Bagas berjalan begitu tenang di koridor sekolah. Ia bahkan tak peduli dengan bel masuk yang sedari tadi telah berbunyi. Pelajaran terakhir hari ini adalah pendidikan jasmani, pelajaran yang paling Bagas senangi. Sementara Revin, dia sangat payah dalam pelajaran ini.
Bagas tak sabar untuk melihat bagaimana payahnya Revin hari ini. Setidaknya, itu mungkin dapat menghibur dirinya.
Materi hari ini adalah tentang olahraga bola voli. Kelas dibagi menjadi beberapa tim dan berduel untuk memperebutkan nilai tertinggi.
Sepanjang permainan, Revan bermain dengan sangat hebat. Dia mengalahkan semua tim yang berhadapan dengannya. Hal ini membuat guru dan teman-teman sekelasnya terkejut. Selama ini, mereka mengetahui bahwa Revin sangat payah sekali dalam olahraga. Bahkan, tak pernah ada siswa lain yang ingin satu tim dengannya.
Di akhir permainan, ada dua tim yang tersisa untuk memperebutkan peringkat pertama dengan nilai tertinggi. Kedua tim tersebut adalah tim Revan dan Bagas.
"Lucu sekali. Setelah amnesia, kau menjadi sangat hebat dalam pelajaran ini," Bagas mengernyitkan dahinya, namun Revan hanya memandang malas ke arahnya.
"Berhentilah berbicara dan cepat lemparkan bolanya padaku, atau aku yang akan melemparkanmu ke kolam neraka!" ujar Revan tak sabar.
Hal yang membuat Revan tak sabar adalah, dia sudah merencanakan sesuatu untuk mencelakakan Bagas. Itu terbukti saat permainan mulai berlangsung, Revan terus menerus menjadikan Bagas sebagai target pukulan bolanya. Dia tak mengharapkan kemenangan. Dia hanya berharap Bagas kesakitan.
"Hei! Kenapa kau terus-menerus memukul bola ke arahku?!" Bagas melabrak Revan di tengah-tengah permainan, namun segera dipisahkan oleh guru dan teman-temannya.
"Bukan salahku jika kau terus-menerus menghalangiku untuk mencetak skor," jawab Revan dengan santai.
Bagas hendak memukul Revan, namun segera dilerai oleh teman-teman mereka. Guru olahraga akhirnya menghentikan pelajaran dan menyuruh semua siswa untuk bersiap pulang.
Hari ini terasa cukup berat untuk Revan. Ini baru permulaan, namun ia telah menghadapi berbagai situasi yang cukup menyulut amarahnya.
Revan menatap kegelapan malam, seketika ia kembali teringat Revin. Dia bertanya-tanya, apa yang sedang dilakukan Revin malam ini.
"Vin, aku sedang melihat bintang yang sangat cantik dari bawah sini.. Di atas sana, pasti semua bintang itu terlihat lebih cantik bukan?" Revan menutup jendela kamarnya dan bersiap untuk pergi tidur. Dia harap, Tuhan masih membangunkannya esok hari untuk menjalankan pembalasannya.
Matahari tersenyum kepada bumi dengan sinar keemasannya. Revan tersenyum dengan tenang. Sebenarnya, dunia ini cukup indah jika semua orang memiliki akal dan perasaan. Semua orang memang memiliki otak dan hati, namun tidak menjamin bahwa mereka memiliki akal dan perasaan.
Revan berjalan menyusuri koridor, sepertinya ia terlalu awal datang ke sekolah. Ia berjalan malas hingga matanya menangkap sosok Bagas yang sedang menyantap roti isi di salah satu bangku koridor. Revan bergegas menuju ke arahnya dan langsung merampas roti isi yang hendak ia makan. Bagas terkejut dan langsung emosi saat melihat siapa sosok yang telah mengganggu waktu sarapannya.
"Hei, apa yang lakukan?!" Bagas bangkit dari tempat duduknya.
"Haha, apa kau tidak lihat? Aku baru saja merampas menu sarapanmu," Revan sedang berusaha untuk memancing emosinya.
"Apa yang kau rasakan saat aku merampas roti isimu? Kesal?" Revan lalu membanting roti itu ke lantai dan menginjaknya.
"Dan apa yang kau rasakan saat aku menginjak roti isimu seperti ini?" Revan menatap Bagas dengan seringai.
"Kau tahu apa yang ku rasakan saat ini?" tanya Bagas, Revan hanya mengangguk dengan santai.
"Aku sangat ingin membunuhmu!" Bagas langsung mencengkeram kerah seragam Revan, namun dengan cekatan ia bisa melepaskan cengkeraman itu dan berbalik mencekik leher Bagas. Untung pada saat itu, suasana koridor sangat sepi.
"Kau ingin membunuhku hanya karena aku telah merampas dan menginjak roti isimu.." Revan semakin kuat mencekik leher Bagas.
"Menurutmu, bagaimana perasaanku setelah kau merampas kebahagiaanku dan menginjak-injak harga diriku seperti kotoran?" desis Revan dikuasai amarah.
"Lepaskan tanganmu dari leherku!" Bagas mulai memberontak.
"Baiklah, jika itu maumu," Revan pun melepaskan cekikannya dengan sedikit dorongan hingga Bagas tersungkur. Ia berlalu meninggalkan Bagas dengan keadaan hina.
Sepertinya, kejadian itu sangat membekas di ingatan Bagas. Seharian ini tak ada perlawanan yang berarti darinya. Bahkan sampai bel pulang berbunyi pun, ia tetap tak mengusik Revan sedikit pun.
Revan dapat melihat Bagas mengendarai sepeda motornya meninggalkan area sekolah. Ia penasaran, di mana alamat rumahnya. Siapa tahu, dia akan berkunjung suatu hari nanti untuk memberikan 'hadiah' untuk Bagas. Jadi, ia memutuskan untuk mengikuti Bagas.
Setiap liku jalanan yang Bagas lalui ia ikuti dengan penuh hati-hati. Hingga akhirnya ia terdiam di depan gerbang suatu tempat yang tak asing baginya. Itu adalah tempat pemakaman dimana Revin dimakamkan.
.
Bersambung..