Bohong jika Sooyoung merasa baik-baik saja setelah pertemuannya dengan Sehun tempo hari. Bahkan sampai sekarang ia masih bisa merasakan sakitnya. Sooyoung tahu jika ia bersalah. Tapi haruskah Sehun membalasnya sekejam itu?
Ingin sekali Sooyoung kabur, pergi ke tempat yang hanya ada dirinya untuk dapat memulai kehidupan baru. Ingin ia melupakan Sehun yang jelas-jelas tidak menyukainya.
Tapi kenapa ia masih disini sekarang?
"Park Sooyoung berhenti mengikutiku!"
Nyatanya Sooyoung masih begitu penasaran pada sosok masa lalu yang—menurutnya— pernah mengisi hati Sehun. Atau mungkin masih? Berpisah bukan berarti tidak lagi mencintai, bukan?
"Direktur. Ini sudah bukan lagi jam kerja. Jadi, kau bisa kan menjawab pertanyaanku?" Sooyoung meletakkan sekaleng kopi yang baru saja dibelinya di meja Seungwan. Seharian—setiap hari— ia menunggu waktu ini. Karena di jam kerja Seungwan selalu beralasan dengan kata 'profesional'.
"Pertanyaan yang mana?"
Entah berapa kali Sooyoung telah mengulang pertanyaan yang sama pada atasannya itu. Ingin rasanya ia berteriak, sayangnya disini ialah yang butuh, "Tentang Direktur Oh?"
Seungwan bersandar lelah di kursinya, "Astaga, ini sudah satu minggu dan kau masih memikirkannya? Kenapa kau tidak tanya yang lain?"
"Aku lebih percaya padamu?" Sooyoung mengedikkan bahu. Kebanyakan karyawan yang dikenalnya belum bekerja lama di perusahaan. Jadi mereka tidak banyak tahu.
"Kau ingin tahu status Sehun sebenarnya? Ya. Dia pernah menikah dan bercerai."
Apa Sooyoung merasa sakit? Entahlah. Yang jelas sesuatu seperti ribuan jarum kecil menusuk hatinya. Lagipula, salahnya juga yang kabur dari Sehun saat itu. "Siapa mantan istrinya?"
"Sooyoung-ssi. Tidakkah itu terlalu jauh untukmu?"
"Aku?" Sooyoung menunjuk dirinya sendiri, tidak mengerti dengan ucapan Seungwan.
"Apa kau begitu menyukai Sehun?"
"Ya." Kepala Sooyoung menunduk, "dan aku juga merasa bersalah karena kejadian masa lalu." Ia tidak bisa lagi menahan tatapan bersalah di kedua matanya.
"Setelah mengetahui mantan istri Sehun, apa yang akan kau lakukan?"
"Aku?"
Seungwan mendengus, "Bukankah kau lulusan terbaik TU Berlin? Kenapa otakmu begitu lambat?"
"Aku tidak tahu." Sooyoung menggeleng, "dia saja tidak mau bertemu denganku sampai sekarang."
"Bukannya tidak mau. Dia memang sedang sibuk, Sooyoung. satu minggu lagi rapat direksi dan dia termasuk aku akan sangat sibuk." Seungwan berdiri, kedua tangannya menepuk pundak Sooyoung.
"Jadi kami tidak pernah bertemu bukan karena dia menghindar?"
"Percaya diri sekali kau." Sarkas Seungwan. Ia hendak megambil tasnya sebelum suara Sooyoung kembali menginterupsi.
"Direktur."
"Apa? Masih penasaran siapa mantan istrinya Sehun?" sebelah alisnya terangkat.
Sooyoung mengangguk sementara Seungwan memejamkan matanya, "Kami menikah tiga tahun lalu dan berpisah satu tahun kemudian."
"Kalian? Jadi kau?"
"Ya. Apa yang kau pikirkan itu benar Park Sooyoung."
.
.
Sudah tengah malam dan Sooyoung masih termenung dibalik meja kerjanya. Semua temannya sudah pulang, hanya tersisa dirinya di departemen desain itu.
Pikiran tentang Seungwan yang pernah menikah dengan Sehun sungguh mengganggunya. Meski atasannya itu sudah memastikan jika tidak ada lagi perasaan di antara mereka, tapi tetap saja. Bertahun-tahun mereka bekerja di kantor yang sama dan bertemu hampir setiap hari. Mungkinkah tidak ada perasaan seperti 'itu' lagi?
"Kopi?"
Sooyoung mendongak. Matanya terbelalak mendapati Sehun yang bersandar di mejanya. Penampilan laki-laki itu sedikit berantakan dengan kemeja kusut yang lengannya digulung sampai siku. Rambutnya juga berantakan, tapi sialnya laki-laki itu tetap saja terlampau menawan.
"Belum pulang?"
Tidak tahu harus menjawab apa, Sooyoung hanya menggeleng. Kepalanya menunduk, tidak berani menatap manik hitam laki-laki di sampingnya. Jantungnya berdebar sangat cepat dengan keberadaan Sehun yang begitu dekat sekarang.
"Seungwan banyak mengeluh tentangmu."
Sooyoung membeku. Apa itu artinya mereka masih berhubungan?
"Apa yang kau pikirkan?"
Sekali lagi Sooyoung hanya menggeleng. Ia merasa begitu kecil di dekat Sehun sekarang.
"Jika itu tentang hubunganku dengan Seungwan, itu tidak seperti yang kau pikirkan."
Sooyoung semakin tidak mengerti. Sebenarnya apa maksud Sehun?
"Sooyoung-ssi, apa yang membuatmu pergi saat itu?"
Sooyoung menoleh dan Sehun menatap tepat di matanya, "Aku, hanya belum siap."
"Jika itu alasanmu, aku pun sama."
Cukup. Berhenti. Sooyoung sudah tidak tahan lagi. Ia tidak mengerti apa maksud Sehun dari semua ini. Dan kata-kata Sehun sungguh menyudutkannya.
"Sooyoung-ssi."
Tubuh Sooyoung mengegang saat tangan besar Sehun menyentuh bahunya.
"Tidakkah kau mau bertanggungjawab."
Sooyoung hanya diam, menunggu Sehun menyelesaikan kalimatnya.
"Dua bulan bukan waktu yang sebentar. Kau selalu muncul dihadapanku, menggangguku dengan berbagai perhatianmu. Kau selalu mengatakan suka padaku. Tidakkah menurutmu itu mempengaruhiku?"
"Apa maksudmu?" kalimat pertama yang Sooyoung serukan. Ia menatap Sehun dengan dahi mengernyit tidak mengerti. Sehun terlalu berbelit-belit.
"Luka delapan tahun lalu memang menyakitkan. Tapi lebih menyakitkan lagi jika kau menyerah sekarang." Sehun mengambil sebelah tangan Sooyoung, menggenggamnya diantara kedua tangan, "jangan berhenti menyukaiku. Buat aku yakin dengan perasaanku."
"Aku, tidak mengerti."
"Ayo kita mulai semuanya dari awal. Sebagai Oh Sehun dan Park Sooyoung yang baru bertemu lima bulan lalu."
Ini sudah larut malam dan Sooyoung sempat berpikir jika dirinya hanyalah bermimpi. Mungkin saja bukan, jika ia tertidur di ruangannya dan memimpikan Sehun karena terlalu banyak memikirkan laki-laki itu.
"Park Sooyoung, saranghae."
END
KAMU SEDANG MEMBACA
Don't You Know?
Fanfiction[SEHUN X JOY] Sooyoung kabur di hari pernikahannya. Dia pergi ke Jerman untuk mewujudkan mimpinya sebagai arsitek, yang selalu ditentang oleh sang ayah. Delapan tahun mengasingkan diri di negeri orang, Sooyoung kembali ke Korea untuk menghadiri per...