0.6

286 34 3
                                    

Sejak hari dimana gue mengungkapkan kalau gue suka Seulgi, perempuan itu terlihat semakin membuka diri.

Pernah saat tengah malam, Seulgi menelepon dan menangis seperti orang gila. Gue sudah akan otw kalau saja dia nggak bilang alasannya adalah tugas kuliah yang semakin menggunung sementara deadline akan datang.

Yaudah gue nggak bisa apa-apa, mau bantuin juga gue anak teknik, mana nyambung sih sama medis. Jatohnya malah malpraktik, bos.

Jadi gue hanya mendengarkan dia dengan seksama dan sedikit memberi quotes-quotes membangun –yang tentu saja gue contek dari buku harian Bang Jae. Setidaknya gue bisa memberikan waktu gue yang biasanya gue pake buat hobi gue –tidur- untuk Seulgi.

Setelah acara menangis tengah malam itu, gue ngajak Seulgi jalan dan nonton, maksudnya tuh sekalian melepas penat, biar dia nggak galau-galau lagi. Bersyukur, dia mau. Meski dengan catatan : harus berkunjung ke toko buku.

Dan berakhirlah kita seperti sekarang, mencari tempat makan untuk menunggu film yang baru akan dimulai sekitar satu setengah jam lagi.

“Disana ada yang kosong tuh, gi” gue menggandeng tangan egi. Sedang Seulgi hanya diam dan menurut.

“Bri, aku mau ke kamar mandi dulu, ya” katanya setelah kita berdua akan duduk. Gue mengangguk, tangannya kemudian menyerahkan tote bag-nya “titip” lanjut Seulgi.

Setelah raganya terlihat menjauh, gue memutuskan untuk bermain game. Sebuah telapak tangan kemudian menutup layar handphone, membuat gue nggak focus dan akhirnya kalah. Gue sudah akan menyemprot sang empu dengan kalimat jahat, tapi sebelum niat itu terlakasana, gue mendapati wajah tak asing yang sudah lama nggak gue temui.

“Aya?” pekik gue.

Perempuan berambut panjang dengan warna coklat itu tertawa, ia kemudian menarik kursi dan duduk di depan gue.

"hei, Brian?” Aya mengulurkan tangan yang kemudian gue sambut.

“Lama banget gila nggak ketemu, lo dari mana aja?”

“gue kuliah di Jerman, ini baru bisa pulang soalnya liburan. Apa kabar lo?”

“baik-baik. Ya ampun. Pantesan aja lo nggak pernah muncul pas reuni”

Percakapan asik gue dan Aya tanpa gue tau dilihat oleh Seulgi. Ia kemudian berjalan  dengan cepat dan duduk di samping gue. Kehadirannya yang tiba-tiba membuat gue dan Aya terdiam. Kaget. Sedang Seulgi hanya focus mengutak-atik handphonenya dan mengacuhkan gue.

“Gi, ini kenalin Aya, temen SMA gue” gue berusaha untuk membubarkan kekakuan antara Aya dan Egi dengan memperkenalkan mereka berdua.

Entah kenapa setelah Egi datang tuh auranya berubah menjadi seperti kamar yang kulkasnya bocor, dingin boy. 

Mata gue memberi kode, Aya yang mengerti segera mengulurkan tangan.
“Halo, Aku Aya..”

Seulgi menjabat tangan Aya cepat, “Aku Seulgi, pacar Brian”

Mendengar kalimat Seulgi, gue refleks menoleh, menatap kedua mata indah Seulgi. Ini gue apa nggak salah denger?

Seulgi yang terlihat sedikit kikuk kemudian bangkit dari duduknya dan segera pergi. Gue yang bingung harus bersikap bagaimana langsung pamit kepada Aya dan segera berlari menyusul Seulgi.

“Ay, gue nyusul cewek gue dulu ya, sampe ketemu lagi” gue sedikit teriak sambil melambaikan tangan. Dan dibalas Aya dengan senyuman.

Langkah Seulgi memang cepat, tapi akhirnya bisa gue susul. Setelah posisi gue sejajar dengan Seulgi, gue cuma bisa diam. Soalnya katanya, kalau cewek badmood jangan sampai salah langkah. Bisa-bisa akan muncul perang dunia ketiga.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 03, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Moonlight [•brianseulgi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang