CHAPTER III

44 6 0
                                    

Matahari sudah berada pada ujungnya, sebentar lagi akan pamit.

Sudah lima jam aku duduk di atas karpet ruang keluarga sambil bersandar di sofa. Kedua ibu jariku tidak berhenti bergerak. Mataku terpaku pada satu pandangan itu. Lagu-lagu yang menemani ketekunanku diputar dan diulang berkali-kali sesuai dengan temanya. Fokusku hanya bisa pecah bila orangtuaku memanggil atau aku perlu melakukan kegiatan yang tidak bisa ditunda, seperti ke toilet dan makan.

Aroma masakan mama sudah masuk ke hidungku. Aku tebak hari ini meja makan akan dipenuhi oleh kimchi jjigae, dan mungkin ayam. Aku baru bisa mencium aroma kimchi dari sini.

Pintu rumah baru saja bersuara. Aku menoleh sedikit untuk melihat siapa yang melangkah masuk. Ternyata bukan papa yang kembali dari supermarket membeli barang yang mama pesan beberapa jam yang lalu. Dua laki-laki bertubuh tinggi, tidak terlalu jauh dari tinggi pintu rumahku, itu lah yang baru saja membuka pintu.

"Oh, sudah pulang? Eomma belum selesai. Tunggu sebentar lagi, ya."

Beomgyu Oppa menjawab mama sedangkan aku kembali fokus ke duniaku sendiri.

Pertanyaan yang sama masih berputar di kepalaku setiap ia datang ke rumah. Diriku ini pengecut, tidak memiliki keberanian sama sekali. Padahal pertanyaan ini adalah pertanyaan biasa, tidak terlalu penting. Aku yakin mama, papa, bahkan semua orang di dunia ini dapat menanyakannya dengan percaya diri dan lantang.

"Game apa itu?"

Orang itu mendekatiku. Ia ikut duduk di atas karpet dan bersandar di sofa, sama sepertiku, duduk tepat di sebelahku dan mendekatkan kepalanya agar permainan yang ada di layar dapat masuk ke dalam pandangannya. Pertanyaan barusan memang khusus untukku. Tidak ada orang di rumah yang sedang bermain game selain diriku.

"Uh...Harvest Moon."

Kedua bola mataku masih tetap memandangi layar saat aku menjawabnya. Tanganku masih bergerak tanpa berhenti sama sekali walaupun fokusku sudah terbagi dua. Sejujurnya, aku merasa sangat senang diajak berbicara olehnya. Namun, aku bertanya-tanya di mana kah kakak. Aku merasa ia tidak akan memulai percakapan denganku bila ada kakak di sini.

"Harvest Moon? Aku pernah mendengarnya dulu."

Tentu kau pernah mendengarnya. Harvest Moon merupakan permainan yang cukup terkenal. Mungkin hampir semua orang yang lahir di akhir abad ke-20 pernah mendengarnya. Jangan pernah singgung aku dengan topik ini. Kau akan bosan mendengarku bercerita berbagai macam hal tentang permainan ini sampai kau tertidur.

"Kau pernah bermain arkade?"

Ia mengubah topiknya karena aku tidak menjawab kalimat sebelumnya. Aku menahan diriku agar tidak berbicara terlalu banyak dengan orang ini, apalagi tentang game kesukaanku. Orang itu telah mengubah posisi duduknya. Ia kembali bersandar di sofa dengan santai sambil melihat ke arah depan.

Arkade? Aku tidak ingat kapan aku terakhir ke sana. Aku selalu menolak ajakan teman-teman sekolahku ketika mereka ingin pergi ke sana beberapa tahun terakhir ini. Mungkin karena ada peringatan dari mama tentang permainan arkade. Mama lah orang pertama yang menganggap permainan itu hanya membuang-buang uang dengan hiburan semata. Permainan di tempat itu menghabiskan lebih banyak uang dibandingkan aku bermain Harvest Moon di rumah. Sepertinya pernyataannya telah tertanam di benakku sejak kecil.

"Pernah. Sekali."

"Seru, bukan. Aku yakin kau menikmatinya."

Aku merasakan ada suatu harapan dari cara ia mengatakannya barusan. Harapan bahwa aku akan menyetujui pendapatnya. Tentu saja. Permainan arkade akan terasa menyenangkan bila aku datang dengan teman-teman dekatku. Perasaan ini tidak bisa didapatkan dengan bermain Harvest Moon sendirian. Selama ini, aku tidak memiliki teman yang juga bermain video game yang sama denganku.

"Aku tidak ingin membuang-buang uang untuk satu kali permainan."

Aku merasa kalimat yang barusan aku ucapkan terlalu dingin. Aku agak merasa bersalah. Orang itu terlihat seperti ingin mendapatkan respon positif dariku sebelumnya dan baru saja aku menghancurkannya. Kelihatannya seperti itu.

"Kalau begitu, ayo kita pergi bersama. Aku akan membayarnya. Bagaimana? Ah... Tapi aku harus ke agensi dengan oppamu hari ini. Jadi, mungkin lain kali."

Fokusku yang tadi terbagi dua kini berhenti sejenak untuk memproses kalimat yang barusan ia lontarkan, yang aku lakukan sekarang hanyalah berpikir. Aku baru saja mendapatkan dua informasi yang memunculkan perasaan yang berbeda. Dari kalimatnya, orang itu baru saja mengajakku untuk pergi bermain arkade. Selain itu, ia juga memberitahu jawaban dari apa yang selama ini aku pertanyakan secara tidak langsung.

"Yeonjun Oppa berada di agensi yang sama?"

Waktu di game tetap berjalan. Aku berhenti menggerakkan console sepenuhnya dan melihat ke arahnya. Aku mengedip satu kali, menandakan aku bertanya karena benar-benar tidak tahu apa pun.

"Oh, kau tidak tahu?"

Orang itu menoleh dan melihat ke arahku sejenak. Ia menaikkan kedua alisnya dan bola matanya sedikit melebar. Ia sedikit terkejut mengetahui aku yang tidak tahu informasi apapun tentang dirinya. Selama ini aku menganggap orang itu hanya teman sekolah kakakku karena mereka mengenakan seragam yang sama. Aku tidak pernah bertanya tentang hal ini.

Pintu rumah kembali terbuka. Aku dan Yeonjun Oppa yang belum menyelesaikan percakapannya kini saling menoleh ke arah pintu rumah. Kali ini papa yang pulang membawa kantong berisi bahan-bahan makanan dan lainnya.

"Waktunya makan."

Lalu, bagaimana dengan arkade? Kami tidak sempat melanjutkan percakapan itu. Aku merasa ini bukan waktu yang tepat untuk bertanya. Kami berlima sedang duduk dan makan bersama di meja ini. Setelah itu, kakak dan orang itu akan langsung pergi ke agensi untuk latihan.

Tidak tahu kenapa, aku tidak pernah berpikir adanya kemungkinan orang itu adalah seorang trainee. Padahal wajah dan proporsi tubuhnya sudah cukup menunjukkannya.

Pada akhirnya ia juga akan menjadi idol, seperti kakakku. Sekarang aku memiliki pertanyaan baru di kepalaku.

Apakah kakak dan dia akan debut bersama?

My Brother's Friend, Choi YeonjunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang