Joohyun menatap bangunan di hadapannya dengan wajah pucat pasi. Dari kiri ke kanan, bangunan itu jelas tidak lebih dari empat meter panjangnya. Cat hijaunya sudah pudar disana sini dan beberapa sisinya seperti habis terkena lemparan bola penuh lumpur.
Pintunya terbuat dari papan biasa bergagang pintu dari besi yang sudah sedikit karatan. Lantainya keramik putih kusam yang tampak lama tidak disapu.
Ada sepasang kursi plastik hijau diteras yang sudah reyot dan seekor kucing buluk tengah tidur pulas diatas salah satu kursi tersebut.
Perempuan itu melambai kepadanya, menyuruhnya segera masuk. Joohyun menelan ludah. Memasuki bangunan itu, perutnya bergejolak. Gejolak yang merupakan campuran rasa takut, cemas dan jijik. Membuatnya menelan ludah berkali-kali.
Tidak banyak ruangan yang ada didalam bangunan ini. Dalam jarak lima langkah dari pintu, Joohyun sudah biasa menghitung berapa jumlahnya. Dua kamar tidur, ruang tamu, kamar mandi, dan ruang makan yang menyambung dengan dapur. Sekali mengedarkan pandangan, khatam sudah dia melihat segala isinya.
Tidak ada desain desain menakjubkan yang membuat bibirnya berdecak. Tidak ada estetika rumit yang membuatnya tercengang cengang. Yang ada justru kesan bahwa bangunan yang disebut rumah ini adalah bangunan yang dibuat tanpa rencana. Bangunan yang asal bisa melindungi dari panas dan hujan.
Ada televisi 21 inci diruang tengah. Kulkas dua pintu diruang makan. Kompor gas satu tungku hasil pembagian gratis dari pemerintah di dapur. Joohyun menelan ludah. Kamar tidurnya tidak lebih dari 2x3 meter yang dijejali dengan satu double springbed dan lemari pakaian.
Joohyun kembali menelan ludah, mengintip kamar mandi yang berada di sebelah dapur, tidak adq bathtub dan shower. Hanya ada bak air dan gayung yang sudah lumutan.
Untuk ketiga kalinya, Joohyun menelan ludah. Namun kali ini kakinya ikut memberi respon, secepat kilat, Joohyun kluar dari bangunan yang mereka sebut rumah itu.
Didepan kucing buluk masih mendengkur , Joohyun mengeluarkan isi perutnya. Bukan karena jijik, melainkan ketakutan yang merayapinya sejak pertama kali menatap pagar rumah yang sudah terkelupas catnya sana sini.
Pijatan lembut dan penuh pengertian terasa ditengkuknya, " Sabar ya nak " kata perempuan itu . " Kita bisa atur atur nanti supaya mendingan dikit " .
Joohyun tidak menjawab. Air mata mulai mengalir dari mata indahmya, bersain dengan muntahnya yang tidak kunjung reda.
Demu tuhan, sebelumnya Joohyun memang berpikir demikian. Joohyun kuat. Joohyun yakin perubahan ini tidak seburuk yang dia pikirkan. Dan jikalau buruk, dia yakin dia akan dengan mudah beradaptasi. Joohyun yakin dia dan ibunya ajan baik baik saja. Namun keyakinan itu runtuh hari ini...
" Walau jelek begini , ini rumah kita ... " ujar ibunya.
(Satu bulan sebelumnya)
Satu ketukan palu terdengar. Hakim membacakan keputusan dengan nada datar, seolah sedang mengabarkan soal ramalan cuaca hari ini. Semua menghela napas.
Tiga ketukan palu terdengar. Ruang sidang hiruk pikuk. Pecah tangisan sana sini yang semakin lama semakin kabur dari telinganya.
Duduk dideretan depan, Joohyun merasa pendengarannya mulai berkurang. Penglihatannya juga mulai mengabur. Atau kesadarannya ? Dipijatnya sekali lagi pertengahan kedua matanya untuk mengurangi pusing yang memberati kepalanya.
Terasa remasan dipundaknya, Joohyun menoleh . Ibunya yang selama sidang duduk disebelahnya, tersenyum tipis.
" Tenang, sayang, tenang.... Semua akan baik baik saja kok "
" Pap... Papa... "
" Pasti ada hikmahnya, Joo. Pasti "
Setelah napas Joohyun mulai dapat diatur, ibunya melepaskan pelukan dan mengajak Joohyun untuk menemui ayahnya yang masih duduk dikursi terdakwa. Joohyun menatap pria paruh baya yanh duduk dengan kedua tangan bertaut dan wajah tertekan.
Joohyun menggeleng, merasa kakinya terlalu lemah untuk berjalan. Kini pria paruh baya yang sedang bersama ibunya itu menatapnya, ada berjuta ekspresi yang berbicara dari kedua mata tua itu.
Rasa bersalah yang mampu menggigit tengkuk Joohyun mendahului ekspresi ekspresi yang lain, ekspresi meminta maaf, ekspresi sesal. Joohyun merasa dadanya sesak. Sesak dengan segala kecewa dan amarah. Melebur menjadi satu dengan kesedihan dan ketidakrelaan akan kehilangan laki laki itu.
Seperti orang linglung, Joohyun tetap terdiam ketika laki laki itu menghampirinya dan memeluknya, seakan ingin mengungkapkan penyesalan mendalam.
Tapi buat apa ? Joohyun bertanya dalam hati. Apa guna sesal mendalam ketika hasil telah disepakati seperti ini ? Inilah akhir dari lima bulan proses pengadilan yang memuakkan.
Ayahnya terbukti melakukan penyelewengan dana, dan hakim memutuskan empat tahum penjara serta ganti rugi sebesar 25 miliar atas kejahatan yang dilakukan ayahnya dan teman teman sekantornya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Broken
FanfictionSebuah awal yang tak pernah kuduga sebelumnya, membawaku kedalam cinta yang juga tak pernah kurasakan sebelumnya 18+ Vrene area, harap membaca deskripsi terlebih dahulu