S & R 36

19 7 0
                                    

1 Minggu berlalu...

Tasya sudah banyak belajar memahami, ia mempelajari seluruh tugasnya dengan baik, cepat belajar dan adaptasi, sehingga dalam waktu seminggu saja Tasya sudah memiliki banyak teman, tak jarang sering bergabung bersama karyawan lainnya ketika waktu luang. Terlebih tugas Tasya yang memang mengharuskan sering berinteraksi dengan setiap bagian untuk bertanya perihal stok barang, itu membuat dirinya mengenal lebih mudah dan cepat.

Tasya senang dirinya bisa diterima baik disini, ia sudah dianggap seperti adik oleh seluruh karyawan karena umurnya yang paling muda. Tasya yang berumur 19tahun, bersikap layaknya orang dewasa lainnya, terampil dalam hal apapun, menyelesaikan masalah dengan tenang, dirinya selalu bertanggung jawab pada sesuatu yang sudah menjadi tugasnya.

Hari Senin, saatnya Tasya menyuplai barang. Didalam gudang penyimpanan barang. Tasya berdiri menghadap rak bahan pokok dapur bagian restoran, memeriksa barang yang habis terpakai untuk kembali diisi, kemudian mencatat kedalam buku yang sedari tadi ia pegang beserta bolpoin nya. Buku bertuliskan 'order produksi'.

5 menit berkutat, Tasya melangkah maju ke rak selanjutnya, yaitu rak bahan pokok dapur bagian kafe. Ia melakukan hal yang sama seperti yang ia lakukan sebelumnya. Memeriksa dan mencatat untuk ia order ke suplai barang.

"Perlu bantuan gak, sya?" Zira berdiri di samping Tasya.

"Eh, Zira. Gak deh kayaknya, ini baru aja selesai, kamu mau ambil apa?" Tanya Tasya. Umur Zira satu tahun diatas Tasya, tapi Zira meminta agar Tasya tidak memanggil kakak, berbeda seperti kepada karyawan lainnya.

"Ini," Zira mengambil kopi biji 1kg bertuliskan mix Robusta-Arabica. Zira, gadis bertubuh mungil dan cantik, ia bekerja dilantai dua, tepatnya di bagian kafe. Zira ditempatkan diposisi barista, ia sebagai satu-satunya barista perempuan diantara 4 barista. Zira banyak di kagumi oleh para karyawan laki-laki. Mengingat Zira adalah orang yang supel, senang bergurau, terlebih ia juga cantik. Barista perempuan yang memikat, penampilannya selalu terlihat elegan sebagai barista yang selalu tersorot oleh tamu atau pengunjung ketika menyajikan secangkir kopi yang nikmat.

"Sekarang kamu udah gak tanya-tanya lagi soal produk ya, udah sangat hafal," Zira tertawa apresiasi. Karena satu Minggu kebelakang, Tasya banyak bertanya perihal order produksi, mengingat dirinya belum tahu tentang kebutuhan, nama, bentuk, jumlah seluruh barang yang harus ia order. Sehingga ia harus banyak bertanya kepada setiap bagian apa-apa saja yang dibutuhkan, sementara sekarang, Tasya cukup memahami, ia hanya tinggal memeriksa barang di gudang, kemudian mencatat yang harus di order. Tasya sudah tau seluruh barang kebutuhan karyawan.

Tasya duduk di ruang karyawan, tempat setiap hari ia melakukan kerja. Karena ia tidak memiliki ruang khusus admin. 15 menit berlalu, Tasya selesai merekap order produksi, kemudian mengirimkan kepada suplai barang yang sudah menjadi langganan setiap kebutuhan. Tasya beristirahat sejenak, duduk santai sembari memainkan ponselnya, menarik ulur beranda Instagram. Matanya berhenti pada sebuah postingan, dari seseorang yang sangat ia kenal, seseorang yang selalu ia rindukan, seseorang yang selalu ia tunggu kehadirannya. Tapi, apa maksud dari postingan ini? Sebuah undangan berwana biru tua, tulisan berwana putih, dengan design yang elegan. Tubuh Tasya seketika kaku, melihat Poto dan nama yang terpampang di undangan itu. Foto Fandi dan seorang perempuan bernama Indah Renatta. Sebuah Poto yang menggambarkan kebahagiaan keduanya, dengan tulisan nama mereka yang terukir indah.

Tasya tak pernah tau siapa itu Indah Renatta, sosok wanita cantik berkulit putih, senyum manis dengan lesung pipi di kedua sisi, sorot mata bersinar sama seperti yang dimiliki oleh Fandi. Mereka tampak serasi, bagaimana tidak? Wanita cantik itu seakan memang ditakdirkan untuk Fandi.

Sontak tangan Tasya meletakkan ponsel yang ia genggam, kemudian tangan kanannya mengelus cincin yang selalu ia pakai dua tahun terakhir, air mata Tasya jatuh tanpa diminta. Tasya tersedu sendirian, ia merasa telah ditipu oleh harapannya sendiri, ditipu oleh waktu yang menyuruhnya menunggu. Ia merasa telah salah menanti, menanti seseorang yang ia pikir akan datang. Jika sudah seperti ini, siapa yang harus ia salahkan? Hatinya yang telah berharap, atau logika yang menyuruhnya menunggu. Cincin, kenapa Tasya harus percaya kepada sebuah cincin yang tidak bisa bicara? Menganggap bahwa cincin itu adalah pesan tersembunyi dari sang pemberi untuk menunggu.

Harusnya ia sadar, bisa jadi cincin itu adalah hadiah karena dirinya memenangkan lomba itu, hanya saja Fandi tidak mengatakan hadiah untuknya mengingat takut jika Tasya salah paham, kemudian menganggap itu adalah hadiah khusus. Dan lihatlah sekarang, Tasya benar melakukannya, Tasya menganggap itu adalah sesuatu yang khusus. Dan balasannya adalah ia harus tersakiti oleh ekspetasinya sendiri.

Tasya menunduk dalam, membiarkan dirinya terlarut dalam kepedihan. Sekarang, dan untuk seterusnya, ia harus benar-benar melepas cintanya, cinta yang mungkin di anggap Fandi adalah cinta seorang remaja. Besok pernikahan Fandi berlangsung, itu artinya, Tasya benar-benar akan kehilangan dia, sosok rembulan yang selalu menjadi sajian favorit sang penikmat malam.

"Aku tak pernah melihat dirimu sesedih ini, kau seakan sedang ditusuk oleh ribuan pisau, kau terlihat begitu terluka. Aku, aku seperti kehilangan dirimu yang senantiasa ceria, dan aku seperti kehilangan senyum yang pernah terukir. Ada apa denganmu Tasya?" Fajar berdiri di belakang Tasya, kemudian duduk di samping Tasya yang masih menunduk dalam, menangis pilu dalam diam.

Lima menit lalu, Fajar berada di ruangannya, tepatnya di samping tempat para karyawan biasa berkumpul. Fajar sedang berkutat dengan laptopnya, tapi ia mendengar seseorang sedang menangis, sehingga disinilah Fajar, duduk disamping Tasya. Karena Tasya lah yang ia ketahui sedang menangis tersedu.

"Menangislah Tasya, aku tak pernah melihatmu menangis sekalipun. Jika saat ini aku menemukan mu menangis, itu artinya kau benar-benar begitu terluka, karena yang aku tau, kau adalah gadis rembulan yang selalu bersinar," ucap Fajar lembut. Sedikit demi sedikit Tasya mengangkat kepalanya, menatap Fajar yang juga menatapnya. Fajar menemukan sorot mata Tasya yang sendu sementara Tasya menemukan sorot mata Fajar yang begitu menenangkan.

Tasya menangis sejadi jadinya, Fajar merengkuh tubuh Tasya kedalaman pelukannya, mengelus punggung Tasya dengan lembut, berusaha menenangkan Tasya yang ia tidak tau apa penyebabnya. Fajar merasa terluka melihat keadaan Tasya, ia seperti merasakan betapa sakitnya yang dirasakan Tasya, jika dirinya bisa memindahkan kesedihan yang Tasya alami kedalam dirinya, maka ia akan segera memindahkan kesedihan itu agar Tasya tidak merasakan luka lebih dalam.

"Dia, dia..." Tasya mulai berbicara disela tangisnya. Fajar melepaskan pelukannya, membiarkan apa yang akan Tasya ucapkan.

"Dia, sosok rembulan yang selalu aku kagumi. Dia benar-benar pergi. Dia sudah menjadi milik orang lain," Tasya kembali menangis, menutup wajah dengan kedua telapak tangannya.

"Aku kehilangannya kak, aku mencintainya, tapi dia mencintai orang lain, dia bersama yang lain." Tasya melepaskan sebuah cincin yang tersemat dijari manisnya, cincin pemberian Fandi dua tahun lalu, yang entah apa maksud dari cincin itu. Meletakkan diatas meja dengan sembarang.

Pandangan Fajar tidak terlepas dari Tasya, ingin sekali Fajar mengelus rambut Tasya, menyalurkan kembali ketenangan, tapi itu tidak boleh ia lakukan, bahkan pelukan singkat itu sama sekali diluar dugaannya, melihat Tasya begitu terluka seakan membuatnya hilang kendali. Dan itu membuat dirinya menyesal karena berbuat demikian kepada Tasya meski Fajar tidak bermaksud mengambil kesempatan apapun dari Tasya.

Senja dan RembulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang