Bagian 4: 24 hours
***
Pagi sekali bahkan matahari masih malu untuk memperlihatkan eksistensinya dan tawang yang gelap gulita tak ada satupun gemerlap bintang, mungkin sekitar pukul empat dini hari, rumah Kala sudah menerima pengunjung. Tuan rumah yang memang sudah memiliki kebiasaan untuk terjaga sejak pukul tiga mulai menyambutnya dengan suka cita.
“Raka mau makan?” tanya ambu Kala, Jules serata menatap sang tamu, Raka yang tengah menonton televisi dengan suaminya.
Raka menjeda obrolannya. “Enggak perlu tan, saya cuma mau jemput Kala aja,” jawabannya membuat wanita beranak satu itu mengangguk paham kemudian naik ke lantai dua, di mana kamar putrinya berada.
Mengetuk pelan pintu mahoni lalu masuk setelah meminta izin.
“Kala bangun dulu ya, ada Raka di bawah,” ujarnya sambil menepuk pundak sang putri dengan pelan, membuat tubuh kecil yang terbalut dengan selimut itu menggeliat tak senang karena tidurnya yang terganggu untuk kedua kalinya.
Karena merasa terusik ditambah dengan selimut yang sang ibu sibak begitu saja, Kala mulai membuka matanya dan mengerjap ketika melihat proporsi tubuh di depannya yang lumayan besar dan dekat dengan selimut tebal di tangannya.
Gadis itu bersuara dengan suaranya parau. “Apa Bu?”
Sang ibu hanya tersenyum dan berdehem. “Raka udah cerita semuanya ke ambu, katanya dia bakal minjem kamu seminggu. Kamu beneran mau nemenin dia? Kalau kamu merasa keberatan nanti biar ambu bantu bicara ke dia,” ujarnya seraya menyimpan selimut yang sudah ia lipat di tepi kasur.
Gadis itu hanya kembali menerawang jauh, tertinggal di belakang dengan pikirannya yang mulai menyibukkan diri. “Gak apa-apakan bu? Kasian Raka, aku cuma inisiatif doang nemenin hari-hari terakhir dia di sini,” jelasnya.
Setelah sholat berjamaah dengan keluarga Kala, dan sarapan bersama. Kini Raka mulai memakai sepatunya di teras rumah Kala, sedangkan gadis itu tengah berpamitan dengan kedua orang tuanya.
Dirasa selesai, Raka mulai berdiri lalu mencium punggung tangan kedua orang tua Kala. “Om, tante, saya sama Kala pamit ya.”
“Iya, hati-hati loh. Jaga putri saya jangan dilepas, anaknya suka keluyuran kalau gak ada yang jaga,” ambu mulai menutup pintu, kedua muda-mudi itu hanya mengelilingi kota Malang di pukul delapan pagi.
Beberapa toko masih tutup dan ada pula yang tengah bersiap-siap karena hendak buka, “Kita mau kemana emang? Lo udah nentuin, kan?” celetuk Kala yang tengah menatap pemandangan jalan raya dari berbagai arah.
Raka menganggukkan kepalanya. “Ke toko emas dulu ya,” perkataannya itu membuat Kala mengernyit tidak paham, untuk apa Raka mengunjungi toko emas sepagi ini? Memangnya sudah ada yang menerima pelanggan?
Raka tersenyum kecut seraya menghembuskan napasnya jengah. “Cara ngomong kamu, ubah dulu ya pas selama satu minggu sama aku,” ujar Raka yang bahkan tidak melihat sedikitpun raut muka gadis disampingnya yang kebingungan karena merasa sedikit aneh.
“Tapi, buat apa? Kan—”
“Ya gak suka aja,” potong Raka sambil mulai memarkirkan mobilnya di depan toko emas yang lumayan ramai dan tengah siap-siap untuk buka, pemuda itu menoleh dan menatap Kala dengan singkat.
“Pegangan pas nanti masuk,” ujarnya seraya keluar dari kendaraan beroda empat itu, menunggu sang gadis untuk selesai, kemudian menggandeng lengannya dan menyalurkan sebuah kehangatan di sebuah pagi yang dingin.
Raka mulai melangkah mendekat ke wanita yang sedang mencatat sesuatu di atas kertas kuning. “Permisi mbak saya mau nanya, kalau cincin nikah contohnya gimana aja?” tanya Raka.
KAMU SEDANG MEMBACA
pilau harsa | YANGYANG
Fanfic❛ anak penyakitan harusnya mati agar mengurangi beban keluarga ❜ Aturan pertama adalah jangan menambah beban kedua pundak orang tua, tapi raka iya. mengapa hidup sebagai anak penyakitan sesusah ini? ❝satu minggu tujuh hari, satu minggu seratus enam...