CHAPTER I

100 6 0
                                    

Ini bukan pertama kalinya aku bisa mendengarkan suara detak jantung yang begitu keras. Kedua pasang bola mata itu saling bertemu. Aku berdiri tepat di hadapan orang itu dengan lengannya yang bersandar di bahuku. Aku hampir berada di dalam dekapannya.

"Kamu tidak apa-apa?"

Sepasang bola mata itu bergerak ke sana dan ke mari, memperlihatkan rasa cemasnya, mengecek keadaan orang yang dirangkulnya. Pikiranku kosong. Aku masih memandangnya dalam diam.

"Hei, Sooyeon-ah. Sadarkanlah dirimu."

Aku keluar dari alam bawah sadarku dan mengedipkan mata. Tanpa berpikir panjang aku berpindah tempat ke sebelah kakakku, Beomgyu Oppa.

Aku melangkah keluar dari stasiun kereta dan berjalan berlawanan arah dengan mereka, aku ke kiri dan mereka ke kanan. Mereka adalah kakakku dan dia, Choi Yeonjun.

Banyak sekali kejadian yang tidak disangka terjadi selama kamu hidup. Walaupun kamu sudah bersusah payah merancang kehidupan yang diinginkan. Contoh jelasnya adalah pertemuanku dengan dirinya. Aku tidak pernah menuliskan hal yang berhubungan dengan dirinya dalam daftar mimpi-mimpiku, sekali pun.

...

Hujan lebat mengguyur seluruh titik kota pada hari itu. Payung ini telah melindungiku dari air yang terus mengalir selama perjalanan ke rumah. Dengan hati-hati aku melepaskan sepatuku dan meletakkan alat pelindung diri itu di depan pintu rumah. Ketenangan ini tidak datang berkali-kali di bulan Agustus. Aku memutuskan untuk membuka buku kesukaanku dan duduk di samping jendela, mendengarkan suara rintik yang semakin deras.

"Taruh saja sepatumu di sana."

Aku mengenali suara itu, suara milik kakakku. Sepertinya ia sedang berdialog dengan seseorang. Bukan sesuatu yang mengejutkan bila aku menemukan orang yang tidak aku kenal berada di kamar kakakku. Aku tidak mengenalnya. Namun, aku mengenal suara dan wajah mereka

"Aku akan membasahi rumahmu kalau aku masuk."

Namun, suara itu tampak asing. Apakah kakakku mendatangkan orang baru? Seharusnya ini bukan hal yang aneh. Kakak baru saja keluar dari sekolah lamanya dan berpindah ke sekolah yang baru, sekolah menengah atas seni yang diimpi-impikannya. Sudah seharusnya kakak berkenalan dengan orang-orang baru di sana.

Sepertinya orang-orang di bawah memerlukan bantuanku. Aku menutup buku yang sedang aku baca. Mengambil dua handuk di lemari dan memberikannya kepada mereka.

"Terima kasih."

Kakakku mengambil handuk dari tanganku. Kemudian aku mengulurkan tanganku untuk memberikan handuk kepada orang itu. Ia melihat ke arah aku dan kakak secara bergantian. Ia terlihat bingung. Kemudian ia sedikit menundukkan kepalanya dan mengambilnya dengan canggung.

Ini pertama kalinya aku melihat wajah orang itu. Rambut menutupi kening dan berwarna hitam, hanya memiliki satu lipatan mata (monolid), bibir tebal, telinga ditindik – tiga di kiri dan dua di kanan, dan sedikit lebih tinggi dari kakakku. Parasnya memiliki keunikan sendiri, berbeda dengan paras milik kakak. Sepertinya aku tertangkap basah memperhatikannya terlalu lama. Orang itu baru saja melihat ke arahku.

"Mau minum teh?"

Tipikal pertanyaan yang digunakan oleh pemilik rumah ketika ada tamu yang datang, untuk menjamu, atau mungkin juga sebagai pencair suasana yang canggung ini.

Aku merasakannya, tatapan orang itu masih berada di posisi yang sama. Ia masih menatapku semenjak aku berhenti memperhatikan detail-detail kecilnya.

"Yeonjun tidak suka minum teh, dia hanya suka minum soju."

Senyum jahil kakak muncul ketika ia mengucapkan kalimat itu. Aku sudah tahu. Aku sudah tahu dari nada bicara kakak bahwa itu adalah candaan. Namun sepertinya sebagian kecil dari ucapannya adalah sebuah fakta.

"Hei!"

Orang itu memukul pelan lengan kakak sambil terkekeh ringan. Baru saja aku mendengar suaranya sekali lagi. Kali ini aku mendengarnya dengan lebih jelas. Suara orang itu tidak begitu rendah, tetapi kasar.

Aku diam dan tetap datar sambil menonton gurauan mereka berdua. Siapa yang menyangka seorang Sooyeon yang dikenal memiliki hati yang keras dan dingin ini merasakan detak jantungnya sedikit lebih cepat dengan melihat senyuman kecil yang terbentuk di mulut orang yang baru ia kenal itu. Sepertinya ada yang salah dengan dirinya.

"Kalau begitu aku akan membiarkan oppa yang mempersiapkannya."

Aku meninggalkan mereka berdua terpatung di depan pintu rumah dan berjalan kembali ke kamarku.

"Itu adikmu? Dia sungguh mengeluarkan cold vibes dari dalam dirinya."

"Sooyeon memang seperti itu dengan orang baru. Kau akan melihat diriku dalam dirinya saat mengenalnya lebih dalam."

"Sooyeon? Sangat cocok dengannya..."

Aku mendengar percakapan yang baru saja terjadi. Mereka mulai berbicara ketika aku berada di depan pintu kamarku. Instingku menyuruhku untuk berhenti. Aku berhenti melangkah, berdiri di depan pintu, dan mendengarkan pembicaraan mereka.

Mengapa aku berhenti di depan pintu?

Mengapa aku berhenti di depan pintu?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
My Brother's Friend, Choi YeonjunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang