1

102 21 0
                                    

Bermodal nekat dan uang tabungan yang tidak seberapa, Sooyoung pergi ke Jerman. Lebih tepatnya Berlin, dimana Kevin, temannya yang merupakan siswa pertukaran pelajar tinggal. Beruntung masa berlaku parportnya masih ada.

Kevin adalah orang keturunan Cina yang tinggal di Jerman. Selama satu tahun Kevin di Korea sebagai siswa pertukaran, mereka menjadi sahabat baik. Selain karena Kevin adalah orang yang menyenangkan, mereka memiliki ketertarikan yang sama akan dunia arsitektur.

Kevin banyak menceritakan keindahan bangunan di Jerman, membuat Sooyoung bertekad kuat untuk melanjutkan pendidikannya di Negeri Hitler itu. Sooyoung mulai belajar keras untuk memperbaiki nilai-nilai akademiknya dan belajar bahasa Jerman yang terkenal paling susah dipelajari. Tapi berkat Kevin, semua berjalan lancar.

Hubungan Sooyoung dengan Kevin hanyalah sahabat. Meski banyak teman-teman di sekolah salah paham atas kedekatan mereka. Tapi, dengan—terlalu— jelas Kevin menegaskan jika Sooyoung bukanlah tipenya. Tersinggung, tapi Sooyoung tidak marah karena ia juga tidak bisa membayangkan apa jadinya jika ia menghabiskan sisa umurnya dengan laki-laki itu.

Sooyoung kira kehidupannya di Berlin akan sangat sulit karena uang yang dibawanya tidaklah seberapa. Bahkan ia harus kembali ke Korea beberapa kali untuk mengurus kepindahannya dari universitas, membuat tabungannya bertahun-tahun habis hanya dalam waktu satu minggu.

Selama di ibukota Jerman itu, Sooyoung tinggal bersama Kevin. Mereka membagi dua biaya sewa flat kecil di dekat kampus. Ia bekerja di café milik Paman Kevin yang sangat baik. Bahkan gaji yang diterimanya cukup besar untuk kebutuhan sehari-hari. Sedangkan untuk biaya kuliah, Sooyoung tidak perlu khawatir karena ia berhasil mendapat beasiswa penuh di TU Berlin.

"Joy, ada kiriman untukmu."

Dengan raut bingung, Sooyoung menerima kotak itu, "Dari siapa?"

Kevin mengedikkan bahun, "Penggemarmu mungkin. Aku hanya menerimanya dari kurir."

"Ponsel?" Sooyoung terkejut melihatnya. Pasalnya, itu adalah keluaran terbaru dari merek ponselnya yang telah ia jual dulu. Sooyoung ingin sekali mendapatkan ponselnya lagi, tapi tabungannya belum cukup.

"Wah! Bukankah kau sangat menginginkan ponsel itu?"

"Tapi ini dari siapa?"

"Anggap saja dari penggemarmu." Kevin berujar santai, "lagipula di alamat ini tertera jelas untukmu."

Sooyoung menimang sesaat. Selama ini ia tidak merasa tidak punya penggemar apalagi sampai memberikan hadiah mahal seperti ini, "Ada ucapannya." Sooyoung segera membuka sebuah kertas yang terselip di kotak itu.

"Apa tulisannya?"

'Selamat atas kelulusanmu.'

"Itu berbahasa Korea. Apa penggemarmu berasal dari negara yang sama denganmu?"

Sooyoung menggeleng.

"Sudahlah, jangan dipirkan. Jual saja ponsel lamamu untuk membeli baju baru."

Sooyoung mengangguk setuju. Minggu depan ia akan memulai pekerjaannya dan ia membutuhkan baju baru, "Kau benar."

.

.

Sooyoung benar-benar merasa hidupnya berjalan dengan—terlalu— mudah. Sebelum lulus kuliah, ia sudah ditawari pekerjaan di sebuah perusahaan besar di Jerman. Lalu setelah dua tahun bekerja, ia mendapat posisi sebagi asisten manajer departemannya. Hingga sekarang ia telah memiliki apartemennya sendiri.

Daripada dipikirkan, tentunya semua iu harus disyukuri, bukan?

Usianya 29 tahun sekarang. Itu artinya sudah 8 tahun ia pergi. Mimpinya—bisa dibilang— sudah tercapai. Ia sudah menjadi arsitek handal, pendidikan masternya juga sudah selesai bulan lalu. Tapi tetap saja ada yang mengganjal. Ia mulai merindukan keluarganya dan tempat kelahirannya, dan juga ia merasa hatinya kosong. Sooyoung kesepian tanpa adanya cinta yang mengisi hati.

'Maaf tidak bisa menemanimu. Aku ada kencan dengan Michele.'

Pesan singkat dari Kevin kembali menurunkan suasana hati Sooyoung. Ini weekend dan semua teman-teman kantornya sibuk dengan kencan mereka.

"Kau harus mencoba berkencan, Joy. Jangan hanya berdiam di apartemen setiap libur."

Banyak teman-temannya merencanakan kencan buta, tapi Sooyoung selalu menolak. Ia merasa tidak tertarik pada siapapun saat ini. Rasa bersalah atas apa yang ia lakukan delapan tahun lalu masih saja ada.

Sooyoung memang tidak berpikir panjang saat memutuskan untuk pergi. Begitu sampai di Berlin, baru terpikirkan bagaimana malunya calon pasangan dan keluarganya dulu. Apa mereka membenci Sooyoung sekarang? Tapi jika pernikahan itu benar terjadi, Sooyoung juga tidak yakin dirinya bisa bertahan.

Drrt~

Sooyoung membuka pesan baru di ponselnya dengan malas.

Nomor tidak dikenal, dan itu berasal dari Korea. Siapa yang mengiriminya pesan?

Dengan jantung yang berdebar kencang—entahlah Sooyoung tidak tahu kenapa ia gugup. Tidak mungkin calon pasangannya dulu kan? Darimana dia tahu nomor Sooyoung?

Oh, Sooyoung. Apa yang baru saja kau pikirkan? Kenapa bisa mengira yang mengirim pesan adalah laki-laki itu?

Kalau bukan, mungkinkah ayahnya?

'Akhirnya aku menemukanmu, Park Sooyoung. Jangan coba-coba kabur lagi.'

Seketika Sooyoung merasa lemas. Ia takut. Siapa yang mengiriminya pesan seperti itu dan apa maksudnya?

Disaat seperti ini Sooyoung sangat mengharapkan Kevin tiba-tiba kehilangan nafsu bersama Michele dan datang ke apartemennya.

.

.

Setelah semalaman dihantui ketakutan dan pikiran-pikiran negatif tentang orang yang mengiriminya pesan, Minggu siang ini Sooyoung mati-matian menahan amarahnya.

"Jung Jaehyun!"

Pagi tadi nomor itu menghubungi Sooyoung lagi dan memintanya datang ke sebuah café dekat apartemen. Dan lihatlah, siapa yang tengah tersenyum lebar dengan lambaian tangan menyebalkan di ujung sana.

"Kau tidak merindukanku, Noona Cantik?" Jaehyun merentangkan tangannya lebar-lebar dengan senyuman di wajah, meminta sebuah pelukan. "jahat sekali." Menyadari Sooyoung tidak akan melakukannya, Jaehyun berubah muram dan kembali duduk.

"Sialan kau Jung."

"Apa itu kalimat rindumu pada sepupumu yang tidak kau temui bertahun-tahun?"

Sooyoung mendengus, "Aku tidak akan mengumpat kalau kau tidak mengirimiku pesan seperti itu kemarin."

"Pesan seperti apa?" Jaehyun mengernyitkan dahinya, "kau tidak berpikir aku calon pasanganmu dulu, kan Noona?" tebak Jaehyun dengan seringaian di wajahnya.

"Mantan, Jung Jaehyun."

"By the way, aku mengenal laki-laki itu. Kau tidak tertarik mendengar kabarnya sekarang?"

"Tidak, terima kasih." Ketus Sooyoung. Ia kehilangan mood berbicara. Tidak bisakah mereka membahas yang lain? Bahkan Sooyoung tidak lagi mengingat wajah laki-laki itu seperti apa. Namanya saja tidak ingat.

"Jika kau mau 'melihat'nya sedikit saja, aku jamin kau akan menyesal, Noona."

"Apa ini yang pertama kali kau bicarakan pada sepupumu yang tidak kau temui bertahun-tahun?"

"Kau membalikkan kalimatku," kini Jaehyun yang mendengus, "bukan aku yang tidak menemuimu, tapi kau yang mengasingkan diri entah kemana."

"Bisa hentikan pembahasan tidak penting ini?" karena pesan dari Jaehyun semalam, Sooyoung sama sekali tidak bisa makan atau melakukan hal lainnya dengan tenang. Dan setelah mengetahui pesan itu hanya kejahilan sepupunya, Sooyoung merasa sangat lapar, "pesankan aku makanan."

...

Don't You Know?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang