"Keinginan dalam meraih sesuatu yang positif. Keinginan untuk mewujudkannya. Yang dibutuhkan sejak saat ini yaitu niat."
Kamis, seluruh siswa membentuk barisan dengan rapih, dua baris siswi dan satu baris siswa, tersusun berdasarkan kelas di lapangan upacara.
"Setiap orang dilahirkan dengan beragam kemampuan. Tidak ada orang bodoh, yang ada hanya kemalasan yang tengah membelenggu mereka sehingga mengakibatkan orang tersebut enggan melakukan suatu aktivitas untuk menambah atau mengembangkan passionnya. Alhasil, mereka merasa tidak memiliki kemampuan yang istimewa pada dirinya."
Kamis, awal pagi yang selalu diawali dengan kegiatan para siswa. Sebanyak 5 orang siswa yang ditentukan secara acak oleh kepengurusan OSIS diberi waktu 8 menit untuk berpidato di depan barisan para siswa yang lain dengan tema yang sudah ditentukan.
"Hal lain yang mampu memotivasi diri kita untuk tidak mudah menyerah terhadap impian, menurut saya banyak-banyak mengingat orang yang kalian sayang atau cintai. Paling utama orang tua. Tujukan semua impian kita untuk membuat bangga dan bahagia orang tua, dengan demikian semoga Tuhan memberi kemudahan pada setiap langkah dan proses yang kita lalui dalam menggapai impian kita."
Azna berpidato membawakan tema tentang impian. Semua mata menatapnya dengan serius. Entah yang menjadi fokus mereka adalah isi pidato Azna atau pergerakan tubuh Azna.
"Sekian yang dapat—"
Azna memejamkan kedua matanya sekejap. Berharap rasa pusing yang melanda kepalanya hilang.
"Saya sampaikan, kurang lebih saya—"
Ini jelas bukan drama. Bukan adegan yang disengaja untuk menarik perhatian. Melainkan ini sungguh Azna yang tiba-tiba pingsan sebelum tuntas menutup pidatonya. Tak kuasa menahan pusing yang mendera kepalanya sejak ia bangun tidur melaksanakan sholat subuh. Wajahnya juga tampak pucat. Beberapa teman kelasnya berlari mendekati Azna yang tergeletak di depan, tempat Azna berpidato.
Gilang dan dua orang temannya langsung membopong tubuh Azna ke UKS. Semua siswa yang berbaris di lapangan dan menyaksikan kejadian itu tak kalah terkejut kemudian saling melontarkan pertanyaan terkait penyebab Azna pingsan. Termasuk sepasang mata itu. Sepasang mata dari barisan siswa kelas X Mipa-1 yang fokus menatap Azna berpidato. Sepasang mata yang sedikit menyadari adanya hal yang lain dari wajah Azna. Sepasang mata yang menyipit bingung, ketika melihat Azna beberapa kali mengusap dahi dan pelipisnya. Serta sepasang mata yang melebar ketika pada akhirnya menyaksikan tubuh Azna ambruk di depan sana.
Alka tak mampu berbuat apa-apa. Sepasang matanya melihat Gilang dan beberapa siswa lain yang dengan gesit membopong tubuh Azna. Suara seorang guru laki-laki kemudian terdengar mencoba menenangkan kebisingan yang terjadi. Kemudian berganti siswa lain mengambil alih waktu dan perhatian para siswa di barisan, dengan pidatonya.
~oOo~
Kurang lebih setengah atau satu jam usai adzan Dzuhur berkumandang, sebagian masyarakat di daerah ini sudah hapal jika awan hitam yang tampak menggantung berat di langit akan segera menjatuhkan tetes demi tetes air dengan kecepatan tinggi dan jumlah yang banyak. Seperti itu yang selalu terjadi pada musim hujan dan seringnya akan berhenti di atas jam tujuh malam. Kami bukan peramal, hanya terlalu hafal dengan kondisi alam yang terjadi.
Usai melipat sajadah, ku masukkan ke dalam lemari di sudut ruangan yang dikhususkan untuk menyimpan sajadah dan mukenah bagi warga sekitar atau masyarakat umum yang hendak sholat di masjid tersebut. Sedari tadi, aku merasa tidak sendirian di dalam masjid ini. Ku lihat dari celah-celah kain pembatas yang menyekat antara ruang sholat untuk laki-laki dan perempuan, ada seorang pria dengan seragam yang sama denganku tengah menunaikan Sholat Dzuhur. Wajahnya tidak begitu jelas, karena terhalang kain pembatas yang tinggi dan celahnya juga tidak terlalu lebar.
KAMU SEDANG MEMBACA
METANA || Na Jaemin
Fiksi Remaja"Boleh ku katakan benar, jika cinta tak pernah memandang apapun, termasuk usia." Alkana adalah seorang pria yang begitu dingin dan keras kepala, tidak hanya itu hatinya juga terikut keras manakala Sang Ayah tidak bisa berlaku adil antara dirinya dan...