BAGIAN 6

258 15 0
                                    

Kedua bola mata Pandan Wangi jadi terbeliak seakan tidak percaya melihat tubuh-tubuh yang sudah tidak bernyawa lagi saling tumpang tindih di dalam sebuah kamar berukuran cukup besar di rumah ini. Bau busuk yang tidak sedap mulai menyebar menyeruak ke dalam hidung. Pandan Wangi bergegas meninggalkan kamar itu. Sementara Rangga beberapa saat masih mengamati keadaan sekitarnya.
Pendekar Rajawali Sakti melihat beberapa mayat itu dikenali sebagai orang-orang yang pernah menyerangnya di dalam hutan. Dan memang di antara mayat-mayat ada Ki Sampulut, Ki Jampur dan Nyai Waringki bersama orang-orang yang pernah dibawanya. Dan di sudut kamar ini, terlihat seorang pemuda yang sudah menjadi mayat dengan dada berlubang besar. Siapa lagi kalau bukan mayat Rantaki.
"Kakang...! Coba lihat ini!"
Rangga cepat berbalik ketika tiba-tiba terdengar teriakan Pandan Wangi. Bergegas kakinya melangkah menghampiri Pandan Wangi yang berada di dalam ruangan lain. Tampak gadis cantik berbaju biru muda yang dijuluki si Kipas Maut itu sidang memandangi guratan-guratan pada dinding kayu ruangan ini. Rangga menghampiri, dan berdiri di sebelah kanannya.
"Kau percaya kalau semua ini perbuatan binatang buas, Kakang...?" tanya Pandan Wangi langsung.
Rangga tidak langsung menjawab. Diperhatikannya guratan-guratan di dinding itu yang seperti cakaran seekor binatang buas. Pada guratan itu juga terdapat noda-noda darah yang sudah kering dan menghitam. Rangga mengedarkan pandangan ke sekeliling. Keadaan di dalam kamar ini sungguh berantakan. Tidak ada satu pun barang-barang di dalam kamar ini yang masih utuh. Semuanya hancur berantakan.
"Ayo, Pandan...," ajak Rangga.
Pandan Wangi menurut saja saat Rangga menggamit tangannya mengajak keluar dari kamar ini. Mereka langsung menuju ruangan depan dan terus keluar dari rumah ini. Tapi mereka berhenti begitu sampai di beranda depan. Keadaannya masih tetap sunyi seperti tadi. Tetap tidak terlihat seorang pun berada di rumah. Semua orang bersembunyi di dalam rumahnya. Entah apa yang membuat mereka jadi ketakutan seperti itu.
"Ada yang datang, Kakang," kata Pandan Wangi setengah berbisik.
"Hm...." Rangga menggumam sedikit, ketika melihat seorang laki-laki berusia setengah baya mendatangi dengan langkah cepat dan kelihatan terburu-buru. Wajahnya kelihatan seperti ketakutan ketika memasuki halaman rumah ini. Kedua bola matanya beredar ke sekeliling merayapi sekitarnya, seakan takut ada yang melihat kemunculannya di rumah Ki Junggut ini.
"Maaf.... Kalian siapa...?" tanyanya dengan suara tergagap bergetar.
"Kami dua orang pengembara yang kebetulan lewat di desa ini, Paman," sahut Rangga. "Namaku Rangga. Dan ini adikku, Pandan Wangi."
"Aku Prakati. Kalian boleh memanggilku Paman Prakati," laki-laki setengah baya yang raut wajah memancarkan penderitaan itu juga memperkenalkan diri. "Aku Kepala Desa Payakan ini."
"Kebetulan sekali. Kami memang sedang membutuhkan orang yang bisa diajak bicara," kata Rangga.
"Kalau kalian ingin bicara, sebaiknya jangan di sini," kata Prakati.
"Kenapa?" tanya Pandan Wangi ingin tahu. "Rumah ini sudah kosong. Tidak ada lagi penghuninya."
"Memang, rumah ini sudah kosong. Tapi Ki Junggut masih hidup. Dan sesekali dia datang ke sini mengumpulkan orang-orangnya yang mati dibantai setan kecil itu," jelas Prakati.
"Setan kecil...?" kening Rangga jadi berkerut.
"Ayolah, kita bicara saja di rumahku," ajak Prakati.
Sebentar Rangga menatap Pandan Wangi. Tapi yang dipandang hanya mengangkat bahu saja sedikit. Dan mereka kemudian melangkah mengikuti kepala desa itu meninggalkan rumah Ki Junggut yang sudah tidak dihuni lagi ini. Sepanjang jalan, berbagai macam pertanyaan bergelut dalam benak Rangga maupun Pandan Wangi. Mereka ingin lebih tahu lagi mengenai keadaan Desa Payakan yang semakin terselimut teka-teki.
Rumah Prakati tidak terlalu besar, namun terlihat nyaman dan bersih terawatt. Kedatangan kedua pendekar muda dari Karang Setra itu disambut istri dan tiga orang yang sudah besar. Mereka semua berkumpul di ruangan depan, hingga bisa memandang langsung ke jalan.
"Sudah berapa lama keadaan seperti ini berlangsung?" tanya Rangga setelah mereka bicara banyak.
"Entalah, Rangga. Mungkin sudah lebih dari sepuluh tahun. Yaaah..., sejak Ki Junggut dan orang-orangnya datang ke sini," sahut Prakati, menjelaskan.
"Dan selama itu, apa tidak ada yang menentangnya?" selak Pandan Wangi.
"Dulu pernah ada yang menentang. Mereka adalah satu keluarga yang masih ada kaitan keluarga dengan istriku. Tapi mereka habis dibantai. Dan setelah itu, tidak ada lagi yiang berani menentangnya, hingga Ki Junggut semakin menggila saja," jelas Prakati lagi.
"Lalu, kenapa sekarang dia tidak ada? Bahkan rumahnya kosong penuh mayat," kata Pandan Wangi meminta penjelasan.
"Tiga hari yang lalu, datang seorang anak kecil yang sangat tangguh dan digdaya. Kepandaiannya sukar sekali ditandingi. Dia langsung mendatangi rumah Ki Junggut, dan membunuh banyak anak buahnya. Bahkan Ki Junggut sendiri tidak bisa menandinginya. Tiga orang tukang pukul kepercayaannya tewas. Bahkan anak kembarnya juga tewas di tangannya. Hanya Ki Junggut dan Ki Sampak saja yang bisa menyelamatkan diri. Tapi entah sekarang mereka berada di mana. Terkadang Ki Junggut dan Ki Sampak memang terlihat datang ke rumah itu mengumpulkan mayat bekas tukang pukulnya di dalam kamar menjadi satu," jelas Prakati panjang lebar.
"Tiga hari...?"
Pandan Wangi jadi terkejut. Sungguh tidak disangka kalau dia dan Rangga sudah tiga hari berada di Istana Goa Naga. Padahal hanya beberapa saat saja mereka berada di sana. Tapi ternyata di alam nyata ini sudah sampai tiga hari lamanya.
"Hm.... Kau tahu siapa anak itu, Paman?" tanya Pandan Wangi dengan suara agak menggumam.
Sedikit Rangga melirik Pandan Wangi yang duduk bersila di sebelahnya. Gadis itu juga melirik sedikit padanya. Pandan Wangi tahu apa yang ada dalam kepala Pendekar Rajawali Sakti. Sama seperti dirinya. Tentu Rangga juga menduga kalau bocah aneh itu adalah Kunjang yang telah mencuri cincin pusaka kehidupan dari Istana Goa Naga.
"Tidak ada seorang pun yang tahu siapa dia," sahut Prakati.
"Dia datang bersama seorang gadis," selak istri Prakati.
"Gadis...?!" kening Rangga berkerut.
"Ya! Aku tahu namanya," sahut istri Prakati lagi.
"Siapa dia, Bibi?" tanya Pandan Wangi.
"Wulandari."
"Dia seorang gadis sebatang kara di desa ini. Kedua orang tua dan saudara-saudaranya dibunuh tukang-tukang pukulnya Ki Junggut. Tapi entah sudah berapa hari ini Wulandari menghilang," jelas Prakati.
"Kenapa kau katakan dia bocah setan, Paman?" tanya Rangga ingin tahu.
"Tindakannya memang seperti iblis, Rangga. Siapa saja yang mencoba menghalangi pasti dibunuhnya. Bahkan setelah memporak-porandakan rumah Ki Junggut, dia juga membunuh beberapa orang penduduk di sini tanpa sebab yang pasti," jelas Prakati lagi.
"Hm.... Tindakannya sudah di luar batas, Kakang," gumam Pandan Wangi pelan, sambil melirik Pendekar Rajawali Sakti yang duduk di sebelahnya. Rangga hanya diam saja. "Kalian kenal anak itu?" tanya Prakati.
"Tidak," sahut Rangga cepat
"Tapi kami memang sedang mencarinya, Paman. Dia sangat berbahaya," jelas Pandan Wangi menyelak, tanpa peduli lirikan tajam dari Rangga.
"Oh! Kalau begitu, kalian tinggal saja di sini. Aku yakin dia pasti akan datang lagi ke sini, karena masih mencari Ki Junggut" kata Prakati.
Rangga dan Pandan Wangi tidak bisa menolak permintaan kepala desa itu. Mereka memang tidak punya pilihan lain lagi. Dan saat itu, hari sudah menjelang senja. Matahari sudah begitu condong ke arah barat. Sinarnya tidak lagi terik menyengat kulit. Hanya rona merah saja yang membias di ufuk barat.
Anak gadis Prakati meminta Pandan Wangi tidur di kamarnya. Sedangkan Rangga disediakan kamar yang berada di bagian depan bersama anak laki-laki kepala desa itu. Sementara keremangan terus merayap menyelimuti seluruh permukaan bumi di Desa Payakan ini. Dan suasananya juga semakin terasa mencekam. Hawa kematian begitu terasa dalam diri Pendekar Rajawali Sakti yang tengah duduk mencangkung di beranda depan rumah kepala desa itu.

128. Pendekar Rajawali Sakti : Rahasia Cincin MustikaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang