Selesai : Titik Balik (Bonus Part)

43 7 0
                                    

Aku tak ingin kau sendiri. Bahkan sampai segala hal selesai”

🌌🌌🌌

Seberkas cahaya putih menyiram tubuhku. Tatkala kubuka mataku, kudapati diri ini tengah terkapar di sebuah ruangan tanpa batas.

Sedikit bingung, tapi tetap bersikap tenang. Mungkin aku sudah sampai. Cahaya putih itu semakin terang, cukup menyilaukan pandanganku.

Lalu sosok yang kutuju muncul dengan tenang di hadapanku.

"Sejeong-ah.." kuarahkan diriku kepadanya, cepat-cepat memeluknya. Aku terlalu haus akan dirinya. Rasa rindu ini seperti tak bisa diobati.

"Hyunggu-ya.. Apa yang sedang kau lakukan disini? Apa kau sengaja?"

"Mmm.. Ya, mungkin bisa dibilang begitu. Aku terlalu tak sabar untuk bertemu denganmu lagi" tuturku antusias.

Gadis itu tak meresponku. Ia justru menatapku dengan mata berbinar-binar. Bibirnya bergetar lantas perlahan mulai terbuka. Ia berbicara dengan begitu lembut. Suara yang selalu sukses membuatku merasakan candu.

"Tapi Hyunggu-ya, jika kau pergi seperti ini, mungkin kita akan kesulitan berjumpa lagi. Bagaimana jika.. ternyata nanti kau harus dilahirkan kembali dan mengulang kehidupanmu dari awal lagi, sebagai konsekuensi melawan takdir? Aku mungkin tak sanggup jika harus menunggumu dua kali lebih lama, Hyunggu-ya. Tak ada baiknya melawan takdir, cukup jalani hidupmu dengan baik dan aku takkan letih menunggu kehadiranmu disini. Sementara kau menghabiskan waktumu dengan tulus, aku akan menunggumu dengan bahagia. Aku berjanji akan tetap menantimu, aku akan jadi yang pertama menyambutmu dengan kebahagiaan di hari itu. Disini"

Aku seperti tak bisa bicara lagi, hanya bisa termangu memaknai setiap katanya. Mungkin ia benar. Sedangkan aku.. mungkinkah aku terlalu serakah?

Rintik butiran putih menghujani kami berdua. Entah darimana datangnya. Bentuknya mirip salju, tapi terasa hangat dan menenangkan.

Kudongakkan kepalaku, mencari sumber jatuhnya ribuan benda-benda ini. Namun justru kudapati begitu banyak kunang-kunang beterbangan di antara kami. Aku semakin membisu.

Terasa hangat tangan lembut Sejeong menggenggam jemariku, membuatku otomatis menoleh padanya. Sembari menatapku penuh kasih sayang, gadis itu menyunggingkan senyumnya untukku.

Senyum terindah yang pernah kulihat.

.

.

*Peep! Peep! Peep!

Bunyi monitor membangunkanku. Sinus rhythm. Bunyi yang mengisyaratkan detak normal pada jantung.

Mataku mengerjap —kebingungan. Seketika usai mataku terbuka, aku disambut plafon rumah sakit yang tampak elit. Badanku rasanya tengah merebah di atas matras rumah sakit.

Seketika itu juga aku menyadari, bahwa yang barusan hanyalah mimpi.

Perlahan, kuangkat tubuhku untuk bangun, masih sambil agak kebingungan. Apa mungkin aku tidak jadi mati?

Kurasa begitu.

Astaga, rasanya sangat parah. Remuk sudah organ dalamku. Perutku rasanya bergejolak seperti hendak muntah. Tapi untuk beberapa alasan yang tak kumengerti, aku tak bisa memuntahkannya. Pun kepalaku yang masih pusing seperti berputar.

Mengumpulkan segenap kesadaran, aku bertekad ingin turun dari kasur dan mencaritau. Tetapi bahkan sebelum aku menurunkan kakiku dari kasur, pintu kamar tempatku dirawat ini terbuka.

Dua pria bertubuh ekstra jangkung dan berotot memasuki kamarku. Dua sosok yang kukenal. Yuto dan Wooseok, —sahabatku. Wajah keduanya tampak lega menjumpaiku.

"kenapa aku disini?" tanyaku,

Yuto dan Wooseok beradu pandang. Keduanya tampak sungkan untuk bicara. Kutatap mereka dengan harapan mereka mau bicara apa adanya.

"maafkan kami, Hyunggu-ya. Kami tak bermaksud ikut campur dalam urusan pribadimu," akhirnya Yuto memulai pembicaraan, dilanjutkan Wooseok yang terbata meneruskan penjelasan Yuto.

"sebenarnya.. sore hari setelah kami mengabarimu akan menjengukmu kemarin, kami sudah sempat mengunjungi kediamanmu. Tapi rupanya kau sedang tidak di rumah. Sampai akhirnya kudengar dari grup alumni kelas kita, bahwa Sejeong meninggal. Cepat-cepat kami pergi ke pemakamannya, berharap bisa bertemu denganmu disana minimal sekadar untuk menenangkanmu," Wooseok mengambil napas, seraya menarik bangku kayu di sebelah kasurku, "tapi kami masih tak menjumpaimu dimanapun," lanjutnya,

"Hingga malamnya.. ketika kami datang lagi ke rumahmu, tak ada satupun lampu yang menyala. Sangat gelap. Kupikir kau masih belum pulang dari bepergian, namun tepat ketika kami hendak pergi, terdengar anjingmu menyalak keras dari dalam. Tak hanya itu, kedengarannya ia juga berusaha mencakari pintumu. Mungkin semacam isyarat. Saat kami berusaha membuka pintunya, ternyata benar saja pintu itu dikunci dari dalam. Tentu saja itu semakin memancing kecurigaan kami"

Aku masih menyimak penjelasan kronologis kejadian dari mulut Wooseok yang rupanya masih belum habis.

"Aku terus berusaha menggedor, sedangkan Yuto berusaha menelponmu, tetapi tak ada respon. Jadi kami memutuskan melompat lewat jendela. Dan, ya.. kami jumpai badanmu telah terkapar mengenaskan di lantai. Maaf kalau kami menggagalkan keinginanmu Hyunggu-ya. Maaf juga kami merusak jendelamu, kacanya pecah seluruhnya"

Aku sedikit melepas tawa kecilku. Supaya tak terlalu membebani kedua sahabatku itu. Syukurlah mereka menyelamatkanku dari kebodohanku. Sekarang baru aku menyadari rupanya keputusan yang kuambil terlalu terburu-buru. Beruntung saja aku tak terlambat.

"Tidak, tidak, terima kasih. Aku sangat bersyukur kalian menolongku. Aku mungkin sudah sungguhan mati kalau kalian tak merusak jendelaku. Anggap saja itu yang harus kubayarkan demi seonggok nyawa tak berguna ini"

Yuto dan Wooseok tertawa canggung. Mungkin mereka masih tak habis pikir, bagaimana bisa seseorang yang baru saja berhasil diselamatkan dari pembunuhan sepihak ini masih sempat-sempatnya merutuk dalam tawa.

✨🌟✨

Semburat cahaya sore ini membelaiku beserta angin sepoi-sepoi di sepanjang jalan. Aku sedang dalam perjalanan ke tempat abu Sejeong disimpan.

Kini aku telah sampai, terus menatap sebuah mawar layu di sebelah foto masa kecil Sejeong, rasanya seperti gadis itu harusnya masih ada disini. Entah apa alasannya, aku tak bisa berhenti berpikir bahwa semua ini adalah bagian dari mimpiku. Mana mungkin gadis cilik di foto itu kini sudah tiada? Tidak masuk akal. Tapi ya sudahlah, waktu telah menjawabnya.

Di pelukanku, sebendel buku harian merah muda tengah menanti untuk dibaca. Jari telunjukku tak henti-hentinya memainkan stiker strawberry yang agak terkelupas di ujung sampulnya. Milik Sejeong, ibunya menitipkan benda ini padaku. Amanah dari Sejeong, katanya.

Rasanya, aku tak lengkap. Aku seperti begitu hampa.

Tapi, mungkin ini semua karena aku terlalu mencintainya. Hingga aku terbutakan oleh itu, dan menutup mata akan semua hal.

Sejeong-ah.. kalau diberi kesempatan, aku ingin menggenggammu lagi, hingga bumi kehilangan birunya, dan matahari berhenti bersinar.

✳️❇️✳️

Hari-hari yang nampak seolah takkan berlalu. Akhirnya hancur, aku takut. Aku mencoba menahan hari-hari yang hancur di tanganku. Luka di tanganku dalam dan berdarah. Waktu dimana angin yang dingin menjadi hangat.

Saat aku menatapmu dengan tenang, aku merasa kau semakin sama denganku. Dan bahkan suatu waktu aku percaya bahwa kita takkan berubah

Pentagon, Violet ☔

Semburat Luka Di Tengah Semesta (SELESAI ✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang