Ehem .... Bismillah, semoga tidak ada keributan meski saya ingin. Terutama kaum-kaum yang tidak ingin dikritik saran. Iya, maunya dipuji, disanjung terus. Tanpa basa-basi, mari kita mulai. Tentang opening atau pembukaan cerita yang monoton, membosankan, terlalu mainstream, dan basi (kata kasarnya).
Contoh kecil saja, memakai pembukaan bangun pagi di prolog. Guru bahasa saya pernah bilang, jangan pernah memakai pembukaan dengan latar pagi hari atau senja. Kalau senja mungkin masih bisa dipelintir agar elegan, ya. Akan tetapi, untuk bangun pagi dan segala transisinya, saya angkat tangan. Menyerah! Tinggalkan lapak segera.
"Memangnya kenapa? Apa yang salah dengan opening begitu?"
Sekarang saya mau tanya ke pembaca, khususnya fiksi remaja. Bosan tidak membaca sekelumit adegan bangun pagi? Tak lupa transisi ke kamar mandi, meja makan, terburu-buru, nabrak cowok ganteng most wanted, bad boy, dan segala macem? Bukankah kalian seharusnya merasa itu mudah ditebak?
Awal menulis—entah kapan—saya juga suka memakai latar pagi. Namun, makin ke sini, makin banyak penulis baru, kok rasanya latar pagi itu kurang elegan dibaca? Kita sudah tahu adegan selanjutnya bagaimana, bosan, muak. Entah si pengarang baru menulis, belum ada ide, atau masih icip-icip dunia menulis. Oh, kalau nyaman, tancap gas!
"Kalau begitu, nggak usah dibaca! Ribet banget lo! Hargai penulis dong!"
Saya hargai, banget. Namun, apa harus memakai itu lagi dan lagi? Bahasa kasarnya, cerita begini merupakan hasil fotokopi penulis lain. Mereka kurang kreatif menciptakan ide baru untuk pembacanya. Disuguhi yang itu-itu saja. Salah? Menurut saya kalau bisa diubah, ya lebih baik diubah.
Ada lagi, pembukaan yang terlalu mendewakan karakternya. Tak usah saya jelaskan secara detail, kalian pasti tahu seperti apa. Padahal, kamu tak perlu mendeskripsikan karakter serinci itu dalam satu bab, apalagi novel. Tidak begitu, Sayang. Bertahap, itulah gunanya pengembangan narasi dan dialog dalam cerita kamu.
Narasi usahakan harus dominan, bisa 60-80% dari keseluruhan bab. Kemudian, dalam dialog usahakan jangan datar atau flat. Harus bisa mendeskripsikan secara luas dan matang. Apa yang dirasakan karakternya, bagaimana sifatnya, bagaimana rupanya. Jadi, kamu tak usah tancap gas di prolog.
Sebagai contoh:
Contoh A:
"Aku mau keluar," kata Adrianna.
"Jangan dulu, aku masih mau ngomong," balas Rian mencegat.
"Apa lagi? Kamu puas udah nyakitin aku, An? Mau sampai kapan?" tanya Adrianna.
"Aku—"
"Apa?"
Contoh B:
"Aku mau keluar," kata Adrianna sembari menahan isak tangis. Ruangan mendadak berubah suram, sesak, dan penuh haru, padahal hanya mereka berdua di dalam sini.
Rian mendengkus kesal, Adrianna begitu keras kepala. Keputusan gadis itu untuk mengakhiri hubungan semakin kuat. Ia lelah, ingin berpisah.
"Jangan dulu, aku masih mau ngomong," kata Rian mencegah. Pemuda berkacamata itu menatap gadisnya penuh harapan. Ia takut kehilangan.
***
Lebih dapat feel-nya yang mana? Tentu contoh B, karena disertai deskripsi tokoh dan latar (ditandai cetak miring). Di sini penulis mengajak pembaca agar masuk ke cerita. Penulis berusaha mendeskripsikan adegan yang terjadi agar masuk ke otak penikmat karya tersebut. Pada akhirnya, karakter yang kuat, latar sempurna, dan konflik yang mengena di hati pembaca membuat cerita tersebut kompleks.
Nah, ini masih pembahasan tentang prolog dan sebagian tentang dialog. Kita lanjut yang lain dulu.
___Zylan Agatha

KAMU SEDANG MEMBACA
Pengarang, Oh Pengarang!
Non-FictionMasuk ke lapak ini, jangan baper! Ini hanya cuitan opini dari gadis 18 tahun yang suka donat cokelat.