4. Photobox

739 160 8
                                    

[ Meal log 45 ]

current weight : 53.7 kg

b'fast : bread (70), water (0)

lunch : diet coke (0), water (0)

dinner :

exercise : jogging (376)

total calories : (-306)


"It was a total bomb!" Singto membuka pembicaraan setelah keluar dari bioskop.

Aku mengangguk setuju. Meski sekarang debar jantungku masih tak karuan. Bagaimana tidak? Tangan kami terus bergandengan hingga film selesai. Untung saja buru-buru kulepas ketika lampu bioskop mulai menyala. Semoga tidak ada mata yang sempat menangkap momen tadi.

"Laper gak?" Tanya Singto.

"Enggak sih." Balasku sambil menggeleng pelan.

Singto menyikutku, "Lupa ya kalo lu harus makan buat hidup?"

"Apa sih?" Pertanyaannya yang makin aneh hanya membuatku bingung. "Gue udah makan banyak tadi. Gak usah pusingin gue."

"Lu begini ngejar apa sih?!" Suara Singto mulai meninggi.

Tidak sulit untuk dijawab, sebenarnya. Aku menyukainya dan ingin tampil bagus di hadapannya. Hanya saja aku tidak mau persahabatan kita rusak karena hal bodoh begini. Perasaan yang muncul ini bagaikan hama bagi hubunganku dan Singto. Jadi lebih baik aku simpan sendiri saja.

"Udah-udah, jangan ngambek ah!" Singto berusaha menenangkan suasana. "Mau photobox gak? Mumpung belum rame nih sama orang pacaran."

Aku menatanya heran, "Ngapain sih?"

"Emang temen gak boleh photobox bareng?"

"Ya boleh sih." Jawabku menahan malu. "Tumben aja. Kita juga gak pernah gini kan?"

"Bacot deh? Biarin sekali-sekali gue jadi romantis kayak film yang lu tonton." Kemudian Singto mempercepat langkah kakinya, membuatku hampir tertinggal jauh.

Aku tersenyum sambil melihat pundaknya makin jauh dariku. Sikapnya yang sulit ditebak membuatku makin penasaran. Permainan apa yang sedang ia mulai? Bukannya ingin sok polos dan tidak tahu apa-apa. Aku tahu betul dia straight. Tapi terkadang kita harus membahagiakan diri kan?

"Kartu buat mainnya masih ada di lu kan? Kayaknya sih masih ada isinya. Pake aja dulu." Ujar Singto.

Langsung kuraih dopetku. Kartu yang dulu sering kita gunakan setiap akhir pekan. Menghabiskan uang jajan sepanjang minggu demi dua kali putaran tanding melempar bola basket dan balap mobil. Seiring bertambanya umur, aku menyadari sudah lama juga kami tak kesini. Arcade ini sudah banyak berubah ternyata.

"Oh, ini kartu lama. Sekarang sudah berubah, Kak." Ujar penjaga kasir ramah di balik konter warna-warni. "Mau bikin baru aja?"

Aku mengangguk cepat, "Boleh, Mbak."

"Jangan main isi aja, dodol. Tanya dulu itu photobox-nya bisa atau kagak." Bisik Singto.

"Mbak." Panggilku di tengah ia sibuk menyiapkan kartu baruku. "Itu photobox-nya bisa?"

Perempuan itu langsung menatapku aneh, namun kemudian mengangguk sambil tersenyum. Setidaknya ia berusaha ramah kali ini. Singto juga ada-ada saja. Mana ada laki-laki yang pergi ke photobox berdua kecuali kalau mereka punya hubungan khusus? Hanya perempuan yang bisa berfoto berdua dan mengaku teman.

Tapi kurasa kita bisa jadi yang pertama. Apa salahnya juga kan?

Kartu sudah di tangan. Tidak memedulikan apa kata orang, kami langsung masuk ke bilik yang menjadi tujuan. Aku menggesek kartuku. Sinar lampu seketika muncul. Begitu terang bahkan hampir menyilaukan mata. Singto tertawa pelan melihat tingkahku yang tak terbiasa dengan silau lampu.

Mungkin ini akan jadi hidupku di masa depan, sorot lampu dan sinar kamera.

Tentu jika aku disiplin dalam menjaga makanku.

"Buruan gaya!"

Kutarik bibirku, berusaha menampilkan senyum. Jepretan foto terdengar berkali-kali. Sebenarnya hasil fotonya tidak buruk juga. Toh, semua perhatianku terpusat pada Singto. Aku tak menyangka ia bisa begitu photogenic. Heran juga kenapa ia tidak ikut mendaftar ke agensi model.

"Ganteng juga gue di sini." Komentar Singto setelah aku sigap mengambil hasil foto yang baru keluar. Aku yakin sekali belum ada yang sempat mengintip hasil foto tadi.

Aku menatapnya sinis, "PD banget lu!"

Tapi sebenarnya tidak salah juga, dia memang tampan. Jika aku punya pasangan seperti dia tentu tidak bosan-bosannya kupajang di semua media sosialku. Atau bahkan tidak sama sekali karena insecure ia akan didekati banyak perempuan. Itupun kalau lingkungan ini tidak heboh menentang hubungan homoseksual.

Itupun (juga) kalau ia menyukaiku.

"Sing." Aku menatap kedua matanya yang masih sibuk menatap hasil refleksinya. "Menurut lu soal LGBT itu gimana?"

Singto kaget sambil tertawa kecil. "Kok tiba-tiba banget, Krist?"

"Iseng aja."

"No comment." Balasnya sambil mengangkat bahu. "Maaf ya?"

"Jadi lu nentang?"

"Gak juga sih." Singto menggeleng. "Cuman ya... Gue masih sayang bokap-nyokap gue, Krist. Gak tau apa jadinya kalau mereka tau—"

"Gue nanya pendapat lu tentang LGBT, bukan kalo lu jadi bagian dari LGBT." Kupotong kalimatnya karena tak tahan dengan ucapannya yang ngalor ngidul.

"Lu tau keluarga gue kan?"

Aku mengangguk.

"That's it." Kemudian ia menunduk sambil memainkan jemarinya. "Tetep no comment."

Seharusnya aku tidak kecewa dengan jawabannya. Aku tahu pasti ia akan jawab begitu. Singto lahir dari keluarga yang relijius. Ibunya tak akan berhenti menyuruhnya berdoa setiap melakukan apapun. Ayahnya apalagi, Tuhan dan ajaran agama seperti melekat di setiap langkah hidup keluarganya.

Benar. Keberadaanku mungkin hanya bisa merusak hidup Singto.

"Sorry ya, Sing." Ujarku tiba-tiba. "Kalo gue udah banyak ngerepotin lu."

Lunchbox Friends - [ Singto x Krist ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang