Part 1: Rain in My Heart

1.1K 91 3
                                    

Kota Icetown dihebohkan dengan sebuah berita tentang penemuan seorang remaja laki-laki dalam keadaan kritis di toilet salah satu SMA kota tersebut. Remaja itu dikenali sebagai Revin Anggara, siswa kelas XI IPA 1 dan langsung dibawa ke sebuah rumah sakit untuk mendapatkan penanganan serius.

Terdapat beberapa luka memar dan sayatan kecil di tubuhnya. Pihak berwajib menduga bahwa ini adalah sebuah kasus perundungan antar sesama siswa.

"Vin, apa yang sebenarnya sudah terjadi?"

Seorang remaja laki-laki berwajah mirip dengan Revin mengusap tangannya dengan lembut. Perlu diketahui bahwa sosok tersebut adalah Revan, kakak dari Revin. Tak mengherankan jika mereka memiliki wajah yang cukup mirip. Usia mereka pun hanya terpaut beberapa tahun saja.

Di sisi ranjang lainnya, tertunduk seorang wanita paruh baya yang merupakan ibu mereka. Wanita itu terus menerus tertunduk sedih akan nasib malang yang menimpa anak bungsunya.

Penanganan medis telah dilakukan untuk memulihkan kembali kondisi Revin. Namun sayangnya, Tuhan berkehendak lain. Sepertinya Tuhan sudah tak tega jika membiarkan Revin terus menerus menjadi bahan perundungan.

Malam itu, ditemani suara gemericik hujan kecil, Revin menghembuskan nafas terakhirnya. Ia bahkan tak sempat mengatakan sepatah kata pun kepada ibu dan kakaknya. Walaupun hujan berlangsung di luar ruangan, namun kedua pipi ibu dan kakaknya masih tetap terbasahi oleh air mata.

"Bu, aku tidak bisa menerima ini. Aku ingin membalasnya." Revan histeris dalam kesedihannya. Dalam hatinya masih tersimpan rasa dendam yang begitu dalam.

"Sudah nak, biarkan Revin pergi. Ayah pasti akan menjaganya di atas sana." Sang ibu berusaha untuk menenangkan anak sulungnya itu.

"Tidak bu, izinkan aku untuk membalas ini semua." Revan meyakinkan ibunya.

"Darah harus dibayar dengan darah. Dan kejahatan, harus dibayar dengan teriakan." Lanjut Revan penuh ambisi.

Beberapa hari kemudian, Revan bangun pagi-pagi sekali dan bersiap pergi ke sekolah. Sebenarnya dia sudah lulus pada tahun lalu, namun ia akan kembali ke sekolah untuk menggantikan Revin. Ia memalsukan identitasnya dan menyembunyikan kematian Revin. Ia akan berperan sebagai Revin dan melakukan apa saja yang harus dilakukan sebagai pembalasan atas kematian adiknya itu.

Revan melenggang masuk ke dalam lingkungan sekolah adiknya. Sekolah ini sangat asing baginya, karena dulu ia tak bersekolah disini. Dia bersekolah di SMK yang terletak tak jauh dari sini. Semua murid menatap Revan dengan pandangan aneh, sebagian lainnya terlihat terkejut dengan kedatangannya.

Ia harus pergi ke ruang guru untuk diantarkan ke kelasnya. Dia akan berpura-pura menjadi Revin yang lupa ingatan untuk menutupi identitas aslinya.

Semuanya berjalan lancar sampai tiba waktunya untuk istirahat. Beberapa teman kelasnya mengerubungi Revan dan bertanya tentang apa yang sebenarnya telah terjadi. Revan pun menjelaskan seolah-olah dia adalah Revin.

"Apa kau masih mengingatku?" Ujar salah satu teman sekelasnya.

"Maaf, aku bahkan tidak mengingat siapapun diantara kalian semenjak kejadian itu. Jadi, mari kita berkenalan dari awal lagi."

Hal ini cukup berat untuk dilakukan. Revan harus terus-menerus berpura-pura dan beradaptasi dengan identitas barunya. Namun, ia sudah bersikeras ingin melakukan hal ini.

Di antara keriuhan yang terjadi, ada sebuah tatapan dingin yang datang dari pojok ruangan. Revan menyadari hal itu dan langsung menoleh ke arahnya.

Terlihat seorang remaja laki-laki bernama Bagas menatapnya dengan sangat tajam. Revan dapat merasakan aura kebencian yang terpancar dari matanya. Dia sudah tahu bahwa orang inilah yang sering melakukan hal yang tidak manusiawi terhadap Revin. Mulai saat itu, Revan menyusun sebuah rencana untuk membuat Bagas merasakan apa yang telah dirasakan oleh Revin.

Revan melenggang pergi ke toilet meninggalkan kelas. Bagas bergegas mengikutinya dari belakang.

Revan memandang kosong ke arah bilik toilet yang berada di ujung ruangan. Bilik itu adalah saksi kesengsaraan yang dirasakan Revin di saat-saat terakhir hidupnya. Betapa dingin, gelap dan sunyinya yang dirasakan oleh Revin pada saat itu. Bagas mengepalkan tangannya. Amarahnya begitu menggebu, tak sabar untuk membalas semua yang telah terjadi.

"Kenapa kau melamun? Apa kau masih ingat tempat itu?" Bagas membuyarkan lamunan Revan. Bagas memandanginya dengan tatapan aneh.

"Kalau aku ingat, memangnya kenapa? Apa itu sebuah masalah untukmu?" Revan memajukan langkah mendekati Bagas. Bagas terdiam di tempatnya lalu menghela nafas berat.

"Rasanya mengejutkan setelah mengetahui bahwa kau masih hidup hingga saat ini." Bagas menatap Revan dengan sangat angkuh. Amarah Revan sudah berada di ubun-ubun, namun sekuat tenaga ia menahan itu semua.

"Ya. Rasanya mengejutkan juga jika orang sekejam dirimu masih diberikan kehidupan oleh Tuhan." Balas Revan tak kalah sengit.

"Setidaknya, walaupun hidupmu tidak berguna.. Jangan pernah mengusik seseorang yang lebih layak hidup dibandingkan dirimu." Lanjut Revan sambil memajukan badannya ke arah Bagas. Bagas hanya terdiam. Dia tak tahu bahwa yang ada di depannya ini bukanlah Revin, orang yang selalu ketakutan saat bertemu dengannya.

Setelah berkata seperti itu, Revan pergi ke wastafel untuk mencuci tangannya. Sedangkan Bagas berpura-pura masuk ke dalam toilet agar tidak ketahuan bahwa dia sengaja mengikuti Revan.

Di saat kesempatan itu, Revan bergegas menguncinya di dalam toilet. Hal sama yang pernah dilakukan Bagas terhadap adiknya. Tak lupa, Revan pun mematikan lampu hingga seisi toilet gelap gulita. Berulang kali Bagas berteriak agar ia dibukakan kunci, namun Revan tak menggubrisnya.

"Biarkan dia merasakan bagaimana rasanya terkunci di dalam ruangan sempit, gelap, bau dan sunyi seperti yang pernah ia lakukan terhadap Revin", batin Revan dalam hati.

"Tenang saja, Bagas.. Ini semua hanya permulaan. Aku masih memiliki banyak permainan untuk kita mainkan kedepannya", bisik Revan di bilik toilet tempat Bagas terkunci. Ia pergi meninggalkan tempat menyedihkan itu dengan teriakan Bagas yang terdengar sangat merdu di telinganya. Kejahatan memang harus dibayar dengan teriakan.

.
Bersambung..

SCREAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang