Prilly's Butterflies

31K 1.7K 17
                                    

Prilly menoleh ke belakang ingin melihat apakah dia terluka. Mata prilly terbelalak. Kemudian wajahnya memerah seperti tomat.

Bukan sakit yang membuat wajahnya merah melainkan rasa malu yang luar biasa kini telah menderanya. Prilly dengan cepat duduk di bangku, wajahnya masih merah. Laki-laki itu mendekatinya tampak khawatir. Prilly merutuk dirinya sendiri. Bagaimana mingkin dia tidak sadar kalau siklus bulanannya tiba-tiba datang. Pantas saja seharian dia merasa emosinya meledak-ledak ternyata karena si merah akan berkunjung. Noda merah tampak jelas terlihat pada rok seragam Prilly karena rok dan celana seragam di sekolahnya berwarna krem muda. Prilly merasa bodoh dan malu dengan keadaannya, apalagi di hadapan orang yang dia belum kenal.

"Lo kenapa? Gue bantu sini" ucap laki-laki itu cemas. Prilly bingung harus bagaimana menjelaskannya.

"Emmm anu... eh itu mmmm apa... ini..." Prilly kehabisan kata-kata tapi mau tidak mau dia harus menjelaskan.

"Emm tamu bulanan gue dateng ternyata" Prilly menutup mukanya, malu. Laki-laki itu awalnya tampak bingung,

Laki-laki itu mencoba memahami kalimat Prilly tadi, mungkin maksud kalimat itu hanya kiasan. Tiba-tiba laki-laki itu menepuk dahinya. Dia kini sadar apa maksud tamu bulanan itu. Dia tahu, pasti gadis di depannya kini sedang merasa malu. Dia ingin mencairkan suasana. Setidaknya dia lega, karena gadis itu tidak sedang sakit ataupun terluka.

"Sorry ya, gue baru paham" ucap laki-laki itu lembut.

"Gue baru inget, kakak gue juga pernah kayak gitu" lanjutnya sambil tersenyum.

"Eh iya gapapa, gue yang makasih karena lo udah nolongin gue tapi gue malah nyerocos tadi" keduanya tertawa bersamaan, Prilly mulai sedikit nyaman.

Prilly sudah terlalu lama di taman, dia ingin pulang, dia ingat kalau Al memintanya agar tidak pulang terlalu sore. Prilly memang cukup penurut pada kakaknya. Kepada siapa lagi dia mau menurut kalau bukan kepada kakaknya. Prilly mengambil ponsel nya. Dia ingin mengabari Al agar menjemputnya. Dia sadar kalau tidak mungkin dia menghampiri taksi sementara ada noda merah di roknya. Apalagi dia berada di tengah taman yang luas dan kini sudah sangat ramai.

Tapi Prilly sedang tidak beruntung, ternyata ponsel nya mati kehabisan baterai padahal dia juga tidak membawa powerbank. Jangankan powerbank, tasnya saja sudah dititipkan pada Al saat pulang sekolah tadi. Dia hanya membawa uang dan ponsel di saku bajunya. Dasar bodoh, rutuknya.

"Kenapa?" Tanya laki-laki itu karena melihat Prilly tampak gusar.

"Emm ini, gue mau nelpon kakak gue buat jemput gue, tapi batre handphone gue habis, nggak mungkin gue jalan nyari taksi dengan keadaan.... yaa lo tau lah" jelas Prilly murung. Laki-laki itu kemudian berinisiatif meminjamkan ponselnya pada Prilly. Prilly tampak tersenyum lega saat menerima ponsel dari laki-laki itu. Tapi dia tidak jadi menelepon, mukanya merengut. Dia mengembalikan ponsel itu.

"Lho kok, nggak jadi nelpon?" Tanya laki-laki itu heran. Dia menepuk dahinya lagi, ternyata batre ponselnya juga habis. Belum apa-apa sudah ada kesamaan antara mereka. Iya, sama-sama hanya membawa ponsel dan uang di saku. Laki-laki itu merutuk kebodohannya.

Prilly tiba-tiba beranjak, percuma juga kalau berdiam diri lebih baik tetap pulang. Dia harus bisa menahan malu kalau ada orang yang melihatnya nanti. Setidaknya dia bisa menutup mukanya dangan tangan sampai ke taksi.

"Eh lo mau kemana?" Tanya laki-laki itu tampak bingung. Prilly menghembuskan nafasnya pasrah.

"Gue mau pulang" jawab Prilly singkat

"Tapi itu..." Laki-laki itu terhenti ucapannya. Prilly memotongnya.

"Gapapa, orang-orang di sini juga nggak kenal gue" Prilly mencoba menghibur diri padahal dia sedang menyiapkan mentalnya demi menahan malu. Belum lagi seragamnya, seragamnya itu adalah seragam sekolah terkenal, semua orang pasti tahu kalau dia adalah siswi SMA Aldric, salah satu SMA ternama. Prilly menghembuskan nafasnya lagi, pasrah. Sebenarnya Prilly ingin berlari agar tidak banyak orang yang melihatnya tapi jangankan untuk berlari, untuk berjalan saja dia sebenarnya enggan. Dia merasa tidak nyaman dengan si merah yang sedang bertamu. Dia memutuskan untuk berjalan. Namun belum sempat melangkahkan kakinya, dia merasa tangannya tertahan. Laki-laki itu memegang tangannya.

CLASH: Another Ali And Prilly StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang