00

64 6 2
                                    



Langit gelap. Waktu sudah menunjukan pukul 23.34. Sudah tengah malam. Gadis berbaju cream pendek masih duduk diam di pinggir trotoar dekat gerobak sate yang sudah tutup 15 menit sebelumnya. Earphone yang sedari tadi betengger ditelinganya tidak lagi mengeluarkan bunyi, ponselnya mati total. Dia mendecak kesal, melihat kedua sandal yang berbeda di kaki kiri dan kaki kanannya.

"Bego banget sih," rutuknya ke diri sendiri menghentakan kakinya kesal kenapa bisa memakai sandal yang berbeda.

Gadis itu berdiri, mengabaikan sandalnya yang menjadi perhatian beberapa orang yang lewat, meski sudah tengah malam gadis itu cukup bersyukur jalan yang dilaluinya tidak terlalu sepi.

Dengan earphone yang masih digunakannya, gadis itu berlagak tak peduli dengan keadaan sekitar, meluruskan langkahnya yang sebentar lagi sampai tujuan. Dipercepat langkahnya ketika pagar hitam dengan rumah cat abu-abu itu sudah terlihat. Senyumnya merekah, menghela nafas penuh, akhirnya dia sampai tujuan.

Dirogohnya ponsel dalam saku celananya, mencoba menghidupkan kembali ponselnya yang sudah mati 20 menit yang lalu. Dengan penuh harap gadis itu ucapkan dalam hati supaya ponselnya hidup ketika logo ponselnya sudah terlihat dilayar.

"Ah anjir."

Nol persen. Tamat sudah riwayatnya.

"Apa gue teriak aja?"

Enggak. Enggak. Gadis itu menggelengkan kepalanya, teriak bisa menggaggu tetangga si pemilik rumah cat abu-abu. Kalau mengganggu pemilik rumah sih gadis itu tak peduli, tapi dia benar-benar tidak mau mengganggu tetangga yang dikenal galak itu.

Gadis itu berpikir keras. Sudah tengah malam. Dia lelah. Dia lapar. Ponselnya mati. Apa yang harus dia lakukan ?

5 menit. 10 menit. 20 menit.

Tidak ada pilihan, dia harus memanjat pagar hitam yang tingginya hanya lebih 20cm dari kepalanya. Melihat kanan kiri, memastikan tidak ada orang yang berkeliaran di sekitar.

Sudah dirasanya aman, gadis itu mengangguk meyakinkan untuk memanjat pagar hitam tersebut. Namun ketika kaki kanannya hendak memanjat gadis itu terkejut.

"HEH!?"

Ada suara familiar yang muncul.

"Bangke lo, kaget kan gue."

Bukannya merasa malu, gadis itu malah mengomel ke sosok laki-laki yang tiba-tiba muncul di pintu rumah cat abu-abu itu.

"Kelamaan lo bukak pintu, hampir jadi spidermen gue."

Laki-laki dengan tinggi 183cm itu menatap nyalang ke arah gadis yang sudah turun dari aksi memanjatnya, berjalan membuka pagar.

"Kenapa nggak telpon gue sih? Udah jam berapa coba?"

"Hp gue mati, mau pake telpon umum, dijalan mah nggak ada lagi telpon umum."

Laki-laki itu mengela nafas mengikuti sosok gadis yang sudah berjalan masuk kedalam rumah. Dengan cuek, gadis itu melangkah ke dapur membuka kulkas mencari sesuatu yang bisa dimakan seakan dia pemilik rumah ini.

Setelah dikiranya cukup untuk menganjal perutnya, gadis itu menuju sofa ruang tamu dimana tempat laki-laki tadi duduk yang masih memandangnya dengan tatapan tak mengenakan.

"Eheem," gadis itu berdehem mencoba menghilangkan keadaan yang sedang canggung.

Setelah ditatap dengan tatapan nyalang yang membuat gadis itu gelisah, dia mencoba membenarkan duduknya dengan tenang, memberanikan diri membalas tatapan laki-laki yang sedang menatapnya.

"Gue cu—."

"Tidur. Besok kuliah."

"Tapi gu—."

"Tidur atau gue antar pulang?"

Gadis itu langsung terdiam mengulum kedua bibirnya, tak membalas ucapan laki-laki yang sudah berdiri ke arah kamarnya.

Aduuh mati gue.

————————————————

Selamat datang di work yang selalu ragu untuk aku publish apa tidak tapi akhirnya aku publish juga.

Selamat datang di Good Night Farrel siapapun kalian, aku harap kalian bisa suka dengan cerita hayalanku, semoga kalian bisa membaca dengan nyaman, jangan pernah bosan untuk vote dan coment yaaaaaaaa...

Luv

Good Night Farrel!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang