Part 4

1K 116 13
                                    

Bagi lingkaran seni rupa Indonesia, Victor sudah dikenal sebagai seorang pelukis muda potensial yang beberapa saat lalu lukisannya berhasil tembus sebuah pameran galeri di China. Dia juga diundang untuk berpartisipasi dalam acara bilenial seni rupa bulan Desember nanti di Galeri Nasional.

Namun bagi Joohyun, dia adalah sosok tak ramah yang menjawab teleponnya dengan ogah ogahan ketika gadis itu diminta Seulgi untuk mengingatkan waktu dan tempat wawancara hari ini.

Victor Adrian jarang menikmati aktivitas yang bersinggungan dengan media. Jika bukan karena kepentingan networking dan promosi, Victor enggan berhubungan dengan media. Apalagi majalah yang tidak ada hubungannya dengan pekerjaannya seperti Quarterlife ini.

Jika bukan karena Seulgi adalah temannya ketika kuliah, Victor tidak akan menerima permintaan wawancara.  Dan ketika mengetahui Seulgi hanya mengirimkan jurnalis pemula, yang sama sekali tidak mengerti seni rupa, bahkan tidak paham akan ketepatan waktu,  Victor semakin yakin bahwa majalah nonseni tidak serius memandang bidang yang digelutinya.

Hari ini adalah jadwalnya untuk berbelanja.  Sekali belanja,  Victor bisa menghabiskan jutaan rupiah.  Dia terbiasa dengan segala sesuatu yang berkualitas sempurna. Kanvaspun dia cari yang paling bagus,  tanpa melihat terlebih dahulu harganya.  Selain kanvas,  palet,  cat,  pernis,  kuas dan beberapa alat melukis lain,  Victor juga akan memborong beberapa buku sketsa untuk menampung ide ide ringannya yang sering kali muncul pada saat saat tidak wajar seperti ketika minum kopi dikafe,  menunggu lampu merah untuk menyebrang jalan,  mengantre di supermarket, bahkan mengobrol dengan beberapa kenalan. Ide ide itu harus segera dituangkan, sebelum mengabur dan menghantuinya setiap saat.

Victor sudah mengatur jadwalnya jauh jauh hari untuk kegiatannya yang padata.  Dia akan menemui jurnalis Quarterlife untuk wawancara singkat di Renaissance.  Dari kafe itu,  dia hanya perlu naik angkot satu kali untuk mencapai toko peralatan lukis langganannya. 

Setelah berbelanja keperluan lukis,  Victor akan langsung pulang kerumah sekaligus studio lukisnya,  yang akhir akhir ini selalu ramai oleh mahasiswa mahasiswanya.  Sejak setahun terakhir Victor memang mengajar di Institut Kesenian Jakarta.  Mahasiswa mahasiswanya sering datang ke studionya untuk sekedar berdiskusi ataupun praktik melukis.

Namun jurnalis muda itu mengacaukan kadwalnya. Victor Adrian yang tepat waktu tentu tidak akan memaafkan hal ini.  Victor tidak peduli dikatakan sebagai seniman sombong, pelit bicara dan sedikit menyebalkan selama asalkan prouktivitasnya tidak terganggu.

Tapi hari ini suasana hatinya sedang bagus.  Proses keikutsertaannya dalam bilenial seni rupa nasional berjalan baik.  Maka Victor memutuskan untuk memberikan kesempatan jurnalis itu mewawancarainya.  Ditambah lagi,  otak kecilnya justru sedikit menikmati letupan letupan emosi dari jurnalis belia bermata lebar itu. Sejak melihat gadis itu tersenyum ragu ragu padanya, Victor berencana untuk melakukan keisengan.

Maka wajah belia yang semakin nerengut seiring bertambahnya barang dalam pelukannya itu membuat Victor semakin puas.

Victor memperlakukannya sebagai trolli untuk membawa barang barang yang akan dibelinya.  Tiap kali dia mengambil barang,  diserahkannya kepada Joohyun.  Ketika pelukan tangan Joohyun penuh, tetap saja Victor meletakkan barang dengan hati hati diatas tumpukan belanjaannya.  Lalu Victor berkeliling melihat ini itu, sementara Joohyun mengekor dibelakangnya sambil repot mengatur bawaan.

" Pak, gimana kalau saya ambilkan trolli? "

Tawa Victor nyaris menyembur ketika perempuan dibelakangnya itu bertanya dengan hati hati,  walau nada kesal bukan kepalang terasa jelas disuaranya.  Semakin Joohyun kesal,  semakin Victor senang. Dendamn menunggunya terbalaskan.

BrokenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang