PART(06) JANGAN SAMPAI AISYAH TAHU

22 3 0
                                    

Assalamualaikum ... hai-hai! Aku muncul, nih ... mau up part baru. Maaf, ya ... baru up, baru ada kuota soalnya🤣

__________________________________

***

Bruk!

Rizky membanting pintu keras. Melangkah dengan langkahan kaki yang memiliki tekanan yang cukup kencang. Wajah yang sedikit memerah, itu semua ada pada Rizky sekarang.

“Patimah!!" teriak Rizky sambil membanting helm.

"Ada apa, sih, Kak? Helm kok sampai dibanting gitu, mahal, tahu!" bentak Fatimah.

"Uustt udah, gua yang mau marah sama lu, malah lu yang marah sama gua, dasar!" bentak Rizky.

"Mau marah, ya? Ya udah, silahkan," jawab Fatimah dengan percaya dirinya
.
Rizky tidak bisa menahan kemarahannya, wajahnya mulai memerah. Ditambah dengan santainya Fatimah yang ingin dimarahi.

"Lu udah bohongin gua, ya!" bentak Rizky tepat di telinga Fatimah.

"Heheh, maaf, Ka, maaf. Lagian nih, ya, harusnya Kaka tuh tanggung jawab,  bu—“ ucap Fatimah yang terpotong karena ujung jari telunjuk kakaknya telah menempel di bibirnya.

"Patimah! Jangan ngebantah!" bentak Rizky.

"Nama aku Fatimah, Kak. Bukan Patimah!" ucap Fatimah sembari memutar bola matanya malas.

"Suka-suka gua, dong. Mulut-mulut gua, bukan mulut lu!" bentaknya lagi.

Fatimah hanya membalas bentakan Rizky dengan menghela napas kasar dan berusaha mendengarkan ocehan kakaknya. Perkataannya panjang, tapi hanya ada satu makna, yaitu, Fatimah bohongin Rizky. Udah itu aja, kenapa jelasinnya kaya rumus persegi panjang, panjang kali lebar.

"Udah, Kak?" jawab Fatimah yang dari tadi mendengarkan ocehan kakaknya.

"Udah. Sekarang, lu jangan bocorin hal ini sama teman  lu dan keluarganya, oke?" tanya Rizky.

"Kenapa? Suka-suka gua, dong. Mulut-mulut gua," jawab Fatimah dengan menjulurkan lidahnya, meledek.

"Ya udah, gua ngomong gini juga buat menjaga persahabatan lu sama Aisyah. Gua apes, elu juga apes! Seimbang, dong," jawab Rizky sambil menyilangkan kedua tangannya di dada.

Fatimah diam bak patung. Otaknya mulai berpikir. Berkali-kali dia menelan salivanya.

'Bener juga, sih, tapi kalau aku nutupin ini semua ...' batin Fatimah.

"Udah! Pokoknya gua gak mau sampai Aisyah tahu kalau gua yang buat dia amnesia! Oke!" bentak Rizky lalu pergi meninggalkan Fatimah.

****

Wanita paruh baya dengan pakaian yang bernuansa hitam itu terus berjalan menelusuri lorong-lorong Rumah Sakit. Nampak, beberapa orang berlalu lalang dengan kondisi yang tidak menentu. Salah satunya bu Maryam. Berjalan lurus dengan raut wajah yang datar. Bu Maryam seperti orang yang linglung, pantas saja, bukan?

'Bagaimana ini? Aku hanya mempunyai uang segini, tidak cukup untuk membiayai perawatan Aisyah' batin bu Maryam sambil mengeluarkan  selembar kertas berwarna merah dari saku gamisnya.
Lorong demi lorong sudah dilewati oleh wanita itu. Akhirnya, dia sampai di tempat pembayaran.

"Maaf, Sus. Saya ingin menanyakan berapa biaya yang dikeluarkan untuk anak saya, Aisyah," ucap bu Maryam.

"Maaf, Bu. Semuanya sudah lunas dibayar, Bu."

Mata bu Maryam membulat sempurna. Keningnya mengernyut, beberapa pertanyaan mulai terlintas di pikiran bu Maryam.

"Siapa yang membayarnya?" tanya bu Maryam.

"Maaf. Orang itu tidak mau ada siapa pun yang mengetahuinya, Bu."

"Oh. Ya sudah. Terima kasih, Sus."

Bu Maryam heran, heran sekali. Selama ini, tidak ada yang peduli dengan keluarganya. Tapi, siapa yang membayar ini semua. Sebuah misteri yang susah dipecahkan. Dia menggarukan kepalanya yang tidak gatal. Semua ini sungguh membuatnya pusing.

'Syukron, Yaa Allah. Engkau telah memberi hamba keringanan. Berilah keberkahan bagi sesiapa yang melunaskan biaya perawatan Aisyah, Yaa Allah," batin bu Maryam.

***

Aisyah termenung sendirian di ruangan bernuansa biru itu. Matanya terlihat sangat takut, jemarinya tidak berhenti memainkan kukunya. Matanya dia mainkan, melihat seisi ruangan dengan tatapan takut.

Sudah beberapa hari Aisyah berada disini. Namun, dokter sangat berat mengucapkan bahwa Aisyah boleh pulang. Entah sampai kapan Aisyah berada di sini. Betapa anehnya, bapak Aisyah tak kian muncul di ruangan ini. Bahkan, telepon pun tak kunjung aktif.

***

Malam yang begitu indah. Dengan dihiasi bintang-bintang yang bertaburan di langit, seakan membuat malam ini menjadi semakin indah. Gadis itu menyenderkan kepalanya di pohon, dengan meletakkan pantatnya di atas kursi panjang berwarna putih. Di tangannya terdapat buku yang di dalamnya terdapat coretan-coretan tangan nan bagus. Angin membawa dedaunan kering beterbangan di udara. Membuat malam ini menjadi semakin dingin.

'Aisyah, sosok sahabat yang baik. Yang aku kenal baru 1 hari saja. Kini, engkau telah lupa dengan kejadian-kejadian yang kita jalani di hari pertamaku masuk sekolah baru. Hari pertamaku bertemu kamu, di mana kamu begitu mengasyikkan dan begitu tegar. Bisakah kamu kembali mengingatku lagi? Aku ingin bermain bersamamu  tanpa berkenalan lagi. Aku takut, di mana kamu akan menjauhiku. Karena, yang membuatku seperti ini adalah kakakku sendiri, Rizky,' batin Fatimah yang dari tadi menikmati malam di atas kursi panjang berwarna putih.

Bulir-bulir air mata tumpah seketika di pipi bakpaonya. Membiarkannya jatuh di atas kertas berisi coretan tangannya.  Dia menghapus air matanya, lalu menepiskan bajunya dan melihat dengan teliti angka-angka yang melingkar di barang unik itu.

"Sudah jam 9, aku harus segera pulang. Pasti kakak sudah menunggu di rumah," gumam Fatimah.

Fatimah beranjak pergi dari tempat itu. Tempat di mana dia sering melepaskan semua keresahan hatinya. Sebuah tempat yang begitu elegan, dengan bunga-bunga yang berjejer rapi di sekitar. Kursi-kursi panjang yang berjejer tepat di bawah pohon. Membuat semua orang tampak betah di tempat ini.

"Fat!"  panggil  seseorang.  Fatimah  menoleh  ke  belakang  di  mana  sumber  suara  tadi  berasal.

"Kakak  ngapain  ke  sini?"  tanya  Fatimah  kepada  orang  tersebut  yang  ternyata  adalah  kakaknya  sendiri,  Rizky.

"Mama  tadi  nelpon  dan  cariin  lo,  gue  jawab  aja  yang  sebenarnya.  Khawatir  dia,  maklum,  kan  lo  anak  paling  ...  tersayang,"  jawab  Rizky  sambil  tersenyum  kecut.

"Ih  ...  gak  usah  berlebihan  gitu,"  ujar  Fatimah  sambil  berjalan  menuju  parkiran.

"Lagian  kenapa,  sih.  Di  sini  sendirian.  Matanya  sembab  lagi."

"Hah?  Masa?"  tanya  Fatimah  tak  sadar.  Ia  langsung  mengusap   kelopak  matanya  tak  percaya.

"Iya.  Kenapa,  sih?  tanya  Rizky.

"Gara-gara  Kakak.  Ngebut-ngebutan  gak  jelas  sampai  nabrak  Aisyah.  Kakak  tahu,  kan  rasanya  kehilangan  itu  bagaimana?"  Fatimah  bertanya  hal  tersebut  sambil  menghentikan  langkah  kakinya.  Rizky  pun  sama,  mereka  saling  pandang  dengan  pandangan  yang  memiliki  arti  yang  berbeda-beda.

"Kakak  sudah  minta  maaf,  kan?  Tugas   gue  apalagi,  Fat?"  tanya Rizky yang tak dijawab sama sekali oleh Fatimah. Dia berjalan terus tanpa memperhatikan kakaknya yang memanggilnya berkali-kali.

***

"Aisyah, kamu boleh pulang," ucap dokter.  Empat kalimat yang membuat semua orang di ruangan itu bergembira. Empat kata yang sedikit, tetapi mempunyai makna yang begitu penting.

"Terima kasih, Dok," ucap bu Maryam dengan sedikit senyuman tipis.

Dokter  meninggalkan ruangan itu.  Meninggalkan tiga sosok wanita berhijab disitu. Fatimah, Aisyah, dan bu Maryam. Nama yang mencerminkan kepribadiannya sebagai muslimah yang baik.
Fatimah dan bu Maryam membereskan semua baju-baju. Sedangkan Aisyah, masih sama dengan ekspresi di  mana dia bangun. Entah apa yang dipikirkannya, tatapannya selalu kosong ke depan. Tetapi, jika ada orang yang memanggilnya, terutama ibunya, dia langsung sadar dari lamunannya. Semuanya sudah beres, tinggal pulang dan membereskannya kembali di rumah Aisyah.  Fatimah melihat Aisyah yang melamun. Tatapannya sendu. 'Maafkan aku, Aisyah,' batin Fatimah.

Bersambung ....

AISYAH [Telah Terbit ✅]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang