Sejak kejadian foto itu, baik Bagas ataupun Rina selalu saja berusaha untuk menghindari Revan. Hal itu membuat batin Revan geli. Ia merasa berhasil membuat mereka berdua ketakutan dengan ancaman yang diberikannya.
Suatu hari, Bagas tak masuk ke sekolah. Hal itu membuat Revan merasa bosan. Tak ada lagi orang yang bisa ia jahili. Hari itu, ia merasa bahwa waktu berjalan sangat lambat dan sangat membosankan.
Hingga keesokan harinya, Bagas kembali masuk. Namun dengan pakaian bebas, tanpa seragam yang menyelimuti tubuhnya. Ia berdiri dengan tatapan kosong di depan kelasnya. Semua mata tertuju padanya, bertanya-tanya dengan apa yang telah terjadi.
"A-aku ... ingin berpamitan kepada kalian semua," ucap Bagas terbata-bata.
Semua terkejut dengan apa yang diucapkannya. Ini terasa sangat mendadak. Di sisi lain, Revan terdiam dengan perasaan geram. Ia merasa bahwa Bagas ingin menghindar dari kejahatan yang telah ia lakukan terhadap adiknya.
Sebenarnya, Bagas tak ingin berpamitan terlebih dahulu. Namun, pihak sekolah memaksanya melakukan itu untuk formalitas agar terlihat lebih pantas dan sopan.
Setelah Bagas selesai berbicara dan bersalaman dengan semua orang, ia keluar dari kelas. Dari belakang, Revan mengikuti dan berusaha untuk menghentikannya.
"Apa?" tanya Bagas ketika Revan tiba-tiba menarik bahunya di koridor sekolah yang sepi.
Keduanya hanya terdiam setelah itu. Sensasi aneh mulai menyebar di sekeliling mereka.
"Kalau kau tak ingin menjawab, aku akan pergi sekarang."
"Tunggu ..."
Revan mencegah Bagas yang akan berpaling dari hadapannya. Tatapannya sangat tajam sehingga membuat Bagas bergidik.
"Apa kau berpikir dengan pergi menjauh dari sekolah ini, kau akan bebas begitu saja dari semua kesalahanmu?"
Revan terus menatapnya tanpa berkedip. Sejujurnya, ada rasa takut di dalam diri Bagas. Bahkan ia tak mampu untuk membalas perkataan dari Revan.
"A-aku minta maaf ..."
Bagas tertunduk. Ia benar-benar ingin mengakhiri semua ini dan hidup tenang seperti dulu lagi, tanpa Revan yang terus mengusik ketenangannya.
"Cih, apakah semua orang benar-benar berpikir bahwa maaf adalah kata ajaib yang dapat mengembalikan keadaan seperti semula?" hardik Revan kesal.
"Jika iya, suatu hari nanti aku akan membunuhmu dan mengucapkan kata maaf agar aku dapat membunuhmu berkali-kali," lanjut Revan yang langsung membuat Bagas menelan ludah.
Keduanya saling menatap dalam keheningan. Berbagai perasaan mulai mengalun di sekitar mereka.
"Aku ... mau pergi dulu."
Bagas memilih untuk cepat-cepat pergi dari hadapan Revan. Perasaannya sangat aneh jika ia terus-menerus berada di sekitarnya.
"Ya ... sampai jumpa lagi besok, pecundang," lirih Revan tersenyum miring.
Kali ini Revan berpindah ke ruangan kepala sekolah. Ada suatu hal yang ingin ia sampaikan kepada orang nomor satu di sekolahnya itu.
Revan terus menatap tajam ke arah sang penguasa sekolah tanpa berkedip atau gentar sedikit pun. Kepala sekolah itu sudah tak memiliki harga diri di matanya. Dalam pandangan Revan, ia tak lebih dari kerangka tulang berlapis kulit yang hanya mengandung najis dan dosa.
"Maksud kedatanganku kesini, hanyalah untuk menanyakan sesuatu ..."
Revan menggantung kalimatnya. Kepala sekolah sendiri sebenarnya sudah sangat malas jika berurusan dengannya. Tak akan ada kemenangan yang bisa ia raih jika melawan manusia secerdik Revan.