New Born

23 2 0
                                    

Bleach : Tite Kubo
Kuchiki Rukia (pov)

Di sini selalu sepi. Aku bahkan tidak mendengar apapun kecuali suaraku. Pulau ini kosong tidak ada manusia maupun binatang. Aku sudah menelusurinya. Ya, sudah berkali-kali mungkin sudah puluhan tahun. Tapi aku tidak merasa lelah. Aku hanya merasa sedih. Akankah sedihku ini berakhir? Anehnya aku tidak bisa menangis.

Lautan yang mengelilingi pulau ini sangat bersahabat. Dia tidak pernah mengeluarkan ombak ataupun menyatu dengan badai. Sangat tenang seperti seseorang. Seseorang yang sangat aku rindukan.

Kemudian aku merasakan tubuhku memberat dan seketika pandanganku menggelap. Udaranya berbeda—sedikit hangat dan juga bersuara. Bunyi detak jantung dan... tangis? Aku mau mengangkat telunjukku tapi sudah didahului, seseorang menggenggamnya.

"Rukia..." dia menyebut namaku lirih di tengah isakkannya. Aku tau siapa ini!

"Mo-momo." Aku benar dan mencoba menghela napas. Pandanganku kabur karena ada selaput bening yang menghalangi, belum lagi cahaya lampu yang begitu silau.

Kurasakan dia mencium jariku sambil berucap syukur. Tak lama kemudian beberapa orang yang berjas putih mengelilingiku, mereka mengecek selang infusku—menatapku seperti melihat bayi yang baru saja lahir. Apa mereka ini dokter? Jadi, aku di rumah sakit?

"Gegar otak yang dideritanya tidak terlalu parah," ujarnya entah dia siapa. "Dia masih mengingatmu, Momo." Wanita ini kalau tidak salah adalah dokter pribadi pamanku. Namun aku belum menemukan namanya.

"Hallo Kuchiki Rukia, bagaimana kabarmu?" Kalau yang ini sepertinya... teman kuliah Momo. Namanya sudah berada di ujung lidahku tapi aku tidak bisa menyebutkannya walau dalam hati.

"A-aku.." suaraku serak sekali dan terdengar mengerikan, tenggorokkanku juga sakit karena ada selang yang tertancap. Detik berikutnya aku terbatuk. Kondisiku benar-benar sekarat. Aku mencoba mengingat lagi apa yang sudah terjadi.

Setelah mereka mengobrol (entah membahas apa) akhirnya satu persatu dari mereka keluar dari ruanganku. Penyangga leherku ini tidak membantu banyak untuk menggali ingatanku. Ada apa ini? Ayo otakku bekerjalah!

Tiba-tiba aku mendengar suara kakakku bersamaan dengan wangi parfumnya. Oh, Tuhan pria inilah yang paling aku rindukan selama berbulan-bulan.

Saat Byakuya-sama sudah berada di hadapannku, air mataku mulai keluar. Aku tidak butuh ingatan yang hilang itu sekarang. "Ma-maaf, nii-sama..."

Tangannya mengelus poniku—menyingkirkannya dengan sangat lembut. "Terimakasih sudah bertahan hidup, Rukia." Hanya itu yang ia katakan tapi aku benar-benar merasa bodoh. Bisa-bisanya aku meninggalkannya berbulan-bulan (mungkin lebih dari dua tahun) dan berakhir mengenaskan seperti ini. Aku ingin sekali memeluk nii-sama dan meminta penghapusan dosa karna telah membuatnya khawatir.

Sayup-sayup aku mendengar Momo pingsan, dan mereka yang berada di luar sana membuat kegaduhan sesaat untuk mengirim Momo ke ruang UGD. Aku tidak berusaha menolehkan kepalaku karena akan percuma. Jadi aku hanya bisa mendesah dan memanjatkan doa dalam hati agar kondisi Momo cepat membaik.

Omong-omong soal Hinamori aku masih bisa mengingat dengan jelas siapa gadis itu. Dua puluh tahun yang lalu dia diadopsi oleh pamanku—Ukitake dengan alasan agar aku punya teman bermain. Setelah kakekku meninggal diumurku yang ke enam tahun, paman mengatakan aku sering diam saja. Biasanya selalu bersemangat berangkat ke TK dan di sepanjang jalan terus-terusan mengoceh. Akhirnya paman punya solusi. Dia mengadopsi anak wanita berumur tujuh tahun yang katanya dibawa dari panti asuhan tempat dia menjadi donatur tetap. Aku sangat menyukai anak angkat pamanku. Setelah mengenalnya beberapa minggu, aku menjadi pribadiku seperti dulu. Melompati kasur dan menghamburkan tisu di ruang tamu dengan jahilnya. Dan kembali membuat pamanku menggeleng-gelengkan kepala.

ExerciseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang