Part #2

0 1 0
                                    

"Keegoisan seseorang selalu hadir dikala ia meluapkan emosi,maka tersenyumlah setiap saat. Dan jadikan senyuman itu selimut kesedihan mu". Mauli datang menghampiri ku membawa kata kata itu.

"Tau apa kamu tentang keegoisan?" tanyaku padanya dengan selimut kemarahan.

"Kak, pengetahuanku tentang keegoisan memang tak sebanyak pengetahuan kakak. Karna mungkin aku tidak memelihara keegoisan itu dalam diriku. Dan pengetahuan itu aku dapatkan dari dalam diri kakak. Kemana saja kakak selama ini? Pergi begitu saja meninggalkanku dan ibu. Kami selalu memahami kakak, karena merasa sangat terpukul dengan kepergian ayah. Tapi ingat kak, aku dan ibu masih ada disini. Kami ingin kakak kembali seperti dulu lagi. Hidup berwarna bukan hidup dengan kegelapan" Adikku ini menangis tersedu-sedu ketika menjelaskan sikapku selama ini.

"Kak ... ma ..." Dia ingin terus meluapakan kesedihannya.

"Cukup!" potongku dan langsung merenggut tubuhnya kedalam pelukanku.

"Cukup! aku tak sanggup mendengar semua keburukanku," ucapku dengan linangan air mata.

"Aku janji, aku akan kembali Cheyra" Kulepas pelukan itu, lalu kutatap mata sayu dengan kesedihan yang tertimbun di dalamnya. Kugunakan jari-jemari ini untuk menghapus air mata yang menitik di atas pipi merahnya.

"Ikut aku ya!" ajakku sembari menarik tangannya.

"Kemana kak?" tanyanya heran.

"Sudah ... ikuti saja!" Aku tetap memaksanya untuk mengikutiku.

Langkah kakiku membawaku ke tempat indah ini, Kelabba Maja.

Gunung dengan hiasan warna warni.

"Wah ... tempat apa ini kak?" tanyanya dengan mata terbelalak.

"Tempat, dimana jiwamu akan tenang jika memandangnya. Tempat, dimana dirimu akan hanyut bersamanya," kataku menikmati keindahan Kelabba Maja.

"The place where we will meet for the second time (Sebuah tempat,dimana aku dan kamu bertemu untuk kedua kalinya)" Suara tak asing itu mengaung di telingaku. Apakah ini hanya ilusinasiku saja.

"Hay, we meet again. How are you?" Kali ini aku sadar, bahwa aku sedang tidak berilusinasi. Segera kupalingkan wajahku ke sumber suara tersebut.

Ya, dia lelaki yang menolongku kala aku kedinginan. Yang wajahnya tak asing dan tak bukan adalah wajah Aslan.

"Hay, nice to meet you! My name is Tamis Rafuka Mikio." Uluran tangan itu menarikku untuk memasuki kisah hidupnya. Mungkin dia ada hubungannya dengan Aslan.

"Can you speak indonesian?" tanyaku untuk memudahkan komunikasi kami.

"I can, but little," jawabnya.

"its okay," sambungku, untuk masuk kepercakapan ini.

"Nama aku Fustuq Chehara." Aku berusaha memahamkannya dengan berbagai ekspresi dan gerakan tangan.

"Owh...I..tu..yah itu..n..ama... yang..in..d..ah..!" Dia Memujiku dengan terbata-bata.

"Yak, kamu berhasil!" teriakku sambil meloncat kegirangan.

"Yeah, I did it!" soraknya sembari menarik sedikit tangan kanannya kebelakang.

"Hay! And you??" Tanyanya sambil mengacungkan jari telunjuknya ke arah Mauli.

"Cheyra Mauliza Sheefa. You can call me Mauli" jawab Mauli singkat.

"Can..tik," puji lelaki itu.

"Maksudnya?" Mauli terheran dengan pernyataan lelaki itu terhadapnya, sambil menaikkan alis bagian kanannya.

"Kamu!" Lelaki itu mengacungkan tangannya ke arah Mauli.

Mauli terasa seakan terbang ke angkasa mendengar pujian lelaki tampan ini. Pipi nya mulai mekar memerah.

Melihat hal ini tergores sedikit sayatan di hatiku. Sedikit sayatan bisa menimbulkan keperihan yang mendalam.

"Ya Allah, rasa apa ini? Mengapa aku merasa cemburu atas pujiannya terhadap adikku sendiri?" ucap batinku.

"Emm ... aku pergi sebentar ya." Segera aku beranjak dari tempat ini.

Tak jauh dari tempat tadi aku menyenderkan tubuhku di salah satu lereng gunung pelangi. Aku berteriak sekuat-kuatnya, sekencang-kencangnya.

"Aaaaa...." Kuberteriak sampai timbul bulir-bulir air mata di ujung pelipis ku.

"Berteriaklah ... Lebih kuat, lebih kuat, lebih kuat lagi!" titah seseorang yang tiba-tiba muncul dibelakangku.

Seketika ia mendekatiku, tubuhku jatuh dipelukannya. Pelukan ini begitu hangat, tak ada yang sehangat dirinya.

"Aku lelah dengan semua ini, aku tak sanggup memikul beban hidupku. Aku butuh sandaran untuk keluh kesahku." Kata-kata ini keluar tanpa kesadaran dalam diriku.

"Jadikan lelahmu, lillah. Allah tak menjadikan beban pikul yang tak sanggup dipikul hambanya. Sandaran itu selalu bersedia menerima keluh kesah mu, sandaran yang setia mendengar, yang mengharapkan agar engkau mengadu hanya kepada-Nya. Allah selalu bersedia menjadi sandaran itu dikala suka dan dukamu." Sentuhan yang lembut ini masuk ke dalam lubuk hatiku. Aslan mengusap kepalaku dengan halus.

Bagiku, sahabat dia yang selalu ada disampingku di kala suka dan dukaku,Aslan.

Kelabba Maja, penuh dengan warna-warni kehidupan. Dimana cinta akan disemai, mekar bak mawar.

Takkan ada yang bisa menebak hidup, hanya Allah yang memiliki skenario hidup manusia. Biarlah Allah menjadikan hidupku bak kapal yang terombang-ambing dilautan. Karena aku yakin sedahsyat apapun goncangan itu, kapal itu akan sampai pada pelabuhan yang ditujunya. Karena Allah tak pernah mengarahkan sesuatu kepada keburukan, melainkan insan itu sendirilah yang menjemput keburukan itu.

It turns out that love is not easyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang