Lily Terakhir Untukmu

55 9 0
                                    

Aku tak mengerti kenapa kau lebih menyukai lily dibanding mawar. Padahal kau jelas tau bahwa lily adalah lambang duka cita.

Kabar buruk yang tak kunanti terus menerus menghujaniku. Aku tak tahan lagi jika harus tanpamu

🌌🌌🌌

Dua hari telah berlalu semenjak hari itu. Hari dimana segalanya seperti dijungkir-balikkan. Sejak kemarin aku masih tak bersemangat hidup. Masih dibayang-bayangi memori bersama Sejeong yang telah lalu.

Tak sedikit celah jendela yang kubiarkan terbuka. Angin sejuk dari luar rumah berjubel masuk, menyibak tirai putih hadiah dari Sejeong. Tak ada yang kulakukan sedari kemarin, hanya duduk di sofa ini sembari melamun keluar jendela dengan tatapan sangat menyedihkan.

Aku bahkan tak pergi bekerja. Aku bilang pada rekan kerjaku bahwa aku sedang sakit. Memang kenyataannya begitu. Acapkali anjing kecilku berusaha mengajakku bermain. Tapi aku sedang tak bersemangat.

Nafsu makanku berkurang bahkan mungkin bisa dibilang hilang. Tapi sudahlah. Aku tak ingin menyakiti diriku, aku akan berusaha untuk baik-baik saja. Lagipula sepertinya gadis itu juga tak kelihatan menyesal sedikitpun kok. Apa yang perlu kuratapi?

Rambut-rambut kecil menusuk mataku. Tapi aku tak menghiraukannya. Aku sudah seperti pecundang. Seperti bukan aku yang biasanya. Aku biasanya bergairah hidup, kini hanya tau caranya memeluk lutut sambil menangis tanpa suara.

Ponselku berdering beberapa kali, panggilan video dari orangtuaku yang ada di kampung halaman. Tapi aku sengaja tak mengangkatnya. Mereka akan marah besar melihatku pucat dan lemas seperti ini. Mereka sangat menyayangiku, aku takut aku mungkin mengecewakan mereka kalau kukabarkan aku sudah tak ada hubungan lagi dengan Sejeong.

Harapannya sudah diserahkan pada Sejeong. Di umurku sekarang ini, harusnya aku sudah menikah, dan orangtuaku juga terus-terusan menuntutku untuk segera memberi mereka momongan. Kupikir aku sudah berhasil, ternyata aku tumbang lagi.

Kudengar suara ketukan pintu dari luar. Ini adalah tamu pertama setelah dua hari silam. Penampilanku sekarang ini sangat kacau, tak layak menyambut tamu, tapi apa peduliku? Palingan itu Wooseok atau Yuto, sahabatku. Tadi mereka bilang ingin menjengukku.

Dengan malas kuseret kakiku menuju pintu. Membuka pintu, dan.. bukannya sahabatku yang datang, tapi malah sebuah kejutan menghentakku.

Sosok yang sedang tak ingin kutemui sekarang ini tengah berdiri di hadapanku. Oh Sehun. Lelaki ini datang dengan setelan jas dan celana bahan yang sangat formal.

"Ada perlu apa kemari?" masih kujaga diriku supaya tak mengeluarkan kalimat yang tak semestinya. Lelaki itu diam, wajahnya tanpa ekspresi, sama sepertiku. Matanya seolah memindai penampilanku dari puncak kepala hingga ujung kaki. Tapi tampaknya tak berani menatap mataku.

"boleh aku masuk? Ada yang perlu kusampaikan padamu. Tidak singkat" air mukanya tampak serius. Kuizinkan saja dirinya duduk di ruang tamu.

Matanya menelusur setiap sudut rumahku. Aku yakin dia cukup takjub dengan bingkai fotoku bersama Sejeong dimana-mana. Atau mungkin dia mendapatiku sangat menyedihkan karena bentuk rumahku yang sudah amburadul.

Aku kembali dari dapur dengan dua kaleng bir dingin di tanganku.

"apa kau sehancur itu?" tanyanya. Apa-apaan, apakah dia bermaksud meledekku?

"seperti yang kau lihat. Lalu bagaimana denganmu, apa kau datang hanya untuk menghinaku?" nada sarkasme otomatis terlontar mengalirkan kalimat itu. Aku berusaha tenang.

"tidak," pria itu meraih saku jasnya. Mengeluarkan secarik surat dalam amplop warna navy, "bacalah nanti. Sejeong menitipkannya untukmu"

Ditaruhnya surat itu ke atas meja, mengarahkannya padaku dengan jari telunjuknya.

Tapi yang paling penting, aku tak melihat ada satupun cincin di jemarinya. Dia masih punya hati rupanya, mungkin sengaja menjaga perasaanku.

"maaf kalau mungkin ini menyakiti hatimu. Aku hanya ingin menyampaikan berita,"

Apa ini? Kenapa wajahnya tampak tak senang? Aku benci raut mukanya saat ini. Menambah rasa kesal saja melihatnya.

Berkali-kali Sehun hyung menghela napasnya. Membuatku semakin tegang dan tak sabar. Semakin ia mengulur waktu, semakin aku penasaran.

"maaf aku harus mengatakannya, Sejeong.." kalimatnya kembali terputus. Tapi kali ini terputus oleh sengguk tangisnya.

"ada apa hyung?" otomatis saja nada bicaraku melembut. Biar kata dia telah menikungku, bagiku dia tetaplah sosok yang sudah kuanggap sebagai kakak yang berharga.

"ah, maaf.. Aku tak tau bagaimana aku harus menyampaikannya padamu" lelaki itu mengusap matanya, "Sejeong meninggal, Hyunggu-ya"

DEG!

Tidak, pasti ini tidak benar kan? Maksudku, Sejeong baik-baik saja kemarin. Hari ini-pun kuyakin dia baik-baik saja. Omong kosong macam apa yang orang ini bicarakan? Sangat tidak sopan.

"Hyung jangan bercanda. Maksudku, hei, ini tidak lucu!"

"maafkan aku Hyunggu-ya, aku tak bisa menjaga Sejeong sebaik dirimu"

"bohong. Kau pikir aku percaya?"

"Hyunggu-ya, aku tau ini mengejutkanmu, tapi memang begitu adanya"

"BOHONG!!!!" aku berteriak seperti kesetanan. Menepis ucapan Sehun hyung yang seolah terus menekanku, "hyung katakan padaku ini adalah sebuah kebohongan! Kumohon!" tak terasa aku jatuh berlutut di hadapannya. Sedangkan Sehun hyung sendiri juga seperi tak tau harus berbuat apa.

Kutatap wajahnya yang berangsur-angsur kabur sebab terhalang air mata. Namun lelaki itu masih tak bergeming. Wajahnya terus menunduk dan tak ada respon selain sesenggukan yang tak terkontrol. Menandakan bahwa ini adalah sebuah berita benar.

Aku tak tau harus berkata apa lagi. Sumpah, hati ini benar-benar hancur. Aku seperti merasakan sesuatu menusukku.

Segala benda di atas meja kuhempas dengan tanganku. Segalanya.

Aku ini apa?! Kenapa Sejeong meninggalkanku?! Aku tak peduli apapun alasan ia meninggal, pertanyaanku, kenapa takdir tak adil hanya untukku?!

Seiring dengan hatiku yang terasa seperti hancur tak berbentuk ini, tangisku pecah. Tak ada lagi tenaga yang tersisa melainkan tenaga untuk menangis dan meronta. Rontaan ini adalah bahasa lain dari rasa ingin membangkang takdir.

Rasanya lemas sekali. Kujatuhkan diriku di atas sofa sambil menelungkupkan kedua tanganku menutupi rupaku yang hina ini.

"Sadarlah Kang Hyunggu!" Sehun hyung menampar wajahku. Sangat keras. Tapi tak terasa sakit sesakit hatiku sekarang ini.

Lelaki itu menarik badanku untuk bangun. Spontan, kutarik kerah bajunya.

"kenapa?! Kenapaaaa?!!! Kenapa sesakit ini?! Kenapa tak kau jaga dia dengan baik?!!" berteriak tepat di depan wajahnya, sambil kupukul badannya sekuat sisa tenagaku.

"Hyunggu-ya.. kumohon, tetaplah tegar.."

Persetan dengan tetap tegar, aku harus segera menemuinya. Aku yakin dia masih hidup.

"dimana dia sekarang?" suaraku kembali melirih.

"di rumah duka" begitu juga suara Sehun hyung.

"tidak! Katakan dengan benar! Bukan di rumah duka! Dimana dia sekarang?!"

"ayolah Hyunggu-ya, tak ada gunanya kau menyangkal ini semua! Percuma saja!" Sehun hyung mencengkeram kedua pundakku. Menatap mataku tajam-tajam, "Sejeong sudah tak ada.. terima saja kenyataannya.."

Sehun hyung terus berusaha menenangkanku. Aku tau itu tindakan yang bijak. Tapi hatiku tetap tak bisa menerima kenyataan ini.

✨🌟✨

Habis ini masih ada lanjutannya lagi. Hayo tebak habis ini doi kira-kira gimanaaa? 🙃 Btw sumpah ya aku nulis part ini sambil nangis hueeee 😭😭

Semburat Luka Di Tengah Semesta (SELESAI ✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang