Assalamu'alaikum ... sebelumnya, saya ingin meminta maaf kepada kalian semua. Barangkali, saya banyak kesalahan, entah itu disengaja ataupun tidak disengaja.Ramadhan berlalu, hari Raya Idul Fitri pun tiba. Tak terasa, sepertinya baru kemarin kita berpuasa, ya. Taqaballallahu minna waminkum. Mohon maaf lahir batin🙏
*Selamat Hari Raya Idul Fitri*
HAPPY READING❤
______________________________
***
Wanita separuh baya itu berjalan ke kanan dan ke kiri sambil terisak. Kini, putrinya telah tergeletak di ranjang yang berwarna serba biru itu dengan dikelilingi orang yang ahli dalam bidang medis. Terlihat jelas putrinya tak berkutik, matanya enggan terbuka seakan-akan tidak ingin melihat dunia yang begitu luas ini. Kain gelap berwarna hitam pun kini sebagian telah bercucuran darah. Harapan wanita paruh baya untuk putrinya mungkin tidak banyak.
"Ya Allah ... selamatkan anak hamba ini."
'Aisyah, bukalah matamu. Di sini banyak orang yang merindukanmu. Ibu merindukanmu, Nak. Ibu tidak ingin hal ini terulang kembali. Ibu ingin engkau bangun, Nak. Ibu tidak ingin kau tersiksa,' batin ibu di dalam hati.
***
Sudah hampir dua jam orang-orang medis itu melakukan operasi untuk Aisyah, tetapi kunjung tak ada kabar. Dokter atau suster tampak tidak keluar dari ruangan itu. Seakan-akan sudah nyaman di ruangan yang penuh dengan segala alat medis. Tiba-tiba saja seseorang perempuan dengan menggunakan gamis berwarna hitam dan hijab berwarna biru menghampiri bu Maryam yang sedang khawatir dengan kondisi putrinya.
"Ibunya Aisyah, ya?" tanya seorang wanita bergamis menghampiri ibu Maryam.
"Iya, kamu siapa?" ucap ibu Maryam.
"Maaf, Bu. Aku Fatimah temannya Aisyah. Bagaimana keadaan Aisyah, Bu?" tanya Fatimah.
"Dokter belum memberi kabar, Nak. Ibu khawatir," jawab bu Maryam.
"Sabar, Bu. Fatimah yakin, Aisyah pasti kuat, kok," ujarnya.
Fatimah tampak khawatir sekali atas keadaan Aisyah. Ia tahu perasaan bu Maryam sekarang. Tubuh bu Maryam sekarang jatuh ke pelukan hangat Fatimah. Menguatkannya, mungkin itu adalah pilihan Fatimah saat ini, tetapi, perasaan Fatimah sangat hancur. Baru saja Fatimah mengenal sahabat, lalu dia meninggalkan Fatimah?
Fatimah tampak terdiam saat mendengarkan pernyataan dari bu Maryam. Pandangannya lurus ke depan, wajahnya agak pucat menampakkan ekspresi kekhawatiran. Air matanya membendung di matanya, sesekali dia memandang ke atas agar air mata itu tidak jatuh ke pipinya. Fatimah memeluk bahu bu Maryam yang kini basah pipinya. Dia menenangkannya dengan mengelus-elus bahunya yang dibalut dengan hijab.
Ckleek!
Daun pintu terbuka, memunculkan seseorang berseragam putih seakan-akan mencari seseorang. Sorot mata bu Maryam dan Fatimah berpaling ke dokter itu. Panik, itu yang dirasakan mereka berdua.
"Bu Maryam?" Panggil seorang dokter dengan melihat sekitar.
"Iya. Saya, Dok," jawabnya sembari bangun dari tempat duduknya.
"Bagaimana keadaan putri saya, Dok?" tanya bu Maryam sambil menghampiri dokter.
"Maaf, Bu. Kami tidak bisa melakukan yang terbaik untuk putri Ibu, kami minta maaf sekali, Bu," ujarnya
Brak!
Tubuh ibu Maryam jatuh tak mampu menahan kesedihannya. Untung saja ada Fatimah yang berhasil menangkap bu Maryam. Lemah, ini yang terlintas di pikiran Fatimah. Bukan lemah manja, namun ini semua hal yang biasa, normal sekali. Anak yang dibesarkan dari kecil kini sudah tiada tanpa pamit.
"Bu, Bu. Bangun," ujar Fatimah panik.
"Bawa saja ke ruang darurat," ujar dokter memberi saran dengan khawatir.
"Baik, Dok."
***
Raut kesedihan tampak sekali di wajah bu Maryam, keinginan untuk mendidik anak-anaknya menuju surga Allah sekarang kandas. Semua anak-anaknya telah dilamar oleh kematian terlebih dahulu. Takdir memang sudah menjadi kejadian yang tidak mungkin diubah lagi kecuali adanya mukjizat dari Allah swt. Kini, bu Maryam telah berada di ruang Aisyah. Tepatnya, di sebelah ranjang seseorang yang tidak bernyawa lagi. Sudah beberapa kali dokter dan suster menasihati bu Maryam, namun nihil! Bu Maryam tetap bersih kukuh untuk menemani mayat.
Sosok ibu mana yang ingin anaknya dijemput kematian terlebih dahulu? Sedih, bukan? Ibu yang sudah menjaga anaknya dalam kandungan maupun di luar kandungan. Namun, anaknya meninggalkan ibunya tanpa kabar. Bukankah maklum jika ibu menangis? Sedih, semua tidak seperti apa yang diinginkannya. Tidak seperti skenario yang dibuatnya, skenario manusia akan kalah dengan skenario Allah swt. Takdir Allah memang tidak dapat diubah.
"Aisyah ...." Bibirnya terus saja memanggil nama Aisyah, putrinya. Dengan tatapan kosong, bu Maryam terus saja memegang tangan putrinya yang kini tidak berdaya lagi dan tidak mungkin akan ada pergerakan.
Tidak mungkin tangan putrinya memeluk bu Maryam lagi, tidak mungkin tangan putrinya membantu ibunya lagi, dan tidak mungkin tangan putrinya akan menjahili ibunya lagi karena nyawanya telah diambil, semua sudah tidak ada harapan lagi. Sudah hampir satu jam bu Maryam di ruangan tersebut, ingin menemani putrinya, berharap mukjizat Allah akan disaksikan olehnya, dan akan membuat senyuman dia terukir lagi.
Tatapan bu Maryam kini tidak lagi kosong, dia terkejut akan garis yang sedari tadi lurus kini telah berubah, kini garis itu sudah menjadi seperti rumput yang berukuran pendek hingga panjang. Mata bu Maryam saat ini telah penuh dengan air mata. Sekali dia mengedipkan matanya, bulir-bulir air mata jatuh ke pipinya. Memang, alat itu tidak diperbolehkan dimatikan oleh bu Maryam, seakan-akan bu Maryam telah mengetahui akan hal ini. Hal yang begitu sangat memukau dan membuat bu Maryam terkejut, pastinya.
"Aisyah!!" ucapnya dengan nada yang cukup tinggi.
Dia terus memegang sekujur tubuh Aisyah, salah satunya tangan Aisyah. Dia memegang tangannya dan mengecup punggung telapak tangan dengan sepuasnya. Bu Maryam lari kecil ke luar ruangan guna ingin menunjukkan kemukjizatan yang Allah berikan, guna untuk meyakinkan dokter dan Fatimah atas keberhasilan dia yang kini tidak lagi sia-sia.
"Dokter!!" teriaknya. Dokter tampak sedang berbincang dengan Fatimah di kursi tunggu. Mungkin, menanyakan keluarga Aisyah.
"Alhamdulillah sudah mau keluar, Bu?" tanya dokter sambil tersenyum. Setelah berjam-jam bu Maryam memutuskan untuk menunggu putrinya, akhirnya dia keluar juga
Fatimah tersenyum saat bu Maryam mau keluar dari ruangan. Dokter dan Fatimah beranjak dari kursi. Bu Maryam dengan percaya dirinya menunjukkan raut bahagia. Dokter dan Fatimah bingung, apa yang sebenarnya terjadi?"Iya. Sini, Dok. Saya mau menunjukkan sesuatu yang mungkin akan membuat Dokter terkejut," ujarnya dengan begitu bangganya. Bu Maryam mengajak dokter masuk, dia ingin menunjukkan ke tidak sia-sianya. Fatimah pun mengekor di belakang mereka. Dia ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi.
"Dok, putri saya masih hidup, alhamdulillah."
Tidak ada jawaban dari seorang dokter berparas tinggi itu. Yang jelas matanya tidak berkedip menyaksikan kejadian ini. Kuasa Allah memang sangat benar-benar membuat hambanya begitu sangat bahagia. Allah maha segalanya, apa yang semua hambanya inginkan, pasti akan terwujud jika didasari do'a dan usaha. Allah memang pemberi segalanya.
Tak menyangka dengan semua ini, dokter tersebut langsung menghampiri pasien. Pasien yang sebelumnya sudah meninggal, bangun kembali atas izinnya. Jantung yang tak berdetak kembali normal, napas yang telah hilang kembali. Disusul dengan satu wanita yang ada di belakangnya, dokter itu diam membisu. Memeriksa tubuh yang kini hidup kembali dengan saksama. Matanya berbinar, senyumnya mengembang disertai kegembiraan.
Aisyah yang tergeletak menarik napas secara tiba-tiba. Tangannya memegang kepala yang telah diperban, sangat erat disertai suara rintihan yang amat menghawatirkan. Bu Maryam terkejut, dokter segera memeriksa dengan penuh kekhawatiran. Gundah, semua merasa gundah dan tak bahagia lagi.
Bersambung ....
KAMU SEDANG MEMBACA
AISYAH [Telah Terbit ✅]
Novela JuvenilAisyah, seorang gadis berhijab yang menjalani hidupnya dengan penuh kesengsaraan. Itu semua berawal dari mulai dia mengalami kecelakaan dan akhirnya amnesia. Ironisnya lagi, yang membuat dia amnesia adalah orang yang membuat dia jatuh cinta. Muhamm...