PART (16)
AISYAH ATAU REINA?
POV. Rizky
***
"Dari mana saja?" tanya Reina.
Dia berada di bangku panjang tepatnya di bawah pohon. Pasti dia sudah menungguku dari tadi. Sial! Bukan karena dia kecewa denganku. Namun, karena takut jika aku dimarahi oleh ayahnya. Ayahnya sudah menganggapku sebagai anaknya sendiri, kasih sayangnya bahkan melebihi kasih sayang Mama dan Papa. Tidak enak hati jika beliau tahu bahwa aku telah menyakiti anaknya.
"Maaf, Rein. Tadi jemput adik dulu," ucapku.
"Jemput adek apa wanita lain?" tanyanya sambil berdiri menghadapku.
"Maksud kamu apa? Posesif banget, sih!" bentakku.
Begitulah sifatku. Seperti wanita yang sedang datang bulan. Marah dan melontarkan kata-kata yang membuat orang tersebut pun marah. Aku tipe orang yang tidak suka dikekang, diatur sana-sini. Aku juga ingin bebas, tanpa pantauan dari orang lain.
“Terus aja bilang aku posesif! Mengadu ke ayah baru tahu rasa!" Dia membentakku dengan mengarahkan kepalanya ke depan. Jalan raya tepatnya. Bisa saja aku marah. Namun, marahku tertunda karena takut jika Ayah Reina kecewa denganku.
"Yuk! Makan!"
Aku menarik pergelangan tangannya menuju cafe di seberang jalan. Ia mengembangkan senyumnya dan bermanja meletakkan kepalanya ke pundakku. Inilah kebiasaannya. Risih sebenarnya, apalagi Reina melakukan hal ini sewaktu kita menyeberang ke cafe.
"Enak, gak?" tanyaku.
"Enak."
"Lahap banget makannya, laper? Apa doyan?" tanyaku sambil terkekeh.
"Dua-duanya."
Kita bergurau. Menghabiskan waktu bersama di cafe itu. Aku menganggap ini hal biasa. Karena, Reina sudah aku anggap sebagai adikku sendiri. Mungkin, hanya Reina dan Ayahnya yang menganggapku sebagai manusia. Yang lain memandangku sebagai barang bekas. Tapi, entah kenapa rasa sayangku ini tidak bisa kupaksakan. Aku sayang ke Reina hanya sebagai adik. Bukan sebagai pacar.
Setelah kami selesai makan, kami bergegas pulang. Karena hujan akan turun. Entah kenapa aku teringat saat aku dan Aisyah bermain hujan bersama. Sekarang, apakah harus dengan Reina? Aku tidak bisa membayangkan jika hujan-hujanan dengan Reina. Aku pasti dimarahi habis-habisan dengan Ayahnya.
"Kamu kuat hujan-hujanan, gak?" tanyaku.
"Takut petir," ucapnya sambil menunjukkan raut wajah khawatir.
"Mau di sini dulu atau bagaimana?"
"Ke rumah kamu aja dulu. Dekat, 'kan?" Ke rumahku? Jauh, lah. Payah! Siapa yang bisa aku andalkan?
"Bagaimana kalau kita ke rumah temannya Fatimah? Kebetulan, Fatimah juga ada di sana."
"Terserah." Aku melihat raut wajahnya. Takut, khawatir, dan gelisah. Entah karena efek terlalu di manja, atau memang dia seperti anak kecil. Aku tak tahu itu.
Langsung saja kurangkul tubuhnya yang bergetar itu. Memakaikan jaket di tubuhnya, biarkan saja aku yang kedinginan. Aku tidak mau dimarahi dan diceramahi oleh Ayahnya. Manja sekali, apakah semua perempuan seperti ini? Atau hanya beberapa perempuan saja?
***
Selama perjalanan tadi, aku risih sekali. Dia memeluk perutku erat. Jaketku aku pinjamkan kepada dia. Dia selalu memakai baju kurang bahan. Bagiku, itu tak menarik untukku. Senakal-nakalnya aku, aku ingin mempunyai pasangan yang taat kepada agamanya, walaupun aku tak taat kepada agamanya.
Saat ini, aku sudah di depan rumah Aisyah. Hujannya cukup deras. Petir pun menyambar ke mana-mana. Sepertinya, dunia pun tak rela jika aku bermain hujan dengan Reina. Haha.
Reina sudah aku suruh untuk berteduh di teras rumah Aisyah. Aku sibuk memarkirkan motor di depan rumahnya. Dingin, banyak petir, tidak bersahabat sekali cuaca hari ini.
"Assalamu'alaikum."
Aku mengetuk pintu. Tidak ada yang merespons. Hingga pada ketukan kedua akhirnya ada sosok yang muncul di belakang pintu. Aisyah. Dia menatapku keheranan. Kemudian, berlanjut menatap Reina yang ada di sebelahku.
"Fat?" panggil Aisyah.
"Iya?"
Fatimah berjalan ke arah Aisyah. Menghampiriku dan Reina yang sedang kedinginan tak karuan. Tampak sekali, Reina pucat pasi. Bibirnya tak merah lagi. Rambutnya yang panjang pun basah tak karuan.
"Loh, Kakak sama Mbak Reina ngapain kesini?" tanya Fatimah.
"Kehujanan."
"Eh, ya Allah. Ini pucat banget. Ke dalam dulu, ayo!" Aisyah menarik Reina ke dalam. Aku? Tidak ada yang memperhatikan.
***
Hujan berhenti. Aku dan Reina berniat untuk pulang. Namun, bagaimana dengan Fatimah? Entahlah. Senang sekali dapat melihat Reina mengenakan baju yang tertutup. Meskipun tidak memakai hijab, aku sudah senang melihatnya. Dia dipinjami oleh Aisyah celana dan kaos panjang. Awalnya, Aisyah ingin meminjaminya sebuah gamis. Namun, Reina menolaknya. Malu rupanya.
Sedangkan aku masih dengan pakaian yang awal. Awalnya aku ditawari oleh Ibunya Aisyah. Tapi, aku menolaknya. "Yang. Pulang ..." rengek Reina.
"Ayo!"
Dia tampaknya tidak nyaman berada di rumah Aisyah. Entah karena keadaan rumahnya atau cara Aisyah meramahkannya. Menurutku, Aisyah sudah ramah dengannya. Namun, Reina merasa canggung untuk menerimanya.
"Aisyah, Fatimah, Tante, kita pamit pulang dulu, ya," ucapku sambil beranjak dari sofa.
"Lah. Fatimah sama siapa?" tanya Fatimah sambil merengut.
"Nanti Kakak balik lagi jemput kamu, gampang," ujarku menenangkannya.
Fatimah tampak lega. Ia pun beranjak dari sofa menghantarkanku sampai di teras. Reina tampak tak sabar untuk pulang ke rumahnya.
"Pulang dulu, De."
Fatimah hanya membalas dengan menganggukkan kepalanya. Kemudian, aku beralih ke samping. Aisyah. Dia tersenyum saat melihatku tersenyum juga, dan kini ke sampingnya lagi. Tante Maryam. Sosok ibu yang sangat kuat dan tangguh menurutku. Dari mulai ia sempat kehilangan anaknya. Itu semua ulahku, semua ulahku.
Saatku menatap wajah Tante Maryam, hatiku seakan lemas. Mengingat hal pahit yang pernah aku lakukan terhadapnya. Aku pernah membuat ia khawatir, menangis, dan mungkin kehilangan. Entah mengapa aku ingin mengutarakan semuanya. Tapi, aku tidak rela jika Aisyah menjauhi Fatimah. Ribet.
Di sepanjang perjalanan, aku mengingat lagi kejadian di mana aku menabrak Aisyah. Perempuan yang tak salah. Perempuan alim yang menjadi korban kenakalanku. Saat itu, aku sedang gundah. Aku tidak mengerti jika akan terjadi seperti ini.
Semuanya tampak terjadi begitu saja. Jujur, aku tidak merasa bahwa aku telah menabrak seseorang.
***
Sekarang sudah waktunya aku menjemput Fatimah. Kasian, sudah lama menunggu. Aku sempat ditanyai mengapa Reina pucat seperti itu. Aku jawab jujur saja. Ayahnya tampak sedikit kecewa kepadaku. Apa boleh buat, aku harus menerimanya. Beruntung, aku tidak diberi hukuman.
Sekarang aku telah sampai di rumah Aisyah. Menjemput Fatimah anak Mama dan Papa tersayang, hm. Entah mengapa, pandanganku terganggu saat Aisyah bertatapan dengan seorang lelaki yang cukup tinggi. Aisyah tampak risih saat lelaki itu mencoba memegang tangan Aisyah. Entah siapa itu. Aku menghampiri mereka berdua.
"Fatimah di mana, Syah?" tanyaku. Aku tak menghiraukan percakapan apa yang dibicarakan oleh mereka.
"Di dalam. Masuk saja." Aku masuk ke dalam dan mendapati Fatimah sedang duduk di sofa. Mengantuk rupanya.
"Dek, pulang," ucapku. Fatimah mengangguk pelan lalu beranjak dari sofa.
"Aisyah!"
Terdengar suara teriakan dari teras. Selang beberapa waktu, suara nyaring terdengar di telingaku. Seperti suara tamparan yang cukup hebat. Aku dan Fatimah yang sedari tadi diam, kini berlari kecil menuju teras.
Bersambung ....Setelah ini, bakal ada info penting 😚
KAMU SEDANG MEMBACA
AISYAH [Telah Terbit ✅]
Teen FictionAisyah, seorang gadis berhijab yang menjalani hidupnya dengan penuh kesengsaraan. Itu semua berawal dari mulai dia mengalami kecelakaan dan akhirnya amnesia. Ironisnya lagi, yang membuat dia amnesia adalah orang yang membuat dia jatuh cinta. Muhamm...