Halo semua, kali ini gue akan cerita tentang lagu pertama enam hari yang gue ciptakan karena terinspirasi dari Seulgi. Sebenarnya, gue emang suka musik dan nyiptain lagu dari dulu, tapi lagu ini yang sangat berarti buat gue.
💫💫
Saat itu malam hari, hujan deras sudah sejak satu jam yang lalu menjatuhi bumi, gue mengeratkan selimut. Emang paling enak tidur sambil selimutan udah, no debat.
"Ini hujan awet banget ya"
Keluhan Devan saat membuka pintu kamar membuat gue seketika melengok ke arah jendela, benar saja, suara deruan angin makin membuat hawa-hawa malas semakin menguat.
Sambil tiduran gue mengecek handphone, dari kemarin gue pengen banget nelpon Seulgi. Tapi takut dia sibuk. Tumben banget ini, biasa nya kalo deketin perempuan lain gue langsung gas. Tapi Seulgi tuh beda. Dia seperti buku novel yang paling gue sukai, harus baca dengan pelan-pelan, karena takut tamat. Dan gue ga bisa baca lagi.
"Ngapain si, Bang. Lo galau terus liatin hape."
"Gue mau nelpon cewek tapi ragu nih, Van"
Devan terkekeh, "Gila aja seorang bang Brian ragu buat nelpon cewek. Biasanya maju paling depan lo"
"Yang ini beda, Van"
"Yang kemaren juga lo ngomong beda, Bang"
Gue tanpa aba-aba langsung melempar guling ke arah Devan, "ga sopan lo bocah"
Tapi Devan lebih cepat mengelak keluar kamar dan menutup pintu. Menyisakan guling putih gue yang tidak tepat sasaran tergeletak di atas lantai. Mungkin Devan benar, kenapa nggak di coba aja? Toh besok kampus libur. Seulgi setidaknya mempunyai waktu longgar dari hari-hari biasa.
Akhirnya gue menekan gambar telepon hijau sekaligus gambar speaker. Nada panggilan menyambung tapi tidak diangkat. Gue mendadak gusar, bisa aja Seulgi masih mengerjakan tugas dan gue ganggu. Jari gue akan menekan tanda selesai tapi rupannya suara Seulgi muncul lebih cepat.
"Iya, Halo?"
"Halo, Egi!"
Suara di ujung telepon sana tidak menjawab, sepertinya sedang berpikir. "Halo, Egi. Ini Brian" Ulang gue. Lupa kalau Seulgi belum sempat menyimpan nomor gue.
"Oh, Brian. Aku kira siapa. Ada perlu apa?" Suara Seulgi di seberang seperti bersahut-sahutan dengan rintik hujan. Gue curiga ini anak lagi di luar.
"Gi, lo lagi dimana? Ngapain malem-malem di luar?"
"Iya ini aku di luar." Nada suara Seulgi menggantung "Brian bisa minta tolong jemput nggak?"
Aku terdiam, tidak menyangka. Ini seriusan Seulgi minta jemput?
"Kalau sibuk juga nggak pa....."
"Gue jemput!" Tangkas gue "Gue jemput lo sekarang. Lo kirim maps aja ya lewat chat"
"Oke. Makasih, Brian"
Belum sempat menjawab, panggilan telepon sudah dimatikan secara sepihak. Gue langsung bangkit dan memakai jaket levis hitam kesayangan gue.
"Wir, gue boleh pinjem mobil lo nggak? Tanya gue kepada Wira yang sedang menonton Netflix bersama Devan dan Bang Jae di ruang tengah.
"Mau kemana lo hujan-hujan begini?" Bang jae menyipitkan mata. Menatap gue dengan curiga.
"Ada lah"
"Ada tuh kuncinya di meja belajar. Tapi besok lo cuci ya, Bang. Kena hujan soalnya" Jawab Wira dengan mata yang tak lepas dari layar tevelisi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Moonlight [•brianseulgi]
FanfictionSetiap cerita yang memiliki sudut pandang. Setiap lagu yang ditulis mempunyai cerita. Dan ini catatan paling jujur versi gue, Egi. Kamu cantik, selalu cantik, seperti cahaya rembulan. ❄ piyapoem June, 2020 ❄