CHAPTER 44

314 29 1
                                    

Dimohon untuk vote sebelum membaca, happy reading🎉

_______________

Panggilan- panggilan di belakang terus mengikutinya. Ia harus kemana?

Kini kakinya sudah tidak sanggup berlari, tubuhnya terhuyung di samping trotoar pejalan kaki. Napasnya sudah terasa habis, ia membutuhkan banyak oksigen. Tidak. Jika boleh memilih ia tidak membutuhkan oksigen sama sekali. Ia ingin berhenti saja.

Kehilangan bukan sebuah kabar menyenangkan. Kehilangan akan selamanya. Rasa rindunya tidak dapat terobati dan bohong jika mereka mengatakan ada.

"ASTAGFIRULLAH RA! " pekik laki-laki yang hanya terlihat bayangan dari depan matanya. Pandangannya mengabur dan lekas menghilang setelah ia selesai menarik nafas untuk yang terakhir selama sadar.

Benaya yang mendapati Kinara terkapar saat itu segera membawanya ke rumah sakit dengan segala perasaan khawatir. Suara decitan hospital bed yang bergerak cepat seirama dengan langkah kaki, membawa pasien yang seharusnya tidak ada di tempat dan baik-baik saja.

Lelah mungkin jawaban. Selama ini Kinara tidak pernah lelah untuk memperjuangkan rasa penasarannya. Namun sebuah keadaan memberinya kenyataan bahwa manusia juga butuh istirahat. Beban yang selama ini di pikul tidak selamanya selalu bisa di terima. Kegelisahan semakin terpancar dari dua wanita yang saling menguatkan. Kebohongan yang selama ini dirahasiakan kini mendapat jawaban yang sudah pasti mengecewakan.

Benaya tidak dapat berbuat apa-apa, keputusannya kemarin, ralat, keputusan yang Kinara ikrarkan secara sepihak untuk berhenti. Mengakhiri hubungan yang sebenarnya tidak perlu bermula.

Dua dokter dari ruangan berbeda keluar secara bersamaan. Kini Benaya duduk menunggu kabar dari dua wanita tangguh yang masing-masing masuk kedalam ruangan dokter yang sama berbedanya.

Benaya menatap kedalam ruangan. Kinara masih lelah, terlihat saat wajah itu tidak secerah biasanya. Iya, Kinaranya sudah sadar. Tapi karena sekarang bukan waktu yang tepat untuk masuk, Benaya membiarkan tubuhnya menunggu di luar.

"Ra, Kangennn! " ucapnya pelan sambil menempelkan wajahnya di kaca jendela.

"Ra, kita sembuhin sama-sama ya sakit hatinya? " kata Benaya bertanya. Jelas tidak akan ada jawaban, jarak mereka kini berjauhan. Jauh sekali, sampai semesta sepertinya sudah tidak sudi mempersatukan hati mereka kembali.

Sebuah panggilan menyadarkan, Benaya menoleh kearah dua wanita yang terlihat lebih baik setelah kabar yang di yakini baik berhasil memenangkan pertarungan. Terlepas balasan di waktu yang tepat dari semesta yang selama ini tidak mau berpihak.

"Gimana kondisi Kara, Mam? " tanya Benaya. Mami berjalan mendekati Benaya lalu mengusap bahu Benaya dengan lembut.

"Dia baik-baik saja, Kara hanya dehidrasi akibat kelelahan berlari. " Ilona menyalurkan senyumannya agar Benaya berhenti untuk tidak khawatir.

Benaya mengangguk gugup, dia merasa bersalah.

"Kamu nggak masuk? " tanya Ilona.

"Tidak mam, dia lagi marah sama Bena. Nanti sedihnya kambuh kalau Bena masuk kedalam. " Ilona kembali mengusap bahu Benaya.

Sheya ikut menyahuti, "Pamitan dulu sana! Lo harus segera siapin semuanya kan? "

Dia menggeleng cepat, "Gak bisa di tunda ya? "

"Gak bisa! Demi kebahagiaan Kara juga loh ini. " kata Sheya memperjelas, sengaja Sheya katakan begitu. Kalau tidak Benaya mungkin tidak akan lekas bergegas.

Kakinya berjalan meninggalkan rumah sakit. sebelum itu dia tak lupa menyalimi dan berpamitan kepada Mami dan Sheya. Benaya meminta maaf berkali-kali.

"Jangan kangen lo sama gue! " ucap Benaya di akhir kalimatnya. Sheya dan Ilona menanggapi sambil tertawa.

"Mam bilangin Kara, nanti Bena datang lagi bawa Ayah sama Bunda, "

"Bilang Kara juga hadiahnya udah di simpan di lemari es." jelas Benaya dan lekas beranjak pergi.

🌻🌻🌻🌻🌻

Gadis itu sudah tidak betah berbaring di tempat tidurnya, jarum infus sudah tidak menancap di tangannya, Kinara yang meminta untuk melepaskan semalam. Begitu memakai sandal rumah sakit, Ia buru-buru pergi ke kamar rawat Papinya.

Senyumnya mengembang ceria, kabar baik yang Sheya dan Mami katakan, meredam semua keputusasaan-nya. Kado ulang tahun kali ini sangat indah karena papi mampu melewati masa kritis yang dokter yakini akan mengakhiri hidup di dunia jika saja papi membiarkan semuanya terjadi. Ya, meskipun sejak kemarin belum kunjung sadar, tapi Kinara yakin pasti papi akan segera bangun dan bilang 'Selamat ulang tahun putriku tersayang. Kata dokter papi sudah sembuh. Sel kanker sudah lepas dari tubuh. Negara api sudah tidak menyerang tempat tinggal kita! Kara senang kan mendengarnya? '

"Kara senang kalau papi mau bangun. "

"Beberapa hari yang lalu Kara punya pacar, Pi. Dia tetangga kita yang suka buat Kara sedih, yang suka buat Kara senang, yang suka ajak kak Sheya main PS, yang suka ambil ice cream Kara, yang suka ambil foto Kara, yang suka bawain hadiah aneh, Papi kenal kan sama dia? Kara putusin dia kemarin karena dia hampir bunuh teman Kara. Awalnya Kara cuma menakut-nakuti, tapi dia beneran bonyokin muka Barra. Padahal apa yang Barra bilang gaada salahnya. Kenapa sih papi gak cerita kalau negara api menyerang? Kita kan bisa pakai jurus kemoterapi? Sakit ya pi? Kulit papi terbakar ya makanya gak mau biarin Kara tahu? " pertanyaannya menggantung begitu saja. Suara alat pacu detak jantung stabil memberinya tarikan nafas.

"Pi, Kara kemarin pingsan. Baru pertama sih. Rasanya tuh kayak di gendong Benaya, dia mukanya merah, Pi. Kara tadinya mau ketawain dia, tapi tiba-tiba semuanya jadi gelap. Papi tau gak waktu Kara lari Kara mau pergi kemana? Kara mau cari pantai. Kara mau mati aja waktu itu. Meskipun kenyataannya Kara tahu pantai jauh dari sini. Kara pikir Kara harus cari sungai, supaya hanyut dan arusnya bawa Kara ke pantai. Tapi sungai juga gak ketemu. " Ia menarik satu tarikan napas lagi.

"Papi ayo dong ngobrol sama Kara! Kara bete nih! Mami sama Sheya lagi sibuk sekali, biasanya papi yang paling semangat kalau masalah dekorasi rumah kita. Sekarang Kara tidak ingin apa-apa. Kara sebenarnya nggak mau ulang tahun dulu! Kara mau papi bangun dan kita rayain di tempat kemarin Kara jalan-jalan sama Benaya. Benaya gak mau temenin Kara ke Nusa Penida, Pi. Dia pikir Kara akan melakukan sesuatu yang aneh-aneh. Papi mau gak temenin Kara kesana? " Kinara membiarkan dirinya bermonolog sendiri. Ia sudah mengajak papi berbicara, tapi papi tidak kunjung menemukan suara. Matanya saja tidak mau terbuka, bagaimana dia bisa melanjutnya ceritanya?

Mami dan Sheya sedang sibuk menata apa yang sebetulnya tidak perlu. Persiapan ulang tahunnya mungkin sudah setengah jadi. Dan Kinara tidak bersemangat sama sekali.

Ucapan selamat membanjiri kolom chattingnya. Tidak ada waktu untuk balas satu persatu. Ia mencari nama Benaya, namun tidak ketemu, mustahil jika lelaki itu memberinya ucapan selamat. Selama hidup, tidak ada sejarahnya seorang Benaya mengirim emoticon tiup terompet dan kue yang diatasnya sudah ada lilin menyala.

Meskipun masalah hadiah tidak perlu di tanya, Benaya tidak pernah absen. Bahkan bukan hari ulang tahunnya pun Benaya memberikan kado setidaknya 2 kali dalam sebulan. Entah itu kacamata ungu, pen, correction tape, highlighter , kaos kaki robot, slime, miniatur dinausaurus dan yang paling aneh mobil-mobilan hotwheels berwarna merah muda yang katanya langka. Kado kado itu lebih cocok jika Tezza yang menerimanya.

Sheya datang untuk menjemput Kinara, perdebatan sudah hampir selesai. Sheya yang memenangkan perdebatan kali ini. Dia bilang, untuk menghargai usaha mami yang ingin membuat anaknya bahagia. Kinara sudah bahagia, hei, menerima kabar papi tidak jadi hilang dari bumi sudah lebih dari kebahagiaannya yang lain.

"Nanti Kara kasih potongan kue pertama untuk papi, Kara janji setelah tiup lilin dan potong kue langsung kesini. Papi jangan sedih ya Kara tinggal sebentar? " ia mencium pelipis Papi sangat lama kemudian melambaikan tangannya. Dengan segenap rasa kesalnya Kinara berjalan mendahului Sheya untuk cepat-cepat mengakhiri acara yang sudah tidak menjadi kesukaannya.

________________

Tertanda, Rizkapsptsr💓

BENAYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang