Memasuki bulan Januari musim hujan masih saja melanda. Bukannya tidak ingin mensyukuri atas rahmat yang diberikan Sang Pencipta, tapi terkadang ada hal yang tidak menyenangkan pula yang turut dirasakan. Seperti ini contohnya, ibu baru saja pulang mengantar pesanan kue sejak jam 3 sore tadi, sedangkan sekarang sudah hampir jam 7 malam.
"Ibu sampai kehujanan gini, kalau ibu sakit gimana? Kenapa ibu gak minta tolong ke Azna aja bu." aku membantu ibu melepas jaketnya yang sudah basah.
"Tugas kamu itu belajar. Biar ini jadi urusan ibu."
"Tapi kan bu -- "
"Buatkan ibu teh hangat saja, setelah itu kita makan malam bersama. Tadi ibu sempat mampir untuk membeli makanan. Jangan lupa panggil adikmu, ibu mau ganti baju dulu."
Aku mengangguk patuh saja, ibu memang seperti itu. Sejak kepergian ayah, ibu yang menggantikan posisinya sebagai kepala keluarga juga. Sosok yang kuat, selalu berusaha tegar menghadapi lika-liku kehidupan yang tak selalu indah. Walau terkadang aku pernah melihatnya menangis seorang diri di dalam kamar sambil memandangi foto ayah. Aku tahu cinta di antara mereka begitu besar, hal itu juga yang membuat ibu tidak mau menikah lagi meski ada yang pernah ingin menikahinya.
Aku meletakkan segelas teh panas yang baru saja ku buat di atas meja makan bersamaan dengan ibu yang baru keluar dari kamarnya.
"Biar ibu yang menyiapkan makanannya, kamu panggil adikmu ya."
"Iya bu."
Aku pergi ke kamar Andra, aku membuka pintunya perlahan. Ku lihat dari ambang pintu dia sedang fokus belajar. Seketika aku tersenyum melihat adik laki-lakiku satu ini yang memang terkenal dingin di kelasnya, itu kata salah satu teman perempuannya. Teman perempuan yang berusaha PDKT dengan kakaknya untuk bisa menarik hati Andra lebih tepatnya. Padahal baru saja masuk SMP, dasar remaja.
"Perutnya juga harus diisi, jangan isi otak terus." ucapku duduk di sampingnya.
"Iya kak, bentar lagi." jawabnya tetap fokus dengan buku.
"Ibu udah nunggu kita, udah ayo nanti kan bisa dilanjut lagi."
Aku langsung membereskan semua bukunya yang berserakan di lantai termasuk buku yang ia pegang. Ku lihat dia menatapku seperti ingin kesal. Aku hanya tertawa kecil melihat raut wajahnya lalu ku usap rambutnya.
"Ayo adekku sayang, kita makan ya kakak suapin deh."
"Ya kali kalau masih TK." mematuhi perkataanku, dia berjalan mendahuluiku ke ruang makan.
Ku lihat ibu sudah selesai menyiapkan makanan di atas meja. Ayam bumbu kecap, sayur capcai, dan nasi tentunya. Itu sudah cukup mewah bagi kami. Yang terpenting kami masih diberi kenikmatan untuk makan setiap harinya, walau dengan menu sederhana.
Dentingan sendok dan garpu yang saling beradu menjadi irama ketika kami sibuk dengan makanan masing-masing.
~oOo~
Pukul 20.15
Sudah 4 jam berlalu dia masih terfokuskan dengan permainan yang ada di gadgetnya. Kamar berukuran 4 × 4 meter dengan perpaduan warna putih dan hitam itu semakin membuatnya betah untuk tidak melangkahkan kaki untuk keluar.
Sayangnya hal lain membuatnya langsung menghentikan aktifitasnya itu. Dia berjalan keluar kamar menuruni tangga menuju dapur. 4 jam hanya berselonjor di atas kasur sambil memainkan game di gadget akhirnya membuatnya lapar dan haus.
Ia membuka kulkas dan mengambil sebotol air mineral, dituangnya air itu ke gelas lalu diminumnya hingga habis dua kali pengisian gelas. Lalu ia membuka kembali kulkasnya dan mencari makanan ringan yang dapat mengganjal rasa laparnya. Kenapa tidak makan nasi? Jawabannya, dia tidak selera. Dia tidak pernah makan nasi untuk jam 7 malam ke atas. Ia lebih suka makan roti atau snack. Lelaki itu berjalan ke arah meja makan, menarik salah satu kursi lalu mendudukinya. Segelas air mineral dingin dan beberapa potong kue sudah cukup untuk dia makan malam ini.
Ini sudah menjadi kebiasaan. Malam harinya selalu ia habiskan dengan hal tidak berguna memang. Ayahnya atau Bi Tutik bahkan tidak akan pernah menawarinya untuk makan ketika makan malam sudah tersaji di meja makan. Karena dia tidak akan makan, mereka sudah tahu itu. Terkadang juga malam hari itu hanya ia habiskan di kamar sampai menjelang pagi. Sifat seperti itu yang sangat membuat ayahnya jengkel. Ayahnya sudah tidak mempunyai nasehat apa-apa lagi untuk bisa mengubah dirinya yang 'tidak bermanfaat' itu.
"Ayah sangat bangga sama kamu. Dari kecil kamu memang tidak pernah membuat ayah marah dan jengkel. Kamu selalu membuat ayah selalu bangga atas prestasimu sedari dulu. Kalau ibumu masih hidup pasti dia juga merasakan hal yang sama dengan ayah."
Lelaki itu menghentikan kunyahannya pada sepotong kue terakhir yang masuk dalam mulutnya ketika mendengar suara tersebut. Dia memutuskan untuk mencari dimana ayahnya berada dan apa lagi topik yang dibahas dalam perbincangan dua orang itu kali ini.
"Tidak seperti dia, yang tidak pernah berhenti menguras emosi ayah. Sekarang ayah tidak tahu cara apa lagi yang harus ayah lakukan untuk merubahnya. Terkadang ayah sampai malu karena memiliki anak seperti dia. Sangat berbeda jauh dengan kamu yang terus membuat ayah bangga. Andai ibumu masih hidup, mungkin akan ayah serahkan pada ibumu untuk mengasuhnya. Ayah sudah tidak sanggup lagi."
Masih topik yang sama untuk kesekian kalinya. Perbincangan lewat videocall itu selalu mengangkat topik yang sama meski pada awalnya bukan hal itu yang dibahas. Sang ayah duduk membelakanginya di kursi ruang keluarga. Lelaki itu hanya diam mendengar tiap kata yang dilontarkan pria setengah baya itu pada seseorang yang wajahnya terlihat di layar laptop ayahnya.
Dia kembali melangkah ke dapur untuk meletakkan gelas dan dengan langkah lebarnya ia menaiki tiap anak tangga menuju kamar. Menutup pintu kamarnya dengan kuat hingga menciptakan suara hentakan yang tidak pernah ayahnya dengar. Karena lelaki yang berprofesi sebagai guru di sekolah anaknya itu tidak akan pernah bisa mengerti dirinya, sampai kapanpun tidak akan pernah.
Dia benci mendengar dirinya selalu dibandingkan dengan orang lain, juga benci orang yang selalu membanding-bandingkannya. Ini hidupnya. Dia berhak melakukan apapun yang ia inginkan, tapi kenapa tidak ada seorang pun yang dapat memahami keinginannya itu. Semua terlalu egois baginya. Benar, andai saja ibunya masih hidup. Mungkin hanya dia satu-satunya orang yang dapat memahami dirinya. Satu-satunya orang yang tidak akan membanding-bandingkan dia dengan orang lain.Dia sangat membenci itu. Meski dengan kakaknya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
METANA || Na Jaemin
Novela Juvenil"Boleh ku katakan benar, jika cinta tak pernah memandang apapun, termasuk usia." Alkana adalah seorang pria yang begitu dingin dan keras kepala, tidak hanya itu hatinya juga terikut keras manakala Sang Ayah tidak bisa berlaku adil antara dirinya dan...