Assalamu'alaikum. Hai! Ketemu lagi sama aku ... eeaa! Baru ada paket, hehe. Jadi, baru sempet post. Cus, baca hayuk!
POV. Rizky
***
"Senyam senyum mulu," ucap Fatimah.
Ha? Sumpah aku tidak sadar kalau aku senyum-senyum sendiri gini. Entah mengapa. Aku masih malu, sungguh malu. Kenapa aku melakukan itu, Sudah tahu dia wanita yang sangat tertutup dan paham akan agama. Aku jadi malu kalau bertemu dia, astagfirullah.
"Kak? Kenapa, sih? Tadi senyum-senyum, sekarang bengong. Jangan-jangan ...."
"Uusst! Apaan, sih, Dek. Gak ada apa-apa."
"Oh, gitu," ucap Fatimah sambil meninggalkanku tak percaya. Ah! Malu. Bagaimana bisa Fatimah mencurigaiku?
***
Pukul 08.00 WIB
Masih di ranjang, biasa. Lelah, tadi malam orang tuaku pulang dari luar kota. Beruntung, ada bibi dan Fatimah yang membantu membereskan kamar Mama dan Papa. Mereka meninggalkanku dan Fatimah selama satu tahun lamanya. Hari Raya kemarin pun mereka tidak ada di kampung halaman. Dengan sangat terpaksa, aku dan Fatimah hanya menerima tamu saja, tidak mengunjungi rumah saudara.
Entah kenapa bayang-bayangku tentang gadis itu masih sangat jelas di mataku. Senyumnya itu, sangat membuatku terpukau. Lagi dan lagi aku melebarkan bibirku sambil mengingatnya. Senyumannya justru kalah dengan pacarku, Reina. Aku sudah mempunyai pacar, itu pun atas paksaan keluargaku dan Reina. Tepatnya perjodohan, beruntung aku menolak saat itu. Jadi, aku hanya berpacaran saja, tidak menikah.
Aku bekerja di bengkel Ayah Reina. Waktu itu, aku ditawarkan untuk bekerja di perusahaan. Tapi, aku menolak dan memilih untuk bekerja di bengkelnya. Aku tidak peduli jika mereka membicarakanku, aku hanya ingin mengembangkan bakatku di tempat yang tepat
"Ky! Bangun! Gak mau sarapan?!" Suara Mama membuyarkan lamunanku. Aku baru sadar kalau ternyata perutku belum di isi.
"Iya, Ma. Rizky mau cuci muka dulu," ucapku.
***
"Ciee ... yang dari kemarin senyum-senyum terus," ledek Fatimah di dapur. Aku tak memperhatikannya, cacingku sudah kelaparan.
"Siapa, Fat?" tanya Mama.
"Itu yang lagi makan sendirian di meja," ucap Fatimah sambil menoleh ke arahku.
"Oh ... Reina?" tanya Mama yang membuatku membulatkan mata.
"Bukan, Ma. Ada lagi, haha." Fatimah agaknya ingin membuatku panas, begitu juga Mama, Mama baru saja satu hari di rumah, di sudah memulai.
"Fat ... Mah ... pagi-pagi jangan buat amarahku melonjak," ucapku.
"Cie ... sekarang sudah berubah. Gak pakai gua lo lagi," ucap Mama semakin melonjak.
"Kan dia deket sama orang alim, Mah."
Tawa mereka hilang di udara. Puas sekali mereka tertawa sambil menepuk bahu satu sama lain. Aku di sini hanya melanjutkan makan dengan emosi yang sangat melekat.
Piringku sudah bersih, meskipun nasi dan lauknya harus ku telan dengan terpaksa. Aku berniat sekali untuk menghajar mereka. Tapi, mereka sebagian dari keluargaku, tidak mungkin aku melakukan hal sebejat itu. Bisa-bisa, namaku dicoret dari daftar keluarga. Gawat ini.
Tiba-tiba Papa datang lengkap dengan seragam kantor yang melekat di tubuhnya.
"Ky!"
"Iya, Pa."
"Beneran gak mau lanjut kuliah?" tanya Papa.
"Gak, Pa. Malas! Mending kotor-kotoran sama mesin daripada otak aku pecah, Pa," ucapku sambil memakai jaket hitamku.
"Terserah kamu. Yang terpenting, perjodohan harus di lanjut, oke?!"
"Iya." Aku memutar bola mata malas. Lagi dan lagi, Fatimah dan Mama terkekeh seraya meledekku. Tak ku hiraukan, aku langsung keluar dan membawa motor kesayanganku pergi.
"Kakak! Tunggu!" Fatimah memanggilku keras. Awalnya, aku berencana meninggalkannya. Tapi, tatapan tajam seperti menusuk di mataku. Papa, dia memang penyayang terhadap putrinya, Fatimah. Yang aku tahu, Papa lebih suka mempunyai anak perempuan dibandingkan dengan anak laki-laki. Pantas saja dia selalu menekanku.
"Naik! Buruan!" pintaku.
"Belum jalan aja sudah ngegas gitu, astagfirullah," ucap Fatimah sambil memakai helm.
"Banyak omong, ah!"
"Pulangnya jemput! Sampai ke rumah Aisyah aja, deh. Pulangnya aku naik angkot."
Ucapan Fatimah membuatku berpikir sejenak. Kesempatan untuk melihat dia lagi. Tapi, Reina baru saja mengajakku jalan-jalan. Ah! Sial sekali, kenapa harus ada Reina?! Aku mendengkus kesal.
"Eh, jangan gitu. Kalau gak mau nganterin ya gak papa. Jangan marah gini, dong. Ini di jalan raya, Kak," ucap Fatimah.
Usai mendengarkan ucapan Fatimah, aku langsung melajukan motorku secepat mungkin. Beruntung, jalan menuju sekolah Fatimah sepi. Jadi, aku bisa leluasa melajukan motorku di atas aspal. Meski aku lihat Fatimah berteriak tak jelas, aku semakin mempercepat kelajuan motorku.
Sesampainya di sekolah, Fatimah turun dengan tubuh yang seakan-akan tak berdaya. Tubuhnya lemas. Tapi, aku tak menghiraukannya. Aku hanya fokus pada sekolah Fatimah yang sangat bagus. Pandai sekali dia memilihnya. Dia pindah ke sekolah ini karena dia tidak ingin di bully lagi oleh teman-teman sekelasnya. Aku tak tahan dengan perlakuan teman-temannya. Meski pun aku tahu bahwa adik aku ini sangat menjengkelkan, namun rasa sayangku masih ada.
"Bagus, 'kan, sekolahnya?" tanya Fatimah.
"Bagus. Beruntung banget lu punya orang tua yang sayang sama lu. Lah, gua, orang tua sendiri kok kaya menelantarkan anaknya. Ingat, kan? Gua hanya di masukkan ke sekolah yang sangat sederhana. Gua anak tiri, ya?" tanyaku sambil memegang helm.
"Kenapa ngomongnya gitu, ih!" bentak Fatimah.
Aku langsung memakai helm dan melajukan motorku saja. Sepanjang jalan aku berpikir, aku siapa? Aku dianggap siapa di mata mereka? Di mata Mama, Papa. Apa aku anak pungut? Apa mereka mengadopsiku? Mengapa?
Seperti biasanya, aku pergi ke bengkel. Menekuni hobiku yang selama ini tercipta di bengkel ini. Bengkel ini lumayan besar, gajinya pun besar. Sore ini aku harus menetapi janjiku, yaitu jalan dengan Reina. Entah kenapa selama mempunyai hubungan dengan dia, aku semakin bebas dalam bergaul. Dia anak gaul, penampilannya saja tidak pernah lepas dengan celana di atas lutut, bahkan setengah dari pahanya.
Jujur, senakal-nakalnya aku, aku juga ingin mempunyai pendamping hidup yang jauh lebih baik daripada aku. Meskipun begitu, aku tidak bisa menolak perjodohan ini, karena ini adalah janji. Janji Papa dan Ayah Reina.
***
Usai sudah pekerjaanku. Sekarang, aku ingin menetapi janjiku, bertemu Reina. Ku lajukan motorku dengan kecepatan sedang. Rencananya, aku ingin ke rumah, membersihkan badan terlebih dahulu. Tetapi, pikiranku terganggu s karena Fatimah. Ini masih pukul 14.30, pasti Fatimah sedang dalam perjalanan pulang ataupun baru selesai pelajaran. Reina juga menginginkanku untuk menjemputnya pukul 15.00, tidak apa lah, menyenangkan Adik sendiri.
Sekarang, aku sudah berada di depan sekolah Fatimah. Benar saja, Fatimah langsung nongol ketika aku melepas helmku. Dia sempat melambaikan tangan ke teman-temannya sebelum menghampiriku.
"Alhamdulillah, akhirnya Kakak jadi jemput ," ucap Fatimah.
"Ya. Cepat, naik!" pintaku.
***
"Stop!"
"Lupa," ucapku.
Ya. Kini aku dan Fatimah berada di depan rumah Aisyah. Berhubung, rumahnya di depan jalan raya, aku bisa dengan mudahnya pulang ke rumah tanpa belok sana-sini.
"Nanti aku naik angkut aja pulangnya, ijinin ke Mama, ya!"
"Ya."
'Sial! Efek kelambatan naik motornya! Bisa-bisa dimarahin sama Reina ini," batinku.
***
Bersambung ....Kalian bisa pesan novelnya di :
085745025198
Atau bisa di chat langsung ajaDadah! Salam manis!
KAMU SEDANG MEMBACA
AISYAH [Telah Terbit ✅]
Teen FictionAisyah, seorang gadis berhijab yang menjalani hidupnya dengan penuh kesengsaraan. Itu semua berawal dari mulai dia mengalami kecelakaan dan akhirnya amnesia. Ironisnya lagi, yang membuat dia amnesia adalah orang yang membuat dia jatuh cinta. Muhamm...