SANGGA LANGIT

8 3 0
                                    

Di istana, putri malu-malu kucing berjalan mondar mandir. Duduk salah, berdiri salah, berjalan tak ada tujuan. Kesan kemari tidak jelas.

Dia ingin tahu apa yang terjadi pada pangeran Gagah, tapi Sepai belum juga datang. Putri malu mengira Sepai masih di gunung. Dia membayangkan Sepai sedang mengintai dari kejauhan dan tidak perlu berkomunikasi satu sama lain antara pangeran Gagah dan Sepai.

Sepai dan pangeran Gagah memiliki kesamaan: mereka orang yang cenderung berterus terang. Hal ini tidak diketahui oleh si putri Malu. Jadi, tidak ada dalam bayangan si putri kalau mereka berdua ternyata bisa sampai bercakap-cakap tanpa menyembunyikan sesuatu.

Cukup sudah. Tak tahan lagi. Pagi itu adalah hari ketiga. Si putri malu memberanikan diri untuk menyelinap keluar istana dan menyamar sebagai pelayan. Dia menukar bajunya yang halus dan indah dengan baju kasar dengan warna yang pudar. Dia tidak menggunakan riasan wajah (karena seorang putri harus berdandan, supaya dikenali dan tampak berbeda dengan orang biasa.)

Si putri malu sudah tahu jalan ke kerajaan tetangga. Dia pernah diajak ke kotaraja sewaktu kecil.

Menaiki kuda sendiri, si putri seperti orang stres. Jalan sudah banyak berubah. Dia harus bertanya,

"Pak tua, kemana arah jalan ke Lembah Tenang?"

Seorang kakek tua yang sedang menyiangi kebunnya heran dengan sikap gadis pelayan di atas kuda. Dia pasti dari jauh, pikir si kakek,

"Nona bisa berbelok ke kanan setelah pohon sangga langit."

Si putri malu berpikir. Sangga langit tidak ada dalam buku yang dia baca. Dia menggerutu bahwa selama ini dia hanya sedikit membaca buku, sehingga Sangga langit pun tak tahu. Padahal di perpustakaan kerajaan, satu dindingnya tersusun sembilan rak. Buku botani sudah berjilid-jilid dia baca, kenapa tidak ada pohon Sangga langit. Si kakek ini pasti menyebut nama pohon secara tidak ilmiah.

"Kakek, Sangga langit nama latinnya apa?'

Si kakek ternganga-nganga. Petani jarang sekali ada yang tahu bahasa latin. Hanya orang bersekolah tinggi yang tahu itu. Si kakek sendiri tidak paham apa yang ditanyakan si putri malu.

Karena tidak segera mendapat jawaban, si putri malu mengubah pertanyaan,
"Pohon Sangga langit seperti apa, kek?" Dia bertanya sambil berteriak. Dari pertama juga dia sudah berteriak, karena jarak si kakek dengannya cukup jauh.

"Turunlah, Nak. Saya beritahu."

Akhirnya si putri malu turun demi mendapat informasi.

"Kamu darimana, Nak? Ada perlu apa ke sangga langit?"

Wah, orang desa memang kepo, selalu ingin tahu. Si putri malu mencari jawaban aman, dia berbohong, "Saya dari desa sana, Kek. Jauh. Saya mau bekerja di rumah salah satu pejabat istana, jadi saya harus masuk ke dalam dinding kota."

Si kakek berpikir, 'jika pohon sangga langit saja dia tidak tahu, bagaimana dia akan diterima bekerja sebagai pelayan. Anak ini kurang santun sikapnya dan juga kurang pintar. Tidak paham jalan, tidak kenal tumbuhan. Ah, tapi aku tidak boleh membuat prasangka terlalu jauh. Aku akan memberitahu saja ciri-ciri pohon itu.'

"Nak, pohon Sangga langit itu tinggi menjulang, batang pohonnya lurus, tidak seperti pohon-pohon di sekitarnya yang bercabang banyak, melengkung dan lebih pendek."

"Iya kek. Terima kasih. Saya pergi ya, kek." Si putri kembali menaiki kudanya menapaki jalan desa yang terjal. Si kuda coklat mengkilap itu sempat terpeleset. Biasanya si putri malu menaiki kuda di lapangan di wilayah istana.

Akhirnya si putri malu berhasil menjumpai pohon sangga langit. Dia merasa bangga. Hal ini juga telah mengubah cara pandangnya tentang pengetahuan.

Putri Malu-Malu KucingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang