Tiga

4.1K 261 4
                                    

B a p e r. Itu yang dirasakannya saat ini. Di depan matanya, Milea melihat seorang kakek dan nenek yang sedang bercengkrama mesra sambil mengajak cucu mereka bermain.

Tangan keriput sang nenek dengan cekatan menyuapi cucunya yang terduduk di dalam stroller, sedangkan sang kakek, tangannya terulur menyuapi sang nenek sepotong biskuit. Setelahnya, dia memakan separuh biskuit sisa sang nenek.

"Cu, kayanya nenek kemana-mana suka bawa magnet ya?" tanya sang kakek mengajak cucunya berbincang.

"Maksudnya?" Sang nenek mengerutkan keningnya. Bingung dengan pertanyaan yang ditujukan untuk cucunya itu.

"Iya habisnya, kalo di deket nenek, bawaanya kakek pengin nempel terus. Ibarat nenek kutub utara, kakek kutub selatan, kita nggak bisa saling berjauhan."

"Oalah, si kakek jago ngegombal rupanya." Milea membatin seraya mengulum senyum. Menguping gombalan si kakek.

Saat masih asyik memandangi pasangan generasi tua itu, Milea merasakan sepasang tangan kecil memeluknya dari samping.

"Rara? Wow! Bunda Lea senang bertemu Rara di taman," ucap Milea sambil membalas pelukan pasiennya itu dengan erat.

"Ternyata ada bunda Lea di sini, pantes aja Rara lari-lari kemari." Tantenya Rara muncul sambil terengah-engah. Dia Ikut berlari mengejar Rara.

"Eh, ada Tante Diana juga. Selamat sore, saya senang bisa bertemu Rara di sini."

"Panggil Diana aja ya! lagian saya lebih muda dari Bunda Lea."

"Baiklah, biar lebih akrab saat di luar sekolah, kita pakai aku - kamu aja, gimana? Aku panggil kamu Diana, dan kamu bisa panggil Milea."

"Gimana kalau aku panggilnya kak Lea saja? Kayanya kurang sopan kalo aku cuma panggil nama," tawar Diana.

"Baiklah, deal!"

Sore itu, akhirnya mereka bertiga piknik di taman. Kebetulan sebelum ke taman Milea sempat mampir toko kue dan Rara juga membawa banyak bekal makanan di dalam tas ranselnya.

Milea dan Diana berbincang banyak hal, sedangkan Rara asyik dengan mainan puzzle yang dibawanya. Sambil sesekali merajuk dipangkuan Milea meminta perhatian. Tentu tanpa bersuara.

"Kalian ke sini naik apa?" tanya Milea sambil menyesap jus yang dibelinya.

"Dianter supir, Kak, tetapi sekarang Mang Udin lagi jemput Kak Rayhan dulu di bandara."

"Oh, pulang terbang ya?"

"Iya. Kalo pulang dari terbang Kak Rayhan enggak suka bawa mobil sendiri. Cari aman katanya. Kalau mang Udin enggak bisa jemput, kakak lebih memilih naik kendaraan online."

"Baguslah, dari pada badan capek terus dipaksain, malah nanti ada apa-apa."

"Rara, ayo sini duduknya sama tante Di aja! Kasian Bundanya, capek loh dari tadi mangku Rara terus." Diana membunjuk keponakannya yang sedari awal betah dipangkuan Milea sambil memeluknya.

"Nggak apa-apa. Bunda seneng kok bisa peluk Rara begini. Rara kan kesayangan Bunda, iya kan?" tanya Milea sambil memandang Rara gemas. Dia semakin mengeratkan pelukannya kepada Rara.

Rara menganggukkan kepalanya dengan cepat sebagai jawaban. Senyum pun sedari tadi selalu tersungging di bibir mungilnya.

Tiba-tiba Milea merasa pelukan Rara melonggar. Mata Rara berbinar cerah dengan senyum yang semakin merekah. Rara bangkit dari duduknya dan berlari menuju sang Ayah yang datang menjemput.

Sambil tersenyum, Rayhan berjongkok mensejajarkan tingginya dengan badan Rara. Memeluknya lalu berdiri berputar sambil menciumi wajah sang putri bertubi-tubi.

"Sangat mesra pertemuan ayah dan anak itu," ujar Milea dalam hati.

Rayhan merupakan sosok family man, papa-able yang hangat dalam keluarga dan dekat dengan putrinya. Di tengah kesibukan kerjanya sebagai pilot, dia berusaha menjalankan peran orang tua yang maksimal bagi Rara.

"Assalamu'alaikum, Bunda Lea ada di taman juga?" Sapa Rayhan saat melihat keberadaan Milea di sana.

"Wa'alaikumsalam, iya Pak. Lagi pengin jalan-jalan di taman, eh enggak tahunya malah bertemu Rara di sini."

"Rara pasti sangat senang ketemu Bunda Lea di sini."

"Betul Kak, sampai-sampai tantenya dicuekin aja. Dari datang mintanya dipangku dan dipeluk Kak Lea terus," adu Diana sambil memasang wajah sebal. Melapor pada sang kakak bahwa dia dicuekin.

"Akhirnya, tante Di punya saingan. Bagus Rara." Rayhan justru tertawa sambil mengajak Rara ber-high five.

"Sepertinya sudah hampir magrib. Saya pamit pulang dulu."

"Bareng kita aja. Kak Lea kan enggak bawa kendaraan. Rara mau kan anter Bunda Lea balik dulu?" tanya Dinda sambil bertanya pada Rara.

Rara melepas pelukan sang ayah dan berganti memeluk Milea, lalu mengangguk penuh antusias.

"Baiklah. Ayo kita antar Bunda Lea pulang!" Seru Rayhan yang juga menyambut antusias keinginan sang putri.

Sepanjang perjalanan ke rumah Milea, Rara kembali memeluk Milea erat, tanpa mau melepaskannya sedetikpun.

"Maaf ya, Rara jadi merepotkan," ucap Rayhan sungkan, karena Rara yang tidak mau melepaskan Milea sedikit pun.

"Enggak apa-apa. Saya senang kok bisa sedekat ini sama Rara."

"Kalau gitu, kita langsung balik. Ayo Rara salam dulu sama Bunda Lea!" Rara menyalami Milea dan mengecup kedua pipinya. Milea pun membalas ciumannya.

"Bye bye, Kak Lea..." ucap Diana sambil melambaikan tangan.

"Mari, Bunda Lea, kami pamit sekarang. Assalamu'alaikum...." pamit Rayhan sopan.

"Wa'alaikumsalam... hati-hati!" Balas Milea sambil juga melambaikan tangan.

Sesampainya di rumah, Rara langsung terlelap. Mungkin Kecapean saat bermain. Rayhan membaringkan tubuh mungil itu di kamarnya.

"Rara kayanya bahagia banget hari ini," ucap Diana sambil memandangi keponakannya penuh sayang.

"Kak Lea baik ya?" lanjut Dia bertanya kepada Rayhan.

"Sejak kapan kamu panggil dia kakak?" Rayhan tidak menjawab, tetapi justru balik bertanya.

"Sejak hari ini," jawab Diana singkat.

"Oh! Udah mulai akrab rupanya."

"Kak Lea juga cantik ya?"

"Hm...."

"Kak Lea juga keliatan sayang banget sama Rara."

"Hm...."

"Masih single enggak ya?"

" .. ? .. "

"Kayanya cocok jadi mamanya Rara."

Rayhan tidak menanggapi ucapan Diana yang menurutnya semakin ngelantur, enggak jelas.

"Kakak!! Dari tadi dengerin aku ngomong nggak sih??!" Dinda berteriak, wajahnya memerah menahan sebal.

Kakaknya, memang tidak sensitif, Rayhan enggak peka.

"Denger," Rayhan menjawab dengan cuek, sambil memainkan ponselnya.

"Terus kenapa diam aja??!! Jawab dong! kasih penilaian gitu tentang Kak Lea."

"Ya, dia baik. Dia cantik. Dia sayang Rara. Dia psikolog Rara."

"Fix!! Kakak emang nyebelin!!!" Sebal dengan sang kakak yang terlalu cuek pada wanita, Diana memilih untuk pergi ke kamarnya.

Kakaknya memang keterlaluan. Gimana mau dapet istri, ibu untuk Rara kalo sifat cueknya sudah akut begitu?! Huft...

Semoga suka bab tiga ini 😍
Next bab selanjutnya ya
😄

Selective Love (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang