Langit yang sudah mulai berubah warna menjadi alasan gue dan Seulgi pamit dari panti. Setelah berjanji akan datang lagi untuk datang minggu depan kepada bu Indah dan anak-anak.
Kini, gue dan seulgi sudah dalam setengah perjalanan. Gue masih saja mencuri pandang kepada Seulgi yang menghembuskan napas panjang dan lega setelah tadi mematikan panggilan dengan Wira. Perlahan, perempuan itu mengulumkan senyum tipis. Membuatnya terlihat semakin cantik sekali. Tanpa sadar, gue ikutan tersenyum juga. Gitu ya, when you love someone, So much that it overflows. It’s so amazing.
"Jadi, gimana Sana, Gi?" gue mencoba membuka percakapan sembari terus memperhatikan jalan.
Ekor kedua mata gue masih bisa melihat dia menoleh, "Kata Wira masih bisa diobati pake salep antibiotik, nggak perlu sampai operasi" ia menautkan dua telapak tangannya di depan wajah, "Aku udah deg-degan takut luka-nya udah sampai tahap tiga. Tapi, Beruntungnya enggak"
"Tuh kan, gue bilang juga apa. Santai aja. Lo sampai nggak makan gara-gara mikirin Sana"
"Ya mana bisa makan enak-enak sih, Bri. Bayangin aja temen lo kesakitan eh lo nya makan lahap banget" gerutu Seulgi cepat. Ia kemudian memalingkan paras indahnya itu mendekat ke kaca mobil.
Gue.... jadi tambah suka, dong?
Level kepedulian Seulgi itu memang bener-bener dewa. Dan itu yang membuat gue semakin kagum. Karena nggak mudah untuk peduli ke orang lain di dunia yang penuh hingar bingar ini. Hahaha, asik bener. udah pantes belum gue jadi penulis lirik di enam hari?
Gue nggak bisa ngapa-ngapain lagi. Rasanya gue pengen bawain Wira martabak manis special karena sudah bikin gue berakhir semobil dengan sepupunya yang.. aduh gue kehilangan kata-kata buat menggambarkan how beautiful she is. Senja cantik berwarna jingga di langit pun nggak bisa bikin gue berpaling dari Seulgi.
"Brian."
"Hmm?"
"Boleh mampir ke toko buku nggak? Ada beberapa buku yang harus dibeli" ucapnya. Seulgi kemudian mengambil tas ranselnya dan mengambil beberapa catatan.
Gila, emang anak medis nggak main-main ya. Sekali ada waktu luang langsung buka buku. "Sekalian makan ya, Gi" Jelaslah gue mengambil kesempatan.
Gue kira Seulgi bakal nolak. Tapi,
"Oke, di samping toko buku ada resto kok. Sekalian kesana aja" Gadis itu berujar dengan cuek. Gitu aja gue udah seneng.
💫💫
Langkah kaki gue berhenti setelah menyadari sosok Seulgi tak lagi disamping raga gue. Gue menoleh, gadis itu masih berdiri termangu di depan rak buku yang bertuliskan psikologi. Gue berjalan mundur, mencari tau apa yang menarik perhatiannya.
Sebuah buku berwarna putih dengan judul 'Daring to take up space' tak lepas dari pandangan Seulgi.
"Beli aja gi, lo liatin mulu bisa salah tingkah itu buku" goda gue.
"Lo nggak ngerti diem aja sih"
Buset, maksudnya bercanda malah digalakin. Gue akhirnya mencoba mencari apa yang menarik perhatian Seulgi. Sejujurnya covernya juga tidak telalu aesthetic, hanya seorang perempuan berambut panjang yang tidur dan tumbuh banyak bunga dari punggungnya.
"Kenapa ya manusia itu takut banget merasa putus asa?"
Seulgi menoleh dan menatap gue secara paripurna setelah mendengar monolog gue. Gila, di liatin gitu gue kok merasa jantung gue berdetak lima kali lebih cepat dari pada mimpin anak-anak teknik demo.
KAMU SEDANG MEMBACA
Moonlight [•brianseulgi]
أدب الهواةSetiap cerita yang memiliki sudut pandang. Setiap lagu yang ditulis mempunyai cerita. Dan ini catatan paling jujur versi gue, Egi. Kamu cantik, selalu cantik, seperti cahaya rembulan. ❄ piyapoem June, 2020 ❄