9. See You There

655 126 6
                                    

[ Meal log 47 – Liquid Fast ]

b'fast : iced water (0)

lunch :

dinner :

exercise : sit up (120)

total calories : (-120)


Setelah dipikir-pikir, ternyata tidak juga.

Aku masih punya harapan untuk bisa lolos dari jeratan neraka itu. Meski aku yakin ibu akan membawaku ke rumah sakit siang nanti. Ia tak suka menanti lebih lama. Entah apa yang dipikirannya. Sepertinya ibu senang sekali melihat anaknya gemuk dan jelek.

Padahal suaminya juga bukan tipeku kok. Ibu harusnya tidak perlu takut dan repot-repot memanggil dokter untuk menjaga agar berat badanku 'ideal'. Padahal apa itu ideal yang sebenarnya? Sesuatu yang cocok menurut data belum tentu tepat di mata.

Tapi tak apa untuk berpura-pura manis sebentar. Berkata ini dan itu agar ibu kembali percaya. Kemudian malamnya juga pasti renggang lagi. Anak-anak itu pasti akan kembali ribut dan haus perhatian. Di situlah aku bisa mengambil kesempatan.

"Makan." Ibu menyodorkan sepiring telur mata sapi dan kentang rebus.

180 kalori dari telur.

118 kalori dari kentang rebus.

Aku melirik Pear, adik sambungku, menenggak segelas susu coklat. Kemungkinan besar aku akan disuruh untuk melakukan hal yang sama. Bedanya, bocah perempuan itu beruntung karena punya metabolisme yang cepat. Kegiatannya juga hanya bermain dan entahlah? Melukis gunung asal-asalan yang kemudian dipuja-puji ibu lalu ditempelnya di kulkas?

Begitu juga dengan Tee, adikku yang paling kecil. Bahkan kerjaannya hanya membuat kamar berantakan. Itupun masih dimaklumi. Intinya hidup mereka begitu beruntung. Mendapat semua perhatian orang tuanya.

Apa yang kudapatkan ketika seumur mereka?

Tentu saja teriakan dan umpatan setiap pulang sekolah. Dulu, selalu kudendengar ibu berdebat hebat dengan mantan suaminya. Terus berlanjut hingga salah satu mulai tak segan menampar. Gelas dan piring juga pasti jadi korban.

Aku senang ibu sudah dapat kehidupan yang lebih baik sekarang. Tapi mengapa ibu terlihat begitu benci denganku? Ah, mungkin karena aku bagian dari masa lalunya. Baginya, aku bagaikan trauma yang hidup dan berjalan. Mengingatkannya pada pemuda yang hobinya mabuk itu.

"Kak Krist gak makan?" Tanya Pear menatapku yang masih sibuk menelaah isi piring.

Ibu mengangkat alis, "Tuh, ditanyain adeknya."

"Iya, ini makan." Aku tersenyum masam. "Pear mau kent—"

"Makan!" Potong ibu yang sudah khatam strategiku. "Apa perlu ibu plototin?"

Mau tidak mau aku harus bergelut dengan sarapan pagi-pagi begini. Jujur saja, sudah lama sekali aku tak sarapan. Biasanya kubilang kalau aku sudah terlambat dan akan sarapan di kantin. Kemudian bilang yang sebaliknya pada Singto jika aku baru saja makan banyak di rumah. Siklusnya begitu-begitu saja.

Sambil menghela nafas, aku memotong kecil-kecil telur mata sapiku. Tidak mau membuat tubuhku kaget karena tiba-tiba ada sesuatu yang tak biasa pagi-pagi begini. Ibu betulan memelototiku ternyata. Memastikan kalau isi piring itu kutelan hingga habis.

Ponsel ibu tiba-tiba berdering. Telur yang tadinya hampir meluncur bebas ke tenggorokoanku, langsung kuletakan lagi di piring. Berusaha mendengar percakapan ibu yang kurasa penting. Ibu sampai tak berhenti memasang ekspresi kesal hingga berjalan keluar dapur.

Lunchbox Friends - [ Singto x Krist ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang