BAB II: Terbongkar

47.8K 5.2K 112
                                    

Hariku tak sampai disitu saja. Setelah menemukan formula yang tepat untuk kebayaku, aku juga disuruh untuk menilai baju yang akan dipakai oleh calon suamiku. Aih, terdengar sangat aneh. Baju yang akan dipakai mas Panca maksudku.

Tapi yang membuat aku jengkel adalah dia tak menerima pendapat orang. Akhirnya daripada berujung ribut maka aku memilih untuk mengangguk saja. Toh pada akhirnya pendapatku juga tidak akan didengarkan.

Satu hal lagi, sejujurnya aku tak tau kapan akan menikah. Kalau tiba-tiba fitting baju apa itu artinya akan menikah dalam waktu dekat? Dengan orang asing? Sampai sekarang pun aku tak ada bertanya pada orang tuaku.

Sekarang sudah seminggu lebih sejak fitting baju tapi orang tuaku tak membahas apa-apa. 'Semoga saja batal, aamiin'. Itu adalah doa yang selalu aku ucapkan.

Mbak Wiwid
Panca anaknya seru kok, walaupun bukan tipe humoris. Orangnya tegas dan bertanggung jawab. Gak suka bertele-tele. Emang orangnya gak terlalu ekspresif, tapi coba liat tatapan matanya. Matanya berbicara banyak. Kalau mbak jadi kamu pasti mbak gak bakal nolak dijodohin sama dia.

Itu adalah pemberitahuan mbak Wiwid beberapa hari lalu. Catat ya, itu adalah pemberitahuan, bukan jawaban. Mbak Wiwid menjelaskan padaku padahal aku tak bertanya sedikit pun.

Tatapan matanya terlihat tajam saja, tidak mencerminkan ekspresi apapun. Apa aku harus belajar psikologi dulu agar bisa mengerti tatapan matanya?

Gebrakan meja sontak membuatku kaget. Untung aku tidak latah. Kalau iya mungkin penghuni kebun binatang sudah aku absen dari tadi.

"Apasih mas Ridwan?" Teriak Hana.

Mas Ridwan ini adalah editor yang paling tua atau bahasa halusnya paling senior di ruangan ini. Umurnya hampir mendekati 40 tahun. Dia sudah beristri dan memiliki satu orang anak. Setauku dia tidak berencana menambah stok istri.

"Bos mau traktir kita makan. Khusus kita berlima aja. Gak tau deh dalam rangka apa." Senyum terbit di bibirku. Kalau mendekati akhir bulan ini, traktiran adalah salah satu hal yang membahagiakan.

"Tau aja si bos kalo kantong gue udah kering." Celutuk mbak Astrid. Dia lebih muda dari mas Ridwan, sekitar awal 30an. Tapi masih jomblo. Ia termasuk perempuan yang anti laki-laki. Kabarnya dia memiliki pengalaman yang buruk berkaitan dengan spesies berkromosom XY itu.

"Fif? Lo gak seneng?" Celutuk Hana. Afif tersenyum miring. Btw dia adalah editor termuda disini. Ia baru bekerja disini selama setahun.

"Gue mah seneng-seneng aja. Apalagi yang gratis." Ia meletakkan hp yang dipegangnya diatas meja.

"Lo tau gak mbak alasan bos ngajak kita makan rame-rame?" Tanya Afif balik pada Hana. Mbak Astrid yang sedang merapikan meja miliknya pun ikut mendekat. Kalau mau gibah mah pada semangat.

"Apalagi kalau bukan modus?" Celutuk Afif. Ia tersenyum miring sambil menatapku.

"Paham sih ya. Karena Rainy kalo diajak berdua doang kagak mau. Makanya jadi manfaatin kita nih si bos." Ucap mas Ridwan yang sudah rapi ingin segera pergi.

"Soudzon aja lo Fif. Siapa tau bos lagi bagi-bagi bonus gara-gara buku kemarin jadi best seller." Hardikku.

Memang bukan rahasia lagi kalau si bos alias pak Ardan memang sering mendekatiku. Tapi aku hanya menganggapnya sebagai atasan, tak lebih.

Ia sering mengajakku untuk makan ataupun pulang bersama. Tapi tentunya aku selalu punya seribu alasan untuk menolak.

Sejujurnya pak Ardan itu termasuk ke dalam kriteria lelaki idaman. Tapi tetap saja ia punya sisi buruk.

Rainy [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang