Chapter 7 : Kenyataan Pahit

295 17 8
                                    

Aku masih berada di ruang UGD. Aku sedang menunggu kedatangan orang tuaku. Aku sakit leukemia? Bagaimana bisa? Apakah aku bisa sembuh? Bagaimana perasaaan Mama dan Papa jika tahu penyakitku? Bagaimana jika Jovita tahu penyakitku? Apakah dia akan meninggalkan aku? Pertanyaan itulah yang saat ini ada di pikiranku. Perasaanku hancur begitu mendengar penyakit yang aku derita. Beberapa saat kemudian, papa dan mama datang bersama Dokter Satria.

“Julian, kamu baik-baik saja kan, Sayang? Kok kamu sedih?” tanya mama.

Aku terdiam sejenak. “Julian… sakit, Ma, Pa. Julian sakit leukemia.”

Setelah mendengar pernyataanku mama dan papa kaget.

“Ga mungkin! Julian pasti bohong sama Mama. Kamu bohong kan, Sayang?” tanya mama dengan nada cukup tinggi.

“Apakah yang Julian katakan benar, Dok?” tanya papa.

“Benar, Pak. Julian mengidap penyakit leukemia. Julian harus segera menjalani pengobatan,” jawab Dokter Satria.

Setelah mendengar pernyataan Dokter Satria, mama langsung menangis.

“Ga mungkin! Anak saya pasti baik-baik saja. Dokter bohong kan?” teriak mama tidak percaya.

“Mama tenang ya!” ucap papa sambil merangkul mama. “Apakah Julian bisa sembuh, Dok?”

“Bisa, Pak. Asalkan Julian mau menjalani pengobatan dan mendapat semangat dari Bapak dan Ibu. Julian pasti sembuh,” jawab Dokter Satria.

“Tolong lakukan yang terbaik untuk anak saya,” pinta papa.

“Baik, Pak. Saya akan melakukan yang terbaik. Julian, kita mulai pengobatannya besok ya! Sekarang kamu istirahat dulu. Besok kita mulai kemoterapinya.”

“Baik, Dok,” jawabku.

“Pak, Bu, saya permisi dulu. Mau periksa pasien yang lain.”

Dokter Satria pun meninggalkan ruangan.

“Julian, kamu semangat ya! Kamu pasti sembuh,” ujar papa memberi semangat.

“Iya, Sayang. Kamu kan kuat. Mama yakin kamu pasti sembuh.”

“Makasih, Pa, Ma. Maaf, kalau Julian bikin Mama dan Papa sedih.”

Beberapa saat kemudian, suster datang.

“Selamat siang, Pak, Bu! Apakah pasien Julian mau dipindahkan ke ruang rawat sekarang?”

“Boleh, Sus. Ruang rawatnya saya pilih kelas VIP,” jawab papa.

“Baik, Pak! Kami siapkan dulu ruangannya.”

**

Aku telah dipindahkan ke ruang rawat. Setelah semua urusan rumah sakit selesai, papa pamit pulang untuk mengambil keperluanku selama di rumah sakit. Sedangkan mama tetap menemani aku yang sedang terbaring lemah.

“Julian, kamu sudah makan belum?” tanya mama.

“Belum, Ma. Julian makannya nanti saja. Julian lagi ga nafsu makan,” jawabku.

“Sayang, kamu harus makan biar ada tenaga. Kamu makan ya?” bujuk mama.

“Nanti, Ma,” jawabku.

“Ya sudah, kalau kamu ga mau sekarang. Tapi nanti dimakan ya!”

“Iya.”

Tiba-tiba ponselku berdering. Aku meraih ponselku yang kutaruh di nakas. Aku melihat layar ponselku. Tertera nama Jovita Putri melakukan panggilan telepon. Apakah aku harus mengangkatnya?

“Siapa yang telepon?” tanya mama.

“Hmm, Jovita yang telepon.”

“Kamu angkat dong! Pasti dia khawatir sama kamu.”

“Iya, iya. Aku angkat.”

Aku menggeser tombol hijau pada ponselku.

“Halo, Jovitaku.”

“Julian, bagaimana kondisi kamu sekarang? Sudah mendingan? Kamu sudah di rumah? Besok sekolah?” tanya Jovita panik.

“Aku baik-baik saja. Kamu tidak usah khawatir. Aku masih di rumah sakit. Dokter belum mengizinkan aku pulang.”

“Kamu sakit apa? Kok belum boleh pulang?”

“Aku hanya kelelahan. Butuh istirahat saja.”

“Ya sudah, kamu istirahat ya! Cepat sembuh, Julianku.”

“Makasih, Jovitaku.”

Aku mengakhiri panggilan teleponnya.

“Kamu ga kasih tahu Jovita soal penyakit kamu?” tanya mama.

“Julian belum siap, Ma. Julian takut Jovita sedih.”

“Ya sudah, kalau kamu belum siap. Sekarang makan dulu ya! Biar ada tenaga biar Mama suapin kamu.”

“Iya, iya. Aku makan sekarang.”

Mama mulai menyuapi aku. Aku harus sembuh. Aku tidak mau bikin mama, papa, dan Jovita sedih.

Bersambung...
©2020 By WillsonEP
Ebook Version

Julian & Jovita 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang