Prolog

107K 6.3K 95
                                    

"Saat hujan adalah kesempatan emas untuk berdoa, bukannya mengkhayal." Ucap seseorang yang tiba-tiba saja sudah berdiri di belakangku. Sejak kapan dia disini? Kenapa aku baru sadar? Dia datang dari langit ya? Dari surgakah? Mendadak lagu Coboy Junior menggema di telingaku, tapi liriknya diubah menjadi bidadara. Aku menggelengkan kepala untuk menghilangkan pikiranku yang mulai tidak beres.

Sepertinya aku mengenali suara itu. Maklum, aku dominan auditori. Keahlianku adalah mendengar. Secepat mungkin aku menutupi kepalaku dengan hoodie hitam yang aku kenakan agar ia tidak bisa mengenaliku.

"Jangan jadi korban drama Korea, masa depan masih panjang. Buat apa hujan-hujanan kalo besok sakit? Berharap ada momen romantis saat hujan gitu? Halu." Ejeknya sebelum meninggalkanku. Aku mengerucutkan bibir sebal. Dia cenayang ya? Kenapa dia bisa tau kalau aku sedang berkhayal momen romantis saat hujan?

"Aku bukanlah awan yang membuat hujan jatuh. Aku juga bukan hujan yang tak pernah membenci awan yang membuatnya jatuh. Aku hanya manusia biasa yang berterima kasih kepada awan karena berkatnya aku bisa menikmati hujan." Gumamku pelan, berharap ia tak bisa mendengarnya.

Ia sempat berhenti sebentar sebelum melanjutkan langkahnya. Aku ngomong apa barusan? Aku sendiri tak paham apa yang aku katakan. Aku menepuk pelan makhluk kenyal yang tak pernah berhenti berucap ini.

Aku memperhatikan punggungnya yang mulai menjauh. Ia menggendong ransel hitam di bahu kanannya. Almamater biru tua yang dikenakannya sudah basah.

Walaupun OSPEK sudah selesai tapi aku masih mengingatnya. Dia adalah Panca Alden Baratayudha. Berwajah tampan tapi datar seperti triplek dengan rahang yang tegas dan tatapan mata yang tajam. Tak lupa rambut hitam pekat dan proporsi badan yang tegap membuatnya seperti patung yang dipahat dengan sempurna. Dia adalah orang yang dikagumi kalangan mahasiswi karena jabatan ketua BEM, termasuk aku tentunya. Hayolah, aku hanya mahasiswi biasa yang tertarik pada sesuatu yang indah.

Sesuai ucapannya tadi, saat hujan adalah kesempatan emas untuk berdoa. Doa apa yang sedang dia ucapkan? Berharap bertemu cewek cantik yang dengan senang hati meminjaminya payung? Atau bahkan mereka sepayung berdua? Apa dia juga korban drama Korea sama sepertiku? Wah, pikiranku semakin ngawur.

Dia seperti senja, indah tapi hanya bisa dinikmati sementara. Dia seperti bintang, bersinar tapi terlalu jauh untuk kugapai. Dia seperti matahari, terang tapi kalau terlalu dekat akan membuatku terbakar. Dia seperti hujan, sesaat membuatku menjadi bersemangat tapi juga bisa membuatku sakit. Dia...

"Rain bego. Cepet masuk! Gak liat baju lo udah basah kuyup?" Teriak saudara laknatku yang mengintip lewat jendela mobil. Aku menatapnya garang. Darimana saja dia? Sudah hampir sejam aku disini tapi dia baru menampakkan batang hidungnya? Dia juga menghancurkan rangkaian puisi yang sedang aku tulis di otakku. Dasar pengganggu.

***

Rainy [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang