Part 2: Beautiful Lie

439 61 0
                                    

Bagas berjalan dengan cepat menembus keramaian koridor. Dia masih tak habis pikir, bagaimana bisa Revin yang selalu gemetar saat melihatnya kini berubah menjadi sangat berani. Dia hanya belum tahu yang sebenarnya. Mungkin sebentar lagi, semua sandiwara ini akan diketahuinya.

Bagas mendorong pintu kelas dengan sangat keras, sampai-sampai seluruh pasang mata teman sekelasnya tertuju kepadanya. Bagas menatap ke seluruh penjuru kelas, namun ia tak menemukan batang hidung seseorang yang telah menguncinya di toilet tadi.

"Kemana Revin?!"

Bagas bertanya dengan nada membentak, membuat seluruh kelas menatap sinis padanya.

"Bisakah kau sedikit lebih tenang? Untuk apa kau mencarinya? Apa kau akan mengurungnya di toilet sampai hampir mati lagi?" hardik salah satu teman sekelasnya.

"Apa yang kau bicarakan?! Aku tidak melakukan itu!" Bagas membantah tuduhan tersebut.

Bagas pergi meninggalkan kelas dengan frustasi. Hidupnya merasa tak tenang karena takut kejahatan yang telah ia lakukan akan terungkap.

Sementara itu di tempat lain, tepatnya di ruang pertemuan sekolah, Revan sedang diinterogasi oleh kepala sekolah dan beberapa staf mengenai suatu hal yang mengganjal di pikiran mereka.

"Revin. Sebenarnya ada yang ingin kami tanyakan kepadamu," kepala sekolah mulai membuka percakapan.

"Salah satu pihak sekolah kemarin berniat untuk menjengukmu ke rumah sakit. Namun, pihak rumah sakit mengatakan bahwa pasien yang bernama Revin Anggara telah meninggal."

Jantung Revan berdegup kencang. Baru sehari ia menyamar, namun pihak sekolah dengan cepat langsung membongkar penyamarannya.

"Yang ingin kami tanyakan adalah.. Apa yang sebenarnya telah terjadi? Apa kau benar-benar Revin yang asli?" Kepala sekolah mulai mendesak Revan dengan rentetan pertanyaan.

Revan menghela napasnya. Dia bingung apakah harus mengakui semuanya sekarang. Dia bahkan belum puas membalaskan dendamnya.

"Setelah kami mencari data siswa milikmu, kami menemukan bahwa kau memiliki seorang kakak laki-laki yang berusia setahun lebih tua darimu bernama Revandi Anggara."

Belum sempat Revan menjawab, salah satu staf tata usaha mulai membeberkan fakta untuk membongkar penyamarannya.

"Berdasarkan beberapa kejanggalan yang ada, kami mencurigai bahwa kau bukanlah Revin."

Deg! Revan tercekat. Matanya terbelalak karena terkejut.

"Selain itu.. Bukankah untuk menyembuhkan luka traumatis, harus membutuhkan waktu yang cukup lama? Namun kami lihat, kau terlihat baik-baik saja. Bahkan tanpa luka satu gores pun," lanjut staf itu.

"Kami juga percaya bahwa pihak rumah sakit pasti tidak akan memalsukan status pasiennya," tambah kepala sekolah yang semakin membuat Revan terdesak.

"Jadi.. Siapa kau sebenarnya?" Kepala sekolah menatap tajam ke arah Revan.

"Ya, kalian memang benar. Revin sudah meninggal. Aku bukanlah Revin," akhirnya Revan membongkar semuanya.

"Untuk apa kau melakukan ini?"

Kepala sekolah terlihat semakin geram. Namun Revan akan selalu memiliki akal untuk tetap bertahan di sekolah ini.

"Untuk apa? Cih. Apa kau akan berdiam diri saat adikmu mati sia-sia karena orang lain?!" Revan dikuasai amarah, tangannya terkepal dengan erat.

"Untuk alasan apapun, pemalsuan identitas tidak bisa dimaafkan.."

"Oh ya? Lalu, apakah kelalaian sekolah yang membuat siswanya mati secara sia-sia bisa dimaafkan?" Revan tersenyum getir.

"Apa maksudmu?" Kepala sekolah mengernyitkan dahinya.

"Maksudku? Baiklah, akan ku jelaskan." Revan bangkit dari tempat duduknya.

"Menurut hasil autopsi, Revin mendapatkan luka memar dan sayatan kecil pada saat jam pelajaran masih berlangsung.." mata Revan mulai berair, membayangkan perihnya penderitaan yang dialami oleh adiknya.

"Apa saja yang dilakukan oleh pihak sekolah sehingga membiarkan adanya perundungan di waktu kegiatan pembelajaran? Bahkan kalian baru akan menjenguk siswa korban perundungan setelah ia mati. Betapa lalainya kalian," Kali ini Revan mulai balik menyerang.

"Bukankah SMA ini merupakan sekolah yang memiliki akreditasi terbaik di provinsi ini?" Tanya Revan dengan nada sedikit mengejek.

"Hmm, bayangkan jika orang-orang mengetahui fakta bahwa sekolah yang menjadi idaman para siswa di luaran sana, merupakan sekolah yang sangat lalai sehingga menyebabkan nyawa seorang siswanya meninggal?" lanjut Revan seperti mengancam.

Pihak sekolah mulai gentar. Mereka tak mungkin merelakan gelar SMA terbaik hancur begitu saja hanya karena masalah ini.

"Nama baik sekolah ini pasti akan sangat jatuh. Sekolah ini tidak akan menjadi idaman lagi di kalangan para siswa. Mungkin, beberapa di antara kalian pun akan ada yang berkunjung ke penjara kota karena lalai dalam mengemban amanahnya."

"Lancang sekali kau!" Kepala sekolah bangkit dan menggebrak meja yang ada di hadapannya. Revan hanya tersenyum penuh kemenangan. Ia lalu mendekat ke arah kepala sekolah dan berkata,

"Jika kau berani sedikit saja untuk mengusik keberadaanku di sekolah ini.." Revan sedikit menggantung kalimatnya.

"Aku pastikan, kau dan semua hal yang berhubungan dengan sekolah ini.. Akan hancur."

Revan berlalu meninggalkan ruangan itu. Sepertinya dia berhasil mengancam pihak sekolah agar tidak berani mengeluarkannya.

Detak jantungnya masih belum stabil, namun kini Revan dihadapkan dengan tersangka perundungan adiknya. Bagas menatap Revan dan langsung menariknya ke tempat yang lebih sepi.

"Kenapa kau membawaku ke tempat ini?!" tanya Revan setelah Bagas melepaskan tangannya di salah satu sudut sekolah yang sunyi.

"Apa yang kau lakukan tadi? Huh!" Bagas hendak menghajar wajahnya, namun Revan dengan cepat menepisnya.

"Ohh, mulai berani ya?! Cihh!" Bagas meludahi wajah Revan. Namun sekuat tenaga Revan menahan amarahnya.

"Sepertinya kau sangat membenciku," ujar Revan dengan menatap tajam.

"Ya! Aku sangat membencimu dan aku sangat ingin menyingkirkanmu dari dunia ini!"

Bagas mendengus, namun Revan semakin mendekatkan tubuh ke arahnya.

"Kau membenciku hanya karena aku menguncimu di toilet pagi tadi, lalu bagaimana menurutmu denganku yang selalu kau perlakukan tidak manusiawi selama ini?!" Revan mengeraskan suaranya.

Bagas hendak menyerangnya lagi, namun dengan mudah ia menepis dan mengunci tubuh Bagas dengan kencang. Bagas melenguh kesakitan, namun hal itu malah membuat batin Revan terhibur. Perlahan, ia mendekatkan bibirnya ke arah telinga Bagas dan berbisik,

"Aku tak peduli jika kau membenciku atau tidak.. Bukankah jika kau membenciku itu malah semakin bagus?" Revan semakin kuat mengunci tubuh Bagas.

"Jika seseorang membenci orang lain, pikirannya akan dihantui oleh orang tersebut. Jadi, aku tak perlu repot-repot untuk mati jika ingin menghantui hidupmu."

Setelah menyelesaikan kalimatnya, Revan mendorong Bagas hingga tersungkur. Ia kemudian pergi berlalu meninggalkan Bagas yang terdiam di tempatnya. Terkejut dengan apa yang telah terjadi kepadanya.

"Ingatlah Revin! Kau tidak akan pernah lebih kuat dariku! Suatu saat kau akan menyesal karena telah berani berurusan denganku!" Bagas berteriak dengan menggila. Ia benar-benar geram.

Teriakan Bagas sekali lagi terdengar sangat merdu di telinga Revan. Ia terkekeh saat Bagas menyebutnya dengan nama Revin. Sepertinya Bagas terlalu bodoh untuk mengetahui penyamaran yang sedang ia lakukan.

.
Bersambung..

SCREAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang