Hari Itu

93 11 0
                                    

Ada satu hal yang selalu ingin kusampaikan padamu. Hal yang mungkin sudah bisa kau prediksi bahkan sebelum aku mengatakannya. Tapi entahlah, kuharap kali ini aku tak membuat kekacauan”

🌌🌌🌌

Sudah dua tahun kami menjalani hubungan ini dari balik papan ketik, dan selalu bertatap muka di hadapan layar. Haaa.. sungguh, tak bisa kupungkiri, rasanya aku sangat gugup.

Kusiapkan sebuket bunga untuknya. Aku sangat menantikan hari ini.

Nuansa hangat di kafe ini rasanya sangat cocok untuk persiapan melamarku hari ini. Aku tak ingin terlalu mewah, hanya akan kukatakan begitu saja. Kuharap aku melakukannya dengan baik kali ini.

"kau sudah menungguku?" gadis yang kutunggu akhirnya datang. Ah.. paras yang kunanti. Seindah ini melihatnya tanpa perantara.

Aku membantunya memposisikan kursi, mempersilakannya duduk di depanku. Well, itu yang dilakukan pria-pria seharusnya kan?

"akhirnya.. apa kabarmu, Sejeong-ah? Amerika sangat bagus kan?" sapaku gugup. Aku yakin dia bisa mendengar getaran dalam suaraku.

Tapi entah bagaimana, tampaknya ia tak sedang benar-benar menantiku. Gadis ini menghindari tatapan mataku. Apakah mungkin aku melakukan kesalahan sebelumnya?

"ah, aku baik-baik saja. Bagaimana denganmu?"

Aku mengangguk tersipu, menyembunyikan rona merah di wajahku akibat suara manisnya, "syukurlah. Aku juga baik-baik saja disini"

"apa kau merindukanku?"

"apa maksudmu? Tentu saja! Ah, aku merindukanmu sebanyak gundukan bunga yang berguguran itu" kuulurkan tanganku, bermaksud membelai rambut hitamnya yang begitu indah. Tapi gadis itu menunjukkan respon tak terduga bagiku.

Ia menggerakkan kepalanya pelan, seolah  menghindari tanganku. Perlahan juga senyumku memudar.

Kutarik kembali tanganku. Aku masih menatapnya, gadis itu tak mengangkat pandangannya sedari tadi. Baiklah, tak apa. Mungkin perlu waktu untuk kembali terbiasa.

Jujur saja aku bisa menangkap atmosfer tak biasa ini. Dia kelihatan tak terlalu senang. Bahkan sejak awal tadi senyumnya juga tampak tak tulus.

Aku berusaha mengusir pikiran itu cepat-cepat. Anggap saja semuanya baik-baik saja.

"kalau begitu biar kupesankan minuman hangat untukmu. Dan kue red velvet favoritmu" aku nyaris berdiri meninggalkan meja kami. Tapi tangan Sejeong menahanku.

"tidak perlu"

"baiklah, mungkin nanti" Mau tak mau aku kembali duduk. Kuhela napasku pelan. Di bawah meja, kedua tangan ini tak berhenti mengusap pahaku. Aku benar-benar tak tau harus apa.

"Sejeong-ah, hari ini, aku ingin memberimu sesuatu" aku bergegas mengalihkan topik pembicaraan. Sepertinya kesayanganku ini sedang tak ingin berlama-lama.

Tanpa mengulur waktu lagi, kukeluarkan benda yang kusimpan di saku celanaku sedari tadi. Jantungku berdegup dua kali lebih cepat. Sungguh, aku begitu gugup untuk mengutarakannya sekarang. Antara antusias dan ragu. Haha, katakan saja aku ini pengecut. Aku terlalu takut memulainya, cemas kalau-kalau nanti mungkin melakukan kesalahan.

Gadis itu masih tak menolehku, hanya melirik pergerakan tanganku yang ceroboh ini.

Sebuah kotak merah yang sangat kujaga. Akhirnya benda ini mendarat di hadapannya. Memerlukan waktu lama bagiku untuk membeli benda ini.

Sepasang cincin emas berkilau sesaat setelah kubuka kotak ini. Sekali lagi aku menjadi semakin gugup saja.

"Sejeong-ah.. Will you marry me?" akhirnya, kulisankan ungkapan ini. Bait manis yang selalu menjadi akhir bahagia dalam setiap kisah romansa.

Senyumku semakin mengembang, sudah tak sabar aku melingkarkan lambang cintaku ini lalu mengecupnya.

Aku memberinya waktu untuk menyiapkan dirinya. Sebab aku juga merasa mood-nya sedang tak baik.

Dua detik, lima detik, sepuluh detik, enam belas detik.

Gadis itu masih tak mengeluarkan jawaban dari bibirnya. Dan wajahnya masih menunduk. Tak ada yang berubah dari air wajahnya yang dingin.

Aku tak mengerti, tak biasanya Sejeong-ku yang periang menjadi dingin begini.

Sampai kusadari, ada sebuah cincin bertahta permata berbentuk hati mungil melingkar di jari manisnya.

Aku tak bisa memercayai hal ini. Sedikit terkesiap mengetahui hati Sejeong sudah tak lagi untukku.

Tak ada lagi senyuman tersungging di bibirku. Yang ada malah binar di kedua mataku yang menambah kesan menyedihkan.

"maaf, aku tak bisa" akhirnya mata kami bertemu. Aku memandangnya putus asa. Tapi bahkan tak sedikitpun tatapan iba di matanya. Begitu tajam dan dingin.

"sejak kapan?" tanyaku merujuk pada cincin di jarinya, yang menandakan bahwa dirinya mungkin telah bertunangan. Kuusahakan suaraku setenang mungkin.

"sejak aku tak pernah lagi menghubungimu. Apa kau tak menyadarinya? Aku menghindari telpon darimu sejak beberapa waktu lalu" kulihat seringai tipis di sudut bibirnya.

"tapi tidak mungkin, kau bilang kau sibuk dengan pekerjaan-"

"Kang Hyunggu! Sudah cukup! Apa kau benar-benar tak mengerti?! Aku berbohong! Kau melihat buktinya sendiri di jariku sekarang!" nada bicaranya meninggi tiba-tiba. Bahkan ia menyentakku dengan namaku. Hal yang tak pernah kualami selama berpacaran dengannya. Hatiku terhenyak, tentu saja aku tersinggung akan hal itu.

Aku tak ingin menganggapnya jahat, tapi kali ini aku benar-benar tak tau harus berkata apa. Aku tak sanggup menatapnya lagi.

Sejeong berdiri meninggalkan kursinya. Refleks saja, badanku turut berdiri lantas kutahan pergelangan tangannya.

"siapa laki-laki itu?"

"kau tak perlu tau, yang jelas dia jauh lebih baik darimu" suaranya lirih dan dalam. Cukup menyayat hatiku. Atau mungkin lebih dari cukup. Aku menelan serta salivaku bersama pahitnya kenyataan.

"baiklah, selamat" tawa kecil yang menyakitkan terhembus dari hidungku. Apakah aku sebegitu menyedihkannya? Aku sendiri bahkan tak bisa percaya kalimat ini akan menjulur dari mulutku.

Tapi tampaknya aku sudah lega, setidaknya tunangannya lebih baik dariku.

Gadis itu begitu ringan melangkahkan kakinya keluar meninggalkanku yang masih terpaku dengan buket bunga yang masih kugenggam di tangan kiriku.

Sedikit kuangkat pandanganku, dan kudapati sosok pria tengah menyambutnya di luar sana. Sosok yang sangat familiar bagiku. Lelaki itu, Oh Sehun, sahabat kecil Sejeong yang sudah seperti kakaknya.

Yang benar saja? Apa benar Sehun hyung yang menggantikanku?

Padahal aku percaya padanya, selama Sejeong di Amerika, kubiarkan Sehun hyung menjaganya. Tapi ternyata aku berakhir dikhianati.

✨🌟✨

*Part selanjutnya nanti ku-up sesegera mungkin. Gabut banget soalnya, jadi banyak waktu luang buat nulis wkwkwk. Btw semoga kalian suka hehehe😁

Semburat Luka Di Tengah Semesta (SELESAI ✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang