Assalamu'alaikum ... yuhuuu kembali lagi sama aku 🥳. Lama banget, ya nunggunya. Kenapa jarang up, sih, Thor? Ya karena kehambat kuota dan nugas 🤣. Sekalinya ada kuota, buat nugas, ludes deh. Eh, kenapa jadi curhat? Mon maap 🙏.
O iya. Alhamdulillah cerita 'Aisyah' ini sudah terbit ISBN. Tinggal sedikit lagi prosesnya. Lama, ya? Iya, karena ngantri, hihi. So, bagi kalian yang mau tau kelanjutan ceritanya, bisa mulai nabung dari sekarang. Karena kemungkinan, cerita ini bakal nggantung. Artinya, gak dipost sampai ending 🤭. Nunggu novelnya laris dulu 🤫. Harga? Nanti aku kasih tahu di pertemuan selanjutnya, eh 🤭. Kaya di sekolah aja.
Cus! Happy reading ❤
_________________________________________
***
"Aku ada di mana?" tanya Aisyah kepada diri sendiri.
Gadis itu melihat sekeliling, menengok ke kanan dan ke kiri. Tidak ada siapa pun, hanya ada pohon-pohon yang menjulang tinggi ke atas, serta ilalang yang tidak menentu tumbuhnya.
"Ibu? Bapak? Kak Hilda?"
Dia terus berjalan, menyusuri ilalang yang ada di sisi kanan dan sisi kirinya. Semuanya begitu menakutkan baginya, dia sendirian di sana, melewati hutan yang ditumbuhi tumbuhan yang lebat, ditambah matahari yang mulai menyembunyikan dirinya.
Senja masih ada, tapi senja akan meninggalkannya. Dan siapa yang akan datang? Malam, tentunya. Malam yang begitu gelap, hanya diterangi oleh bulan dan bintang. Wajah Aisyah langsung pucat, seluruh tubuhnya bergemetar, senja akan segera hilang.
"Hey!" Aisyah menengok dengan wajah yang sangat menunjukkan ketakutan. Kakinya masih bergemetar, keringat bercucuran di wajahnya. Jari-jarinya semakin bertautan.
"Sedang apa kamu di sini?" tanya seseorang tersebut.
"Aku tak tahu kenapa aku bisa ada di sini, kamu siapa? Kenapa wajahmu terlihat kabur di mataku?"
"Jika kau ingin tahu, besok kau akan bertemu denganku," jawabnya
Perlahan, sesosok orang yang tadi memanggilnya hilang bersamaan dengan kabut di sekelilingnya. Tangannya melambai-melambai ke Aisyah. Aisyah bingung dan cemas, bagaimana tidak? Senja hilang bersamaan dengan hilangnya sosok pria itu. Mereka seperti saling berhubungan, mereka datang dan pergi, tapi membawa janji untuk bertemu kembali.
"Hey! Mau ke mana, kau?" panggil Aisyah
"Aisyah! Aisyah! Bangun!" pinta Ibu sambil menggoyang-goyangkan tubuh Aisyah. Aisyah membuka mata, dan heran mengapa dia berada di sini sekarang, di kamarnya.
"Ibu?"
"Apa? Kamu mengigau gak karuan. Sampai keringatnya banyak kayak gitu. Untung gak kencing," ucap ibu.
"Jadi, tadi aku cuman mimpi, Bu? Astagfirullah," ucap Aisyah sambil bangun dan duduk di ranjangnya.
"Dasar. Mandi, gih. Sudah hampir malam!" pinta ibu.
"Baik, Bos!" jawabnya sambil berdiri dan berjalan menuju kamar mandi.
Ibunya hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala saat melihat tingkah anaknya tersebut. Aneh, mungkin.
***
'Pagi, dunia. Ku harap, kau memberikan bagian rasa bahagia untukku. Meskipun, aku sudah merasakan bahagia setelah aku mengalami amnesia. Entah apa yang telah aku lupakan sekarang, aku harap, kau bisa menjawab semua pertanyaan yang ada di benakku sekarang. Kau tahu? Aku sedang bingung tentang mimpiku kemarin. Aneh, sosok pria itu tak asing bagiku, tapi pandanganku waktu itu tidak jelas. Seperti teka-teki saja, bukan?'
Tulisan itu telah tercantum dalam buku khususnya. Buku yang memuat berbagai coretan tangannya yang begitu indah. Kata mutiara, nasehat, puisi, dan yang lainnya telah ada di sana. Yang tentu, itu adalah hasil karya Aisyah sendiri.
Tok! Tok! Tok!
"Assalamualaikum."
"Wa’alaikumussalam."
Aisyah menengok ke arah pintu yang masih tertutup. Dia berjalan menuju ke sana dan hendak membuka pintunya. Saat dia membuka pintunya, dia mendapati seseorang yang tak asing baginya. Fatimah. Dia datang kemari dengan seragam sekolah?
"Fatimah?" ucap Aisyah.
"Kamu ingat aku, Aisyah?" tanya Fatimah.
"Ingat. Kamu perempuan yang ada di Rumah Sakit waktu itu, kan?" tanya Aisyah.
Wajah Fatimah langsung merengut. Jawaban yang didengarnya tidak seperti yang diharapkannya.
"Kenapa?" tanya Aisyah.
"Tidak. Kamu tidak berangkat sekolah? Aku ke sini hendak mengajak berangkat sekolah bersama," jawab Fatimah dengan senyuman khasnya.
"Aku tidak sekolah, Fat. Entahlah, orang tuaku hendak mencarikan aku guru pribadi," jawab Aisyah.
"Hmm, padahal aku ingin bermain denganmu lagi,"
Aisyah tidak mengerti apa yang dikatakannya. Dia tidak mengingat apa-apa tentang Fatimah. Dua gadis itu masih di ambang pintu, saling memandang dengan pandangan yang tak berarti.
"Aisyah! Disuruh masuk, dong, tamunya. Jangan berdiri di ambang pintu terus!," pinta ibu dari arah dapur.
"I-i-iya, Bu," ucap Aisyah.
"Ayo, masuk, Fat."
"Tidak usahlah, sudah siang, berangkat dulu, ya, Syah. Assalamualaikum," ucap Fatimah sambil tersenyum.
"Wa'alaikumussalam."
Pukul 06.30 awan yang cerah, angin yang sejuk menjadi pelengkap dari suasana pagi. Pohon-pohon masih bisa tenang, jalan raya masih sepi, rumah masih lengkap dengan anggota keluarga. Bekerja? Tidak sekarang, saat ini masih cukup bagi mereka yang bekerja mencari nafkah.
Aisyah masuk ke dalam rumah dengan memasang muka merengut. Dia ingin normal seperti anak-anak biasanya, sekolah, mempunyai teman, mengikuti kegiatan di sekolah, dan lain-lain. Entahlah, nasibnya sekarang begitu buruk.
Ibu dan bapaknya pun tidak cukup untuk menemani dia selama berada di rumah. Bagaimana pun, dia butuh teman untuk bermain. Butuh teman untuk diajak curhat tentang pengalaman remajanya. Amnesia. Ini semua gara-gara dia. Kenapa harus amnesia?
"Siapa, Syah?" tanya ibu.
"Fatimah."
"Mau apa dia?"
Gadis itu hanya menoleh ke arah ibunya, tidak memberikan jawaban sama sekali. Wajahnya masih merengut, tak ada senyum terukir di wajahnya. Masih pagi, ini masih pagi, hey! Aisyah! Bangun. Ibu yang melihat tingkah anaknya sungguh heran. Tapi, dia juga tidak tega melihat anaknya seperti itu. Di satu sisi, dia ingin Aisyah dapat mengejar materi pelajaran dengan adanya guru pribadi, di sisi lain, dia juga kasihan melihat putrinya setiap hari tak ada semangat untuk melakukannya. Belum ada guru saja dia sudah putus asa, apalagi kalau sudah merasakannya.
"Aisyah! Ibu tanya sama kamu, Nak. Kenapa tidak dijawab?"
Lagi. Aisyah hanya menoleh. Saat itu, dia sudah sampai di depan pintu kamarnya. Ia memegang kenop pintu dan memutarnya lalu masuk ke kamar. Tak peduli dengan ibunya sekarang. Yang terpenting, Aisyah tenang dahulu.
***
"Aisyah! Buka pintunya! Makan dulu, Syah!"
Tok! Tok! Tok!
Ibu terus mengetok pintu putrinya, tapi tak kunjung dibuka. Dijawab saja tidak, apalagi dibuka. Benar. Aisyah benar-benar kecewa. Dia ingin bebas.
"Aisyah?"
Ibu menekan kenop pintu secara terus menerus. Bunyinya nyaring, tak mungkin Aisyah tidak mendengarnya. Beberapa waktu telah terbuang sia-sia. Ibu yang sedari tadi berada di depan pintu Aisyah, kini telah pasrah. Tidak ada lagi yang perlu dia lakukan, kecuali mengizinkan Aisyah untuk bersekolah umum seperti biasanya. Pikirannya melayang ke mana-mana, dia takut putrinya tak sanggup menerima pelajaran yang diterangkan karena dia telah amnesia. Benar-benar sulit.
"Ibu kenapa masih di sini?" tanya bapa.
"Si Aisyah. Gak mau makan sejak pagi," jawab ibu singkat. Tatapan ibu masih kosong ke depan. Kedua telapak tangannya telah ditumpukan pada wajahnya. Bingung harus melakukan apa.
"Yo weslah. Izinkan Aisyah sekolah seperti dulu," ucap bapa sambil pergi meninggalkan ibu.
Perempuan itu masih dengan posisinya tadi. Masih di meja makan, menunggu Aisyah keluar dari kamarnya, berharap dia mau makan. Itu saja.
Sudah cukup lama ibu menunggu Aisyah. Hanya lalat yang menghampiri hidangan, bukan Aisyah. Sebagai seorang ibu, pasti dia mempunyai rasa khawatir yang amat besar kepada anaknya. Meskipun anaknya telah membuat hati ibunya menjadi gelisah.
"Aisyah, makan," ucap ibu halus.
Pintu terbuka. Aisyah muncul dari balik pintu dengan mata yang sembab. Mata kanan dan kirinya jauh ukurannya. Sebelah kanan besar, sedangkan sebelah kiri kecil. Air matanya masih tersisa di kelopak matanya. Dia sudah mengeluarkan air mata cukup banyak di kamar. Inilah bentuk kekecewaan yang paling tinggi. Menangis.
Ibu yang melihat Aisyah, langsung menggandeng tangan putrinya dan mengajak dia makan. Aisyah mengekor di belakangnya, patuh, tak ada yang bisa dia lakukan sekarang. Hanya bisa diam dan diam, menyembunyikan kekecewaan yang tercoret di hatinya.
"Makan yang banyak," ucap ibu sambil mengambilkan nasi serta lauk ke piring Aisyah.
"Cukup, Bu," ucap Aisyah sambil menghalangi ibu yang ingin menambahkan beberapa lauk ke dalam piring.
"Ya sudah. Dihabisin, ya!" pinta ibu
Pagi itu hanya ada suara dentingan piring dan sendok. Tak ada yang berani membuka percakapan. Ibu juga tidak ingin Aisyah kecewa lagi.
***
"Aisyah mandi dulu, Bu."
"Iya."
Aisyah telah masuk ke kamar mandi. Masih pukul 09.00 WIB, cukup lama Aisyah menangis di dalam kamar sampai dia lapar tak karuan. Ibunya memilih duduk-duduk di sofa sambil membaca koran.
Tok! Tok! Tok!
"Assalamualaikum."
"Wa'alaikumussalam”
Ibu Maryam langsung bangkit dari sofa dan membuka pintunya. Siapa yang datang tiba-tiba di waktu pagi seperti ini? Ada-ada saja.
"Siapa, ya?" tanya ibu.
Lelaki itu langsung tersenyum dan langsung menyalami ibu itu. Ibu pun langsung membalas senyumannya dan salamannya.
Bersambung ....
KAMU SEDANG MEMBACA
AISYAH [Telah Terbit ✅]
Teen FictionAisyah, seorang gadis berhijab yang menjalani hidupnya dengan penuh kesengsaraan. Itu semua berawal dari mulai dia mengalami kecelakaan dan akhirnya amnesia. Ironisnya lagi, yang membuat dia amnesia adalah orang yang membuat dia jatuh cinta. Muhamm...