•Bagian Lima•

24 4 2
                                    

a/n: Sebagian part berisi flashback kejadian Putih pulang sekolah dihalte bus yang masih hujan. Biar gak bingung bacanya, aku sengaja gak pake italic ya. Nanti ada kodenya kok.

***
[FLASBACK]

Hujan  deras masih setia menemani kesedihan Putih dihalte bus dekat dengan sekolahnya.

Putih merunduk memeluk lututnya yang kakinya sudah ia naiki sedari tadi. Kedua tangannya sesekali mengusap. Ia butuh jaket, teh hangat, pelukan, usapan.

"Sudahlah, Putih, jangan halu terus," Gumam Putih dalam runduknya.

Ia merogoh saku rok abu-abunya, membenarkan posisi duduknya lalu mengambil benda pipih persegi panjang berwarna hitam. Lalu, gadis itu mencoba menyalakan ponselnya, sayangnya alat komunikasi tersebut lowbet.

Putih menggenggam ponselnya erat, mungkin akan menghancurkannya dalam sekejap.

"Bangsat!" Umpat Putih melempar ponsel itu tak jauh darinya hingga tergeletak digenangan air.

Putih tidak peduli. Yang ia butuhkan sekarang hanyalah perhatian, kasih sayang, seorang kekhawatiran keluarga.

Putih hanya butuh itu.

"Apa mereka gak inget gue sama sekali? Iya gue tau, gue anak nakal. Gue gak mau ikut les privat sama Bang Guntur atau Kak Sarah. Gue gak mau latihan panah sama Ares. Gue gak mau ikut jenjang model kayak Megan. Dan gue gak mau ikut latihan nyanyi sama Puly. Tapi setidaknya, telfon atau jemput gue." Lirih Putih.

"Gue tuh hidup buat apa sih?!"

"Keluarga cuman memfasilitasi gue tanpa ngasih gue kebahagiaan dalam sebuah keluarga. Muni, gue harap kita bisa tuker keluarga,"

"Tuhan masih ngasih kamu nyawa agar kamu menemukan kebahagian kamu sendiri,"

Putih mendongak, lalu kembali merunduk. Tak peduli, mengabaikannya, diam saja. Entah mengapa pemuda itu selalu ada disaaat Putih ada.

"Kenapa masih disini?" Tanya Iqbal sembari ikut duduk disamping Putih.

"Nunggu angkot," jawab Putih bohong. Gadis itu trauma akan angkot.

Setelah mengalami kejadian curi ponsel dan dompet, Putih tak berniat menaiki angkot lagi. Walau, ia tak masalah ponsel dan dompetnya dicuri. Tapi, Jonathan yang selalu bilang, "Jangan menghambur-hamburkan uang!" Ayolah, Puly selalu beli ponsel baru setiap bulan.

"Lo ngupingin gue tadi?" Tanya Putih memastikan.

Iqbal mengangguk jujur.

"Berapa banyak?"

"Hampir semua,"

Putih menghela nafasnya, ia sudah tak peduli jika nanti Iqbal mengolok atau mengejek nya, "Gue gak masalah lo ejek gue nanti. Tapi jangan olok keluarga Seniaraga karena Kakek gue menjunjung tinggi harga diri,"

"Kenapa saya harus mengejek kamu?" Tanya Iqbal tak mengerti.

"Karena lo udah tau kondisi gue sangat menyedihkan,"

Iqbal terkekeh, "Kamu kurang bersyukur aja kali,"

"Bersyukur?"

Iqbal mengangguk mantap, "Iya. Pikir baik baik. Kamu kurang bersyukur,"

"Saya ada urusan lain. Saya pergi dulu," Iqbal melangkah kan kakinya pergi dari halte, menuju mobil hitam yang diparkirkannya tak jauh dari halte.

"Hati hati, Nyonya Seniaraga," ucap Iqbal sebelum masuk kedalam mobilnya lalu berlalu meninggalkan Putih yang masing memikirkan arti kata-kata Iqbal barusan.

Iqbal dan Putih Abu AbuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang