2. Salad

940 166 11
                                    

[ Meal log 44 ]

current weight : 54.1 kg

b'fast : water (0)

lunch : water (0), a piece of lettuce (4.5)

dinner

exercise : jogging (441), sit ups (65)

total calories : (-501.5)

Suasana kantin memang tak pernah sepi. Apalagi di jam istirahat begini. Setiap murid pasti sudah siap berkumpul dengan kelompoknya masing-masing. Bahkan ada yang pasang badan bagi yang ingin mengambil meja mereka. Tentu tidak asing lagi kalau kau bersekolah di sekolah biasa, bukan seperti yang di film.

Sayap kanan kantin, segerombol perempuan populer sibuk menggosip soal cowok. Mereka memuja keberadaan satu sama lain. Berkata kalau mereka bersinar bagai berlian, meski tentu harus ada yang paling terang sinarnya. Sudah bukan rahasia lagi jika ada yang diam-diam berlomba di balik puji semu mereka.

Aku bahkan tak yakin mereka akan menyentuh salad mereka di tengah obrolan remeh itu. Perempuan cantik tak pernah makan banyak, katanya. Jadi kau akan tahu ke mana isi nampan itu pergi jika kau sering menatapnya sepertiku.

"Lu gak makan?"

Aku menggeleng, "I had a b—"

"I had a big breakfast." Singto mengangkat bahu, sudah hafal sekali apa yang akan kukatakan. "Jual ginjal gue sekarang kalo lu beneran makan tadi pagi."

"Wow, gue gak sabar ganti iPhone dan operasi plastik." Balasku sambil mengangkat alis.

Singto tertawa. Sebenarnya tidak juga, dia tidak akan menjual ginjalnya. Kalau kalian anggap lari pagi dan kardio sebagai 'sarapan', tentu aku 'makan' banyak pagi ini. Bahkan aku hampir tak bisa berjalan ke sekolah tadi. Tapi setidaknya ini semua sepadan, keberadan sushi semalam pasti sudah lenyap.

Tapi hey, Krist, bukan kau saja yang begini sekarang. 

Lihat perempuan cantik itu. Pasti mereka semua juga tersiksa sepertiku.

"Setidaknya makan sedikit." Ujar Singto yang mulai kesal. "Emangnya gak laper apa?"

"Gak."

"Dasar alien."

"Bodo amat." Aku menggeleng lalu kembali memusatkan perhatianku pada gerombolan perempuan itu.

Benar, salad mereka masih utuh. Astaga. Padahal itu hanya sayuran ditambah potongan roti panggang di atasnya. Entahlah, kurang lebih sekitar 55 kalori? Kau bisa membakarnya dengan satu jam bersepeda statis. Tapi mereka memilih untuk menghindarinya.

Kalau begitu aku juga.

"Kalo lu suka, mending lu bilang." Singto menangkap basah aku yang curi-curi pandang ke meja sebelah. Membuat pipiku merah seketika.

"Apa sih?" Kutepis langsung ucapannya. "Jangan ngaco deh."

"Ngaku aja sih."

"Kagak!" Aku berteriak, membuat orang yang lewat menatapku aneh.

Sebenarnya kesal juga ditatap aneh begitu, apalagi sampai berbisik. Aku tahu kalau suaraku nyaring saat berteriak. Tapi memangnya mau bagaimana lagi? Jikapun ada operasi untuk merubah suara, tentu akan kulakukan. Lelah juga setiap hari selalu dilihat aneh sampai mereka enggan untuk makan siang denganku.

"Tapi mereka emang cantik sih." Balasnya lalu menarik nafas dan membuangnya asal. "Lu tau sendiri kan dari dulu gue selalu pengen punya pacar yang cantik, putih, dan langsing?"

Aku mengangguk.

Singto berbisik, "Gila, mereka tipe gue banget. Sayang susah digapai."

Dan begitulah semua itu dimulai. Obsesi itu, sesuatu yang ia sendiri anggap 'gila'. Jika saja ia membuka matanya sebentar. Tapi dari banyak pelajaran yang kudapat selama bersama Singto, kau tidak bisa berharap banyak darinya. Jangankan membuka, berkedip pun sulit diharap.

Perempuan yang habis bergosip itu meninggalkan salad mereka. Tersentuh namun tak sempat lewat mulutnya. Dipotongnya kecil-kecil seakan ada perubahan di piringnya.

Aku melirik jam tanganku. Lima belas menit sebelum kelas, Buru-buru aku beranjak dan membawa nampanku. Apa yang membedakanku dengan mereka? Setidaknya aku membuang 'sisa' makananku ke tempat sampah.

Beauty makes boys happy, right?

Lunchbox Friends - [ Singto x Krist ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang