Dedaunan kering yang meninggalkan tangkainya menghujani Revan yang sedang berjalan ke arah pemakaman Revin. Entah kenapa, ia sangat merindukan adiknya itu hari ini.
Saat Revan sampai ke tempat tujuannya, ia melihat ada setangkai bunga mawar putih yang tergeletak di atas batu nisan Revin.
"Apakah ibu baru saja dari sini? Hmm.. Ia pasti sangat merindukanmu, Vin."
Revan bersandar pada batu nisan Revin. Ia membisikkan banyak hal yang telah terjadi semenjak adiknya itu pergi. Tak menunggu berapa lama, batu nisan itu mulai terbasahi oleh tetesan cahaya yang basah dari pelupuk mata Revan. Ya, Revan menangis.
Kau tak harus berubah menjadi anak kecil untuk menangis. Semua makhluk hidup memiliki hak untuk menangis saat ia bersedih. Termasuk sosok setangguh Revan.
Hembusan angin membelai lembut rambutnya yang kini sedang duduk di salah satu bangku taman kota. Ia sedang berusaha menenangkan diri sekaligus mengenang hal yang pernah ia lakukan bersama Revin di tempat ini.
"Kring kring kring.."
Revan sangat hafal dengan suara yang baru saja ia dengar. Suara itu berasal dari tukang es krim langganan Revin. Biasanya, Revin akan segera bergegas menghampiri dan membeli es krim rasa vanilla yang sangat ia sukai.
Revan menghampiri tukang es krim itu, walau biasanya ia tak terlalu menyukai es krim. Ia memesan es krim vanilla seperti yang sering dipesan oleh Revin.
"Vin.. Aku punya es krim vanilla kesukaanmu. Apakah kau ada di sampingku sekarang?" lirih Revan dengan sangat pelan.
Lelehan es krim mulai mengenai tangan Revan. Hembusan angin masih menerpa wajahnya dengan lembut. Revan memejamkan mata, berusaha menghadirkan Revin dalam ingatannya.
"Revin!.."
Dari arah samping, seorang perempuan memanggilnya dengan ceria. Revan mengenalinya sebagai Rina, teman sekelas Revin sekaligus teman sekelasnya di sekolah sekarang.
"Sedang apa kau disini? Apa kau akan membiarkan es krim itu membasahi celanamu?" Rina memandangi es krim Revan yang mulai mencair. Revan dengan refleks melempar es krim tersebut dan membuat Rina terkekeh.
"Sudah, tak apa. Sini, biar ku bantu membersihkannya," Rina mengambil sapu tangan dari tas selempangnya dan membersihkan tangan Revan dari noda es krim.
"T-terima kasih.." Revan tersipu malu, Rina hanya menjawab dengan senyuman yang manis.
"Ri-rina.. Bolehkah aku bertanya sesuatu?" Revan menghela nafasnya dengan berat.
"Tentu. Memangnya kau ingin bertanya apa?"
Revan terdiam sejenak. Sebenarnya ia masih ragu untuk menanyakan hal ini padanya.
"Apa sebelum aku amnesia, kita cukup dekat?"
Rina tertunduk lalu mengangguk dengan pelan. Ia menatap Revan sendu. Matanya mulai berair.
"Apa kau benar-benar tidak ingat semuanya?"
Revan hanya terdiam. Ia tak mampu menjawab pertanyaan yang baru saja dilontarkan Rina.
"Maafkan aku, tapi-.."
"Terkadang, aku meragukan keaslianmu.." Rina memotong penjelasan Revan."Sifatmu sangat berbeda dengan Revin yang dahulu aku kenal," tambah Rina dengan terisak.
"Apa yang sebenarnya terjadi padamu? Tolong jangan bilang bahwa sebenarnya kau bukanlah Revin yang asli," Rina mengepal tangannya, menahan segala perasaan yang sedang bercampur aduk dalam dirinya.
"Me-mengapa kau meragukanku?" Revan tergagap ingin mengelak.
"Ada suatu hal yang tidak kau ketahui,"
"A-apa maksudmu?"