersebut. Sementara Aksa memandangi tiap langkah kaki yang ada di sekitarnya, sesekali ia melihat lekat wajah Dinda. Namun kali ini berbeda, setiap ia menatap wajah perempuan disampingnya, ia selalu ingat kalimat yang diucapkan sang ibu sore tadi. Ngga ada yang susah kalau Tuhan menghendaki Sa. Kamu cuma perlu usaha sama terus do’a. Kalimat itu seolah mendorong Aksa untuk mengungkapkan perasaannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
MASA
RomanceSemesta selalu punya cara indah untuk melukiskan rasa cinta pada setiap insan di dunia. Rasa-rasa yang seringkali menyisakan kisah indah untuk dikenang oleh masing-masing pemilik rasa. Ini kisah tentang empat anak manusia. Saling cinta, namun masih...