Rasanya ada narasi yang keliru dari pertemuan terakhirku dengan Yoongi tiga hari lalu. Ada rangkaian cerita yang tak seharusnya semena-mena kurubah hanya karena kata hatiku memenangkan pertarungan nya dengan akal sehat.
Semuanya sudah tergambar dengan nyata, tak perlu kecerdasan logika untuk menyimpulkan mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan antara aku dan Yoongi, bahkan orang bodoh sekalipun pasti tahu jawaban nya, dan aku seharusnya menjadi orang yang perlu dan pasti paham betul tentang itu.
Aku dan Yoongi bukan lagi sepasang seperti dulu. Kini, aku dan Yoongi hanya seorang asing yang punya batasan dalam bersikap, terlebih aku yang harus memberi perisai terhadap perasaanku yang semakin hari dibuat semakin tak karuhan.
Beberapa hari terakhir pikiranku seolah dipenuhi segala sesuatu tentang Yoongi. Tentang pertemuan kami yang seolah dibuat begitu sengaja oleh takdir, tentang rindu yang sekian lama kupendam menjadi tumpukan pilu dalam hati, sampai tentang ungkapan rindu serta pelukan panjang yang terjadi antara aku dan Yoongi malam itu-pelukan yang seharusnya tak menjadi batu sandungan untuk ku mengukuhkan hati agar tak lagi tergoda akan iming-iming masa lalu kami.
Maka dengan segenap akal sehat yang telah kuteguhkan, aku mencoba untuk kembali mengais kewarasanku, mengembalikan segalanya seperti sediakala. Membiarkan rasa rindu itu tetap terpendam dalam-bersama keteguhan untuk perlahan kembali menjalani hidup dan melupakan ia seiring dengan waktu yang akan terus memutar jarumnya.
"Noona!!!"
Aku menghentikan gerak langkahku, memutar tubuh dan mendapati Jungkook tengah berlari kearahku.
Kuperhatikan seluruh penampilan Jungkook dari atas sampai bawah. Hari ini pria itu tampak berbeda dengan setelan jas dan celana chino hitam yang begitu senada. Kemeja baby blue dengan sepatu kets formalnya. Oh tunggu!!! Ada apa dengan rambutnya yang hari ini tampak ditata dengan gaya comma hair hingga membuat pria manis itu berubah seolah memberi tampilan lebih dewasa.
"Oh, tuan Jeon, apa yang terjadi dengan penampilanmu hari ini?" sambutku saat Jungkook telah berada tepat dihadapanku dengan napas terengah, "kau punya blind date hari ini?" kataku menebak.
"Heol," respon Jungkook terbelalak, "bagaimana kau tahu, noona?
Aku tersenyum simpul padanya, "intuisi." Kataku lantas kembali mengayun langkah. Kembali berhenti ketika lampu lalu lintas menjadi penjegal langkah, "jadi gadis mana yang membuat seorang Jeon Jungkook tergerak untuk ikut kencan buta?"
Kulihat pria disampingku itu tersenyum malu-malu. Pipinya yang sedikit tembam itu tiba-tiba saja bersemu merah-membuat aku yang melihatnya ikut tersenyum, manis rasanya melihat Jungkook menunjukan sisi lain nya dihadapanku.
"Dia seorang mahasiswa tingkat pertama dikampusku, noona. Sangat cantik dan juga pandai, persis seperti dirimu." Katanya menunjuk aku dengan wajahnya.
Kurasa kini giliranku yang berubah malu-malu. Pipiku mungkin ikut bersemu merah karena ucapan Jungkook yang ditelinga kuartikan sebagai sebuah pujian.
Sebenarnya Jungkook memang kerap memberikan pujian-pujian manis padaku, beberapa kali mengungkapkan ketertarikan nya padaku secara terang-terangan, bahkan sesekali dengan santainya ia mengajak ku untuk berkencan. Tapi aku paham jika itu semua ia lakukan padaku karena ia merasa nyaman bersamaku. Ia yang kuanggap seperti seorang adik dan kurasa juga sebaliknya dengan Jungkook. Semua pujian dan rayuan yang kerap dilontarkan Jungkook memang tak lebih dari candaan untuk menggodaku, meski tak jarang gombalan nya kerap membuatku bersemu merah, setidaknya kehadiran Jungkook serta candaan nya benar-benar menjadi penghibur hariku. Rasanya seperti punya seorang adik yang selalu tahu kapan aku butuh sebuah humor kecil untuk memulai hari.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Scenario
DragosteBerpisah denganmu adalah hal terberat yang pernah kualami. Namun ternyata, kembali bertemu denganmu jauh lebih berat dari perpisahan itu. Bukan karena cintaku yang telah usai. Namun karena dirimu yang membawa tokoh lain dalam cerita kita. Kehadiran...